Kamis, 18 Mei 2017

Mengenal Rasa Sakit Nyeri ( bagian 2 )



Nyeri atau Rasa sakit ( bagian 2)

Teori Sejarah
Sebelum adanya penemuan apa itu neuron dan peran mereka ( neuron ) dalam memberikan rasa sakit nyeri, berbagai fungsi dan pengkuran pada tubuh yang berbeda diusulkan untuk memperhitungkan rasa sakit nyeri. Ada beberapa teori nyeri pada era awal yang bersaing pengaruh teori di antara orang-orang pada zaman Yunani kuno : Hippocrates percaya bahwa rasa sakit nyeri ini disebabkan oleh ketidakseimbangan cairan vital pada individu. kemudian pada abad ke-11, seorang ilmuwan bernama Avicenna berteori bahwa ada beberapa perasaan yang kemudian mempengaruhi pada indra individu termasuk sentuhan, benturan, nyeri, dan sensasi.
Kemudian pada era abad 17an tepatnya pada tahun 1644, Rene Descrates menyempurnakan teori Avicenna, dia berteori bahwa rasa sakit adalah gangguan yang diturunkan sepanjang serabut saraf sampai gangguan tersebut sampai ke otak, dan pada saat itu sudah berkembang teori neuron atau syaraf, sebuah perkembangan yang mengubah persepsi rasa sakit nyeri dari pengalaman spiritual, magic dan mistik ke sensasi mekanis dan fisik. Karya Descartes, bersama dengan Avicenna's, mendasari dan menandai perkembangan teori spesifisitas abad ke-19. Teori kekhususan melihat rasa sakit nyeri sebagai "sensasi khusus, dengan alat sensoriknya sendiri yang tidak bergantung pada sentuhan dan panca indra lainnya". Teori lain yang menjadi terkenal pada abad ke 18 dan 19 adalah teori intensif, yang mengandung rasa sakit nyeri bukan hanya sebagai hasil dari syaraf sensoris yang unik saja, namun juga keadaan emosional yang dihasilkan oleh rangsangan yang lebih kuat daripada saat normal seperti cahaya, tekanan atau suhu yang kuat.
Pada pertengahan tahun 1890an, teori spesifisitas sebagian besar didukung oleh ahli fisiologi dokter-dokter medis, dokter umum saat itu, dan teori intensif sebagian besar didukung oleh psikolog. Namun, setelah serangkaian pengamatan klinis oleh seorang ilmuwan bernama Henry Head dan eksperimen oleh seorang ilmuwan Max Von Frey, para psikolog bermigrasi dan mendukung ke teori spesifisitas hampir secara massal, dan pada akhir abad ini, sebagian besar buku teks tentang fisiologi dan psikologi menunjukkan spesifisitas nyeri sebagai fakta, dan bukan lagi sekedar perasaan atau hasil dari suatu perasaan.
Pada tahun 1955, DC Sinclair dan G Weddell mengembangkan teori pola perifer ( syaraf ), berdasarkan teori atau saran oleh John Paul Nafe pada tahun 1934. Mereka mengusulkan agar semua ujung serat kulit (kecuali sel-sel rambut sekalipun masuk ke otak) yang identik, maka menimbulkan rasa sakit, nyeri itu dihasilkan oleh stimulasi yang terus menerus oleh serat-serat tersebut. Teori abad ke-20 lainnya adalah teori ‘Door Control”, yang diperkenalkan oleh Ronald Melzack dan Patrick Wall dalam artikel Science tahun 1965 dengan Tajuk "Mekanisme Rasa Sakit atau Nyeri : Sebuah Teori Baru". Penulis mengusulkan agar serabut saraf tipis (nyeri) dan diameter besar (sentuhan, tekanan, getaran) membawa informasi dari lokasi cedera atau luka pada dua tujuan di ujung “dorsal” sumsum tulang belakang, dan bahwa aktivitas serat saraf relatif sangat besar terhadap aktivitas serat tipis pada sel penghambat, sehingga semakin sedikit rasa sakit yang dirasakan.

