BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
NOMOR 4 TAHUN 2018
TENTANG
PENGAWASAN PENGELOLAAN OBAT, BAHAN OBAT, NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN PREKURSOR
FARMASI DI FASILITAS PELAYANAN KEFARMASIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN,
Menimbang
:
a.
bahwa masyarakat perlu
dilindungi dari risiko
Obat, Bahan Obat, Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang
tidak terjamin keamanan,
khasiat dan mutu serta
penyimpangan pengelolaan Obat,
Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi;
b.
bahwa untuk mencegah
penyimpangan pengelolaan Obat, Bahan
Obat, Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi di
fasilitas pelayanan kefarmasian perlu dilakukan pengawasan;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dan huruf
b, serta untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 62 ayat
(1) Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 2013
tentang Pelaksanaan
Undang–Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, perlu menetapkan Peraturan
Badan Pengawas Obat dan Makanan
tentang Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan
Obat, Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian;
Mengingat
:
1.
Ordonansi Obat Keras
(Sterkwekende Geneesmiddlent
Ordonnantie, Staatsblad 1949:419);
2.
Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 10, Tambahan
Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3671);
3.
Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 143,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5062);
4.
Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 144, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
5.
Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
153, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
6.
Peraturan Pemerintah Nomor
72 Tahun 1998
tentang Pengamanan Sediaan Farmasi
dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 138, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3781);
7.
Peraturan Pemerintah Nomor
51 Tahun 2009
tentang Pekerjaan
Kefarmasian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5044);
8.
Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 2013
tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor
96, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5419);
9.
Peraturan Pemerintah Nomor
27 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor
92, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5533);
10. Peraturan Presiden
Nomor 80 Tahun
2017 tentang Badan Pengawas
Obat dan Makanan
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 180);
11.
Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 167/Kab/B.VII/72 tentang Pedagang
Eceran Obat sebagaimana
telah diubah dengan Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 1331/MENKES/SK/X/2002 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 167/Kab/B.VII/72 tentang Pedagang Eceran
Obat;
12.
Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi,
Izin Praktik dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 322) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor
31 Tahun 2016
tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 889/MENKES/PER/V/2011 tentang
Registrasi, Izin Praktik dan Izin
Kerja Tenaga Kefarmasian (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
1137);
13.
Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 9 Tahun
2014 tentang Klinik (Berita
Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 232);
14.
Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 75 Tahun
2014 tentang Pusat Kesehatan
Masyarakat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
1676);
15.
Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan
Makanan Nomor 14 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana
Teknis di Lingkungan
Badan Pengawas Obat dan
Makanan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 1714);
16.
Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 3 Tahun
2015 tentang Peredaran, Penyimpanan,
Pemusnahan dan Pelaporan Narkotika,
Psikotropika dan Prekursor Farmasi (Berita
Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 74);
17.
Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 7 Tahun 2016
tentang Pedoman Pengelolaan
Obat-Obat Tertentu yang Sering
Disalahgunakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
764);
18.
Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 72 Tahun
2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah
Sakit (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2017
Nomor 49);
19.
Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 73 Tahun
2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 50);
20.
Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 74 Tahun
2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 206);
21.
Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 9 Tahun
2017 tentang Apotek (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
276);
22.
Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 28 Tahun
2017 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 954);
23.
Peraturan Badan Pengawas
Obat dan Makanan
Nomor 26 Tahun 2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan
Pengawas Obat dan
Makanan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1745);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
BADAN PENGAWAS OBAT
DAN MAKANAN TENTANG PENGAWASAN
PENGELOLAAN OBAT, BAHAN OBAT,
NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN
PREKURSOR FARMASI DI FASILITAS PELAYANAN KEFARMASIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan:
1. Obat adalah
bahan atau paduan
bahan, termasuk produk biologi
yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki
sistem fisiologi atau
keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.
2. Bahan
Obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang digunakan
dalam pengolahan obat dengan
standar dan mutu
sebagai bahan baku
farmasi termasuk baku pembanding.
3.
Narkotika adalah obat
yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun
semi sintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri
dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam
golongangolongan sebagaimana terlampir
dalam Undang-Undang tentang
Narkotika.
4.
Psikotropika adalah obat,
baik alamiah maupun
sintetis bukan Narkotika, yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif
pada susunan saraf
pusat yang menyebabkan perubahan
khas pada aktivitas mental dan perilaku.
5.
Prekursor Farmasi adalah
zat atau bahan
pemula atau bahan kimia
yang dapat digunakan
sebagai bahan baku/penolong untuk
keperluan proses produksi industri farmasi
atau produk antara,
produk ruahan, dan produk
jadi yang mengandung
ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine/phenylpropanolamine,
ergotamin, ergometrine, atau Potasium Permanganat.