Tiga Manifestasi Rasa Sakit atau Nyeri
Pada tahun 1968 Ronald Melzack dan Kenneth Casey menggambarkan rasa sakit dalam tiga dimensi gambaran yaitu :
1. "sensorik-diskriminatif" (rasa intensitas, lokasi, kualitas dan durasi rasa sakit),
2. "afektif-motivasi" (tidak menyenangkan dan mendesak untuk melepaskan diri dari ketidaknyamanan ),
3. "kognitif-evaluatif" (kognisi seperti penilaian, nilai budaya, gangguan dan saran hipnosis).
Mereka berteori bahwa intensitas nyeri (dimensi diskriminatif sensorik) dan ketidaknyamanan (dimensi afektif-motivasi) tidak hanya ditentukan oleh besarnya stimulus yang menyakitkan saja, namun aktivitas kognitif yang "lebih tinggi" dapat mempengaruhi intensitas dan ketidaknyamanan yang dirasakan indovidu. “Aktivitas kognitif "dapat mempengaruhi pengalaman sensorik dan afektif atau mereka mungkin memodifikasi dimensi afektif-motivasi. Oleh karena itu, perasaan kegembiraan dalam permainan atau perasaan tekanan pada saat terjadi perang tampaknya menghalangi kedua dimensi rasa sakit ( senang dan perasaan tertekan menghalangi rasa sakit muncul), sementara saran pemberian plasebo dapat memodulasi dimensi motivasi afektif dan meninggalkan dimensi sensorik-diskriminatif relatif tidak terganggu.
"Nyeri dapat diobati tidak hanya dengan mencoba mengurangi masukan pada sensorik dengan cara memblok dengan anestesi, obat-obatan, intervensi bedah dan atau sejenisnya, tetapi juga dengan mempengaruhi faktor-faktor afektif dan kognitif motivasional.

Teori Yang Berkembang Masa Kini
Teori "intensif" oleh Wilhelm Erb (1874), bahwa sinyal rasa sakit dapat dihasilkan dengan stimulasi reseptor sensorik yang cukup kuat, telah dibantah. Beberapa serat sensorik tidak membedakan antara rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya, sementara yang lainnya nociceptors, hanya merespons rangsangan intensitas tinggi yang berbahaya. Pada ujung perifer nociceptor rangsangan berbahaya menghasilkan arus yang, di atas ambang batas yang diberikan, mengirim sinyal sepanjang serat saraf ke sumsum tulang belakang. "Spesifisitas" (apakah itu merespons fitur termal, kimia atau mekanis dari lingkungannya) dari nociceptor ditentukan oleh saluran ion, yang mana diekspresikan pada ujung perifernya. Puluhan jenis saluran ion nociceptor yang berbeda sejauh ini telah diidentifikasi dan fungsi pastinya masih terus ditentukan.
Sinyal nyeri bergerak dari pinggiran ke sumsum tulang belakang sepanjang serat yang disebut deret serat A-delta atau C. Karena serat A-delta lebih tebal dari serat C, dan dilapisi tipis dengan bahan isolasi elektrik (Myelin), ia membawa sinyalnya lebih cepat (5-30 meter/detik) daripada serat C yang tidak berisolasi elektrik (0,5-2 meter / detik). Rasa sakit yang ditimbulkan oleh serat A-delta digambarkan sebagai tajam dan dirasakan lebih dulu. Sakit diikuti oleh nyeri yang kuat, sering digambarkan sebagai rasa terbakar, dibawa oleh serat C. Neuron "orde pertama" ini memasuki sumsum tulang belakang melalui saluran lissauer.
Serat A-delta dan C ini terhubung dengan serat saraf yang disebut "urutan kedua" di susunan mirip gelatin dari sumsung tulang belakang (laminae II dan III di ujung dorsal). Serabut orde kedua kemudian melewati tali pusat melalui komisura putih anterior dan naik di spinothalmic canal. Sebelum mencapai otak, saluran spinothalamic terbagi menjadi saluran lateral, neospinothalmic, neospinothalmic medial dan paleospinothalamic tract.
Neuron-neuron saluran neospinothalamic orde kedua membawa informasi dari serat A-delta dan berhenti di inti posterolateral ventral thalamus, di mana mereka terhubung dengan neuron orde ketiga dari korteks somatosensori. Neuron paleospinothalamic membawa informasi dari serat C dan mengakhiri seluruhnya di batang otak, sepersepuluh dari mereka di thalamus dan sisanya di medulla, pons dan dan periaqueductal brown.
Urutan kedua, serat sumsum tulang belakang yang didedikasikan untuk membawa sinyal nyeri serat A-delta, dan yang lainnya membawa kedua sinyal nyeri serat baik serat A-delta maupun serat C ke talamus telah diidentifikasi. Serabut sumsum tulang belakang lainnya, yang dikenal sebagai neuron rentang dinamis yang lebar, merespons serat A-delta dan C, tetapi juga pada serat A-beta besar yang membawa sinyal sentuh, tekanan dan getaran. Aktivitas yang berhubungan dengan rasa sakit di thalamus menyebar ke kortreks insular (diduga mencakup, antara lain, perasaan yang membedakan rasa sakit dari emosi homeostatik lainnya seperti gatal dan mual) dan korteks anterior cingulate (diduga mencakup, antara lain Hal, unsur afektif / motivasional, ketidaknyamanan rasa sakit). Rasa sakit yang terletak jelas juga mengaktifkan korteks somatosensori primer dan sekunder.

Peran Evolusioner dan Perilaku
Rasa sakit atau rasa nyeri “PAIN” adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh, menghasilkan daya tolak “retraksi” seketika, refleksif dari stimulus yang menimbulkan rasa sakit atau menyakitkan, dan kecenderungan individu “tubuh” untuk melindungi bagian individu “tubuh” yang terkena dampak saat terjadi proses penyembuhan, serta membuat memory untuk menghindari situasi berbahaya di masa depan. Ini adalah bagian penting dari kehidupan individu manusia termasuk hewan, penting untuk kelangsungan hidup sehat secara mandiri. Seseorang tanpa mempunyai rasa sakit atau nyeri atau mungkin dengan ketidakpekaan bawaan terhadap rasa sakit atau nyeri “PAIN” telah mengurangi harapan hidup dirinya sendiri.
Seorang ilmuwan Richard Dawkins, dalam bukunya The Greats Show on Earth : Sebuah Bukti Evoluasi, bergumam dengan pertanyaan mengapa rasa sakit harus sangat menyakitkan. Dia menggambarkan sakit nyeri sebagai pembangunan mental yang sederhana, disini dia gambarkan dengan "bendera merah", untuk membantah mengapa bendera merah itu tidak mencukupi sebagai gambaran rasa sakit nyeri, Dawkins menjelaskan bahwa dorongan harus bersaing satu sama lain dalam makhluk hidup ( manusia atau hewan ) maka makhluk paling sehat dan bugar akan menjadi orang yang mempunyai kepekaan rasa sakit atau nyeri yang seimbang. Sedangkan rasa sakit atau nyeri yang hebat atau berarti “kematian” akan sangat diabaikan oleh individu yang paling kuat menahan rasa sakit atau nyeri. Intensitas nyeri yang relatif mungkin sama dengan risiko yang terjadi pada jaman dulu atau nenek moyang kita, dimana rasa sakit atau nyeri seperti kekurangan makanan, terlalu banyak demam, atau cedera serius dirasakan sebagai penderitaan, sementara luka ringan goresan ringan yang dirasakan sebagai ketidaknyamanan yang tidak berarti dan diabaikan). Gambaran kemiripan ini mungkin tidak sempurna, bagaimanapun juga ini terjadi karena seleksi alam yang bisa menjadi perancang yang baik ataupun sebaliknya. Hasilnya pada hewan penelitian sering terjadi gangguan pada hewan penelitian tersebut, termasuk rangsangan diluar batas normal. Hal semacam itu membantu menjelaskan rasa sakit yang tidak (setidaknya tidak) lagi langsung adaptif menerpa individu yang langsung berubah tahan terhadap rasa sakit nyeri.
Nyeri idiopatik atau rasa sakit atau rasa nyeri yang menetap setelah trauma atau patologi telah sembuh, atau yang timbul tanpa penyebab yang jelas, mungkin merupakan pengecualian terhadap pendapat yang mengatakan bahwa rasa sakit sangat membantu mahluk hidup untuk bertahan hidup, walaupun beberapa psikolog berpendapat bahwa rasa sakit tersebut bersifat psikogenik.