6.
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
adalah sarana yang digunakan untuk
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian, yaitu
Apotek, Instalasi Farmasi
Rumah Sakit, Instalasi Farmasi
Klinik, Puskesmas, dan
Toko Obat.
7.
Apotek adalah sarana
pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh
Apoteker.
8.
Instalasi Farmasi Rumah
Sakit adalah bagian
dari rumah sakit yang
merupakan unit pelaksana
fungsional yang diberikan kewenangan
untuk menyelenggarakan,
mengkoordinasikan, mengatur dan
mengawasi seluruh kegiatan pelayanan
farmasi serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di
rumah sakit.
9.
Instalasi Farmasi Klinik
adalah bagian dari
klinik atau balai pengobatan
yang bertugas menyelenggarakan, mengoordinasikan, mengatur
dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan
kefarmasian serta melaksanakan pembinaan teknis
kefarmasian di klinik
atau balai pengobatan.
10.
Pusat Kesehatan Masyarakat
yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah
fasilitas pelayanan kesehatan
yang menyelenggarakan upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan
perseorangan tingkat pertama,
dengan lebih mengutamakan upaya
promotif dan preventif, untuk mencapai
derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.
11.
Toko Obat/Pedagang Eceran
Obat yang selanjutnya disebut Toko
Obat adalah sarana
yang memiliki izin untuk
menyimpan obat bebas
dan obat bebas
terbatas untuk dijual secara eceran.
12.
Praktik Mandiri Bidan
yang selanjutnya disebut
Bidan Praktik Mandiri adalah
tempat pelaksanaan rangkaian kegiatan pelayanan
kebidanan yang dilakukan
oleh Bidan secara perorangan.
13. Apoteker
adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan
telah mengucapkan sumpah
jabatan apoteker.
14.
Tenaga Teknis Kefarmasian
adalah tenaga yang membantu
Apoteker dalam menjalani
Pekerjaan Kefarmasian yang terdiri
atas Sarjana Farmasi,
Ahli Madya Farmasi, Analis
Farmasi, dan Tenaga
Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.
15.
Surat Izin Praktik
Apoteker yang selanjutnya
disingkat SIPA adalah surat
izin yang diberikan
kepada Apoteker untuk dapat
melaksanakan praktik kefarmasian
pada fasilitas pelayanan kefarmasian.
16.
Surat Izin Praktik
Tenaga Teknis Kefarmasian
yang selanjutnya disingkat SIPTTK
adalah surat izin
praktik yang diberikan kepada
tenaga teknis kefarmasian
untuk dapat melaksanakan pekerjaan
kefarmasian pada fasilitas
kefarmasian.
17.
Petugas adalah Pegawai
di lingkungan Badan
Pengawas Obat dan Makanan
yang diberi tugas
melakukan pengawasan
pengelolaan Obat, Bahan
Obat, Narkotika,
Psikotropika, dan Prekusor
Farmasi berdasarkan surat perintah tugas.
18.
Kepala Badan adalah
Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan.
Pasal 2
Prekursor
Farmasi sebagaimana diatur
dalam Peraturan
Badan ini dalam bentuk produk jadi/Obat.
BAB II
PENGELOLAAN OBAT, BAHAN OBAT, NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA
DAN PREKURSOR FARMASI
Bagian Kesatu
Persyaratan
Pasal 3
(1)
Obat, Narkotika, Psikotropika
dan Prekursor Farmasi yang diedarkan harus memiliki izin
edar.
(2)
Obat, Narkotika, Psikotropika
dan Prekursor Farmasi yang diedarkan harus memenuhi
persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu.
(3)
Persyaratan keamanan, khasiat,
dan mutu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua
Pengelolaan
Pasal 4
Pengelolaan
Obat, Bahan Obat,
Narkotika, Psikotropika dan Prekursor
Farmasi di Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian meliputi
kegiatan sebagai berikut:
a.
pengadaan;
b.
penerimaan;
c.
penyimpanan;
d.
penyerahan;
e.
pengembalian;
f.
pemusnahan; dan
g.
pelaporan.
Pasal 5
(1)
Pengelolaan Bahan Obat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 hanya dapat
dilakukan di Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian berupa Apotek,
Instalasi Farmasi Rumah Sakit dan Puskesmas.
(2)
Pengelolaan Bahan Obat
oleh Apotek dan
Puskesmas sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) hanya dapat digunakan untuk keperluan peracikan
(produksi sediaan secara terbatas).