Nilai Ambang Batas
Dalam ilmu rasa sakit nyeri, ambang batas dinilai atau diukur dengan secara bertahap, dengan semakin meningkatnya intensitas stimulus seperti arus listrik atau panas yang diterapkan ke tubuh. Ambang persepsi rasa nyeri adalah suatu titik di mana rangsangan simulus mulai terasa menyebabkan rasa sakit atau nyeri, dan ambang batas toleransi rasa nyeri tercapai saat subjek atau individu bertindak untuk menghentikan rasa sakit nyeri tersebut.
Perbedaan persepsi rasa nyeri dan ambang toleransi dikaitkan antara lain dengan faktor, etnisitas, genetika, dan jenis kelamin. Orang-orang dari Mediterania melaporkan bahwa rasa nyeri sebagai rasa yang menyakitkan, sedangkan beberapa intensitas panas, sakit atau nyeri untuk orang-orang Eropa utara digambarkan atau menggambarkannya sebagai “tidak peduli”, dan wanita Italia sedikit lebih tahan denan sengatan listrik yang kurang kuat dibandingkan wanita Yahudi atau Amerika.
Beberapa individu di latar belakangi suatu budaya dan dipengaruhi lingkungan, secara signifikan menunjukkan kepekaan lebih tinggi daripada persepsi nyeri normal dan ambang batas toleransi. Misalnya, pasien yang mengalami serangan jantung tanpa rasa sakit nyeri, ternyata memiliki ambang nyeri yang lebih tinggi untuk kejutan listrik, kram otot dan panas.

Penilaian Rasa Sakit atau Nyeri
Penilaian nyeri pada diri seseorang adalah ukuran rasa sakit nyeri yang paling dapat diandalkan. Beberapa profesional perawatan kesehatan dan tenaga medis lain dahulu, mungkin meremehkan tingkat keparahan nyeri, berbeda dengan sekarang yang sangat memperdulikan rasa nyeri yang dialalmi oleh pasien. Definisi rasa sakit yang banyak digunakan dalam dunia kesehatan dan keperawatan, menekankan sifat subjektif dan pentingnya laporan penilaian diri pasien yang saat ini sangat dipercaya, penilaian nyeri ini diperkenalkan oleh Margo McCaffery pada tahun 1968 : "Rasa sakit nyeri adalah apa pun yang dialami dan dirasakan orang tersebut, dan kapan pun dia mengatakannya". untuk menilai intensitas rasa nyeri tersebut, pasien mungkin diminta untuk menemukan dan menilai diri rasa sakit yang mereka alami pada skala 0 sampai 10, dengan 0 sama sekali tidak sakit, dan 10 adalah rasa sakit yang terburuk yang pernah mereka atau pasien rasakan. Kualitas rasa nyeri dapat ditetapkan dengan menyuruh pasien melengkapi kuesioner nyeri McGill yang menunjukkan kata-kata yang paling menggambarkan rasa sakit mereka.

Perasaan Rasa Sakit Multidimensi
Multidimensional Pain Inventory (MPI) adalah kuesioner yang dirancang untuk menilai keadaan psikososial seseorang dengan rasa nyeri kronis. Analisis hasil dari MPI oleh Turk dan Rudy  tahun 1988 merumuskan tiga kelas pasien nyeri kronis yaitu :
(a) disfungsional : orang-orang yang merasakan tingkat keparahan rasa sakit mereka sangat tinggi, dilaporkan bahwa rasa sakit yang dia rasakan sangat mengganggu sebagian besar hidup mereka, dilaporkan juga bahwa, yang lebih tinggi tingkat tekanan psikologis yang disebabkan oleh rasa sakit nyeri tingkat aktivitas rendah;
(b) terganggu secara interpersonal : orang dengan persepsi umum bahwa orang lain yang berada disekitar atau yang mengenalnya tidak begitu mendukung atau peduli dengan masalah rasa sakit nyeri mereka
(c) mesin adaptif : pasien yang melaporkan diri yang tingkat dukungan socialnya tinggi, tingkat rasa sakit nyeri yang dapat ditahan relatif rendah, gangguan yang dirasakan mengganggu tingkat aktivitas yang relatif tinggi.

Orang Dengan Gangguan Verbal
Bila seseorang tidak dapat secara lisan menyampaikan rasa sakit nyerinya dan tidak dapat melaporkan sendiri rasa sakit nyerinya, maka pengamatan untuk pasien atau orang tersebut menjadi sangat kritis, dan hanya perilaku yang spesifik saja yang dapat dipantau sebagai indikator rasa sakit nyeri. Perilaku yang digambarkan seperti meringis, memejamkan mata dan raut wajah menunjukkan rasa sakit, serta adanya peningkatan atau penurunan vokalisasi ( menjerit, menangis, atau berteriak), perubahan pola perilaku rutin dan perubahan status mental.
Pasien yang mengalami rasa nyeri mungkin menunjukkan perilaku social yang diluar kepribadiannya atau diluar kebiasaannya dan mungkin juga ada yang mengalami penurunan nafsu makan dan tidur hingga terjadi penurunan asupan gizi. Perubahan kondisi yang menyimpang dari awal seperti mengerang dengan gerakan atau saat memanipulasi bagian tubuh dengan rentang gerak yang terbatas juga merupakan indikator rasa sakit yang potensial.
Pada pasien yang memiliki bahasa namun tidak dapat mengekspresikan dirinya secara efektif, seperti pada penderita demensia, peningkatan kebingungan pada pasien atau tampilan sifat perilaku agresif atau sebaliknya yaitu agitasi mungkin mengindikasikan adanya ketidaknyamanan yang ada pada penderita, dan penilaian tidak sekedar scoring 0 sampai 10, akan tetapi butuh pemeriksaan lebih lanjut.
Pada bayi atau balita, pada saat mereka merasakan sakit nyeri mereka tidak memiliki bahasa yang dapat disampaikan kepada seseorang, ini diperlukan orang lain untuk melaporkannya (orang tua, baby sister, dsb) jadi orang-orang terdeklatlah yang mengkomunikasikan kesusahan sibayi, atau bila tidak ada maka perlu ketrampilan dengan mendengar dari cara bayi menangis. Penilaian nyeri non-verbal seperti ini harus dilakukan dengan melibatkan orang tua dari si bayi, yang akan memperhatikan perubahan pada bayi setiap saat yang mungkin tidak diketahui oleh penyedia layanan kesehatan ataupun tenaga kesehatan lain. Bayi pasca lahir lebih sensitif terhadap rangsangan yang menyakitkan daripada bayi dengan usia yang lebih dari cukup.

Hambatan Lain Untuk Melaporkan
Pengalaman nyeri memiliki banyak dimensi budaya. Misalnya, cara seseorang mengalami dan merespons rasa sakit terkait dengan karakteristik sosiokultural, seperti gender, etnisitas, dan usia. Orang dewasa yang semakin menua mungkin tidak menanggapi rasa sakit nyeri seperti orang yang lebih muda atau usia kanak-kanak. Kemampuan orang-orang yang sudah dewasa, tua atau lanjut usia untuk mengenali rasa sakit mungkin mengalami ketumpulan atau tidak lagi dihiraukan lagi akibat dari banyaknya penyakit atau justru banyaknya penggunaan beberapa obat atau beberapa resep obat.
Depresi juga bisa membuat orang dewasa atau tua melaporkan diri bahwa mereka kesakitan. Orang tua atau lanjut usia mungkin juga memilih berhenti melakukan aktivitas yang sangat mereka cintai atau sudah menjadi hobby, karena sangat menyakitkan. Penurunan aktivitas maupun perawatan diri yang muali berkurang (dressing, grooming, walking, etc.) juga bisa menjadi indikator bahwa orang yang semakin tua mengalami rasa sakit atau nyeri. Orang dewasa yang semakin tua mungkin lebih menahan diri untuk tidak melaporkan rasa sakit karena mereka takut harus menjalani serangkaian operasi atau pemeriksanaan atau harus memakai obat yang mungkin akan menyebabkan mereka menjadi kecanduan. Mereka mungkin juga tidak ingin orang lain melihat mereka sebagai orang yang lemah, atau mungkin merasa ada sesuatu yang tidak sopan atau justru memalukan andaikata mereka mengeluhkan rasa sakit atau nyeri mereka atau justru ada pikiran bahwa rasa sakit itu pantas diberikan kepada mereka sebagai hukuman karena pelanggaran masa lalu mereka.
Hambatan budaya juga bisa mencegah seseorang yang mengalami rasa sakit nyeri untuk mengatakan kepada orang lainnya bahwa mereka sedang dalam kesakitan. Sebaliknya ada keyakinan suatu agama dapat mencegah individu untuk mencari pertolongan karena mereka mungkin merasa perlakuan sakit tertentu bertentangan dengan agama mereka. Sehingga mereka mungkin tidak melaporkan rasa sakit karena mereka merasa itu adalah tanda bahwa hukuman atau justru “kematian” sudah semakin dekat. Banyak orang takut akan stigma kecanduan obat-obatan dan menghindari perawatan nyeri agar tidak diresepkan obat-obatan yang justru berpotensi semakin menusuk pada saat tidak ada obat-obatan tersebut. Banyak orang Asia tidak ingin kehilangan rasa hormat di masyarakat dengan mengakui bahwa mereka kesakitan dan membutuhkan pertolongan sehingga mereka lebih merasa terhormat dengan memendam rasa sakit itu, mereka percaya bahwa rasa sakit nyeri itu harus ditanggung sendiri dalam diam, sementara budaya dibelahan lain merasa mereka harus segera melaporkan rasa sakit nyeri tersebut sehingga segera merasa lega dan nyaman. Jenis kelamin juga bisa menjadi faktor dalam hal melaporkan rasa sakit nyeri ini. Perbedaan seksual ini bisa jadi akibat dari harapan sosial dan budaya, dengan wanita atau pasangan yang diharapkan emosional dengan menunjukkan rasa sakit nyeri dan pria bertubuh tegap, dan pria itu juga merasa menjaga rasa sakit itu hanya untuk diri mereka sendiri dan bukan untuk dipamerkan kepada wanita.

Bantuan Untuk Diagnosis
Rasa nyeri adalah salah satu gejala yang umum dari banyak kondisi medis yang terjadi pada pasien. Dengan mengetahui waktu mulai atau kapan dirasakan nyeri, lokasi nyeri, intensitas atau kuatnya rasa nyeri, pola kejadian nyeri (berulang yang sering, kadang-kadang, dsb.), ternyata dapat untuk memperkirakan akan semakin memperburuk ataukah tidak suatu penyakit pada pasien. Rasa sakit atau nyeri ini akan banyak membantu dokter atau tenaga kesehatan dalam pemeriksaan, dokter butuh rangsang atau pengakuan rasa sakit untuk mendiagnosis masalah penyakit dengan akurat. Sebagai contoh misalnya nyeri pada dada yang digambarkan sebagai sakit yang sangat hebat, yang sangat ekstrem dirasakan pasien, dari sini dokter dapat mengindikasikan adanya kemungkinan infark miokard, sementara nyeri dada yang digambarkan sebagai sakit seperti tertekan, kemungkinan dapat mengindikasikan adanya penyumbatan atau penyempitan aorta. Pemindaian otak dengan MRI telah digunakan untuk mencari sumber rasa sakit nyeri serta dimungkinkan untuk mengukur rasa sakit nyeri dikepala, dengan hasil gambaran MRI dimungkinkan dapat memberikan korelasi yang baik dengan rasa sakit nyeri yang dilaporkan sendiri oleh pasien.

Adaptasi Hedonic
Adaptasi hedonic adalah keadaan dimana seseorang atau pasien yang sudah mengalami penderitaan rasa sakit nyeri dalam waktu yang sangat panjang, yang sebenarnya karena penyakit fisik seringkali menjadi jauh lebih rendah dari perkiraan yang sebenarnya kemungkinan sangat hebat, contoh misalnya pasien dengan patah tulang yang kadang timbul rasa nyeri, akan tetapi karena sang pasien sering merasa seperti itu maka lama kelamaan dianggap biasa dan tidak dirasa, secara tidak langsung pasien sudah beradaptasi dengan rasa nyerinya.

Tidak ada komentar:

selayang pandang alat - alat di kamar bedah

Selayang pandang tentang alat-alat dasar kamar operasi yang sering digunakan oleh teman-teman sejawat apoteker pada saat melakukan operasi ....