(3)
Pengelolaan Bahan Obat
oleh Instalasi Farmasi
Rumah Sakit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
hanya dapat digunakan untuk
keperluan peracikan (produksi sediaan secara
terbatas) dan untuk
keperluan memproduksi obat.
Pasal 6
(1)
Seluruh kegiatan pengelolaan
Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi
di
Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian wajib
berada di bawah tanggung jawab seorang Apoteker
penanggung jawab.
(2)
Dalam melaksanakan kegiatan
pengelolaan Obat, Bahan Obat,
Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi, Apoteker penanggung
jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibantu oleh
Apoteker lain dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian.
(3)
Kegiatan pengelolaan Obat
dan Prekursor Farmasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
oleh Toko Obat wajib
berada di bawah
tanggung jawab seorang
Tenaga Teknis Kefarmasian penanggung jawab.
(4)
Apoteker penanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan Apoteker
lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib
memiliki SIPA di
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
tersebut.
(5) Tenaga
Teknis Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3)
wajib memiliki SIPTTK
di Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian tersebut.
Pasal 7
Tenaga
Kefarmasian dalam melakukan
pengelolaan obat, bahan obat,
narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi di fasilitas pelayanan kefarmasian harus sesuai
dengan standar pelayanan
kefarmasian.
Pasal 8
Kegiatan
pengelolaan Obat, Bahan
Obat, Narkotika,
Psikotropika dan Prekursor
Farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 wajib dilaksanakan
sesuai dengan Pedoman Teknis Pengelolaan
Obat, Bahan Obat,
Narkotika, Psikotropika dan Prekursor
Farmasi di Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian
tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
Bagian Ketiga
Pembinaan
Pasal 9
Dalam
rangka pengelolaan Obat,
Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi, Badan
Pengawas Obat dan Makanan
melakukan pemantauan, pemberian bimbingan teknis, dan
pembinaan terhadap fasilitas
pelayanan kefarmasian.
BAB III
PENGAWASAN
Pasal 10
(1)
Pengawasan terhadap Pengelolaan
Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika
dan Prekursor Farmasi
di
Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian dilaksanakan
melalui pemeriksaan oleh Petugas.
(2) Petugas
dalam melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang
untuk:
a.
memasuki setiap tempat
yang diduga digunakan dalam kegiatan
pengelolaan Obat, Bahan
Obat, Narkotika,
Psikotropika dan Prekursor
Farmasiuntuk memeriksa, meneliti,
dan mengambil contoh segala
sesuatu yang digunakan
dalam kegiatan pengelolaan Obat,
Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor
Farmasi;
b. membuka
dan meneliti kemasan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor
Farmasi;
c.
memeriksa dokumen atau
catatan lain yang
diduga memuat keterangan mengenai
kegiatan pengelolaan
Obat,
Bahan Obat, Narkotika,
Psikotropika dan Prekursor Farmasi,
termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut; dan/atau
d.
mengambil gambar dan/atau
foto seluruh atau sebagian
fasilitas dan peralatan
yang digunakan dalam pengelolaan
Obat, Bahan Obat,
Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi.
(3)
Dalam melaksanakan pengawasan
terhadap Pengelolaan Obat, Bahan
Obat, Narkotika, Psikotropika
dan
Prekursor
Farmasi di Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian dapat mengikutsertakan petugas
instansi lain yang
terkait sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(4)
Jika Petugas tidak
dilengkapi dengan surat
perintah dan tanda pengenal
maka penanggung jawab
fasilitas pelayanan
kefarmasian dapat melakukan
penolakan terhadap pemeriksaan.
Pasal 11
Dalam
hal hasil pemeriksaan
menunjukkan adanya dugaan atau patut diduga adanya pelanggaran
pidana di bidang Obat dan Bahan
Obat termasuk pidana
di bidang Narkotika, Psikotropika, dan/atau
Prekursor Farmasi, dilakukan penyidikan oleh
penyidik pegawai negeri
sipil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB IV
SANKSI
Pasal 12
(1)
Pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal
7 dan Pasal
8 dikenai sanksi
administratif berupa:
a.
peringatan tertulis;
b.
penghentian sementara kegiatan; atau
c.
pencabutan izin.
(2)
Sanksi administratif berupa
sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
huruf a dapat berupa peringatan atau peringatan
keras.
(3)
Sanksi administratif berupa
sanksi pencabutan izinsebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
huruf c berupa
rekomendasi
kepada Dinas Kesehatan
Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau
Organisasi Perangkat
Daerah penerbit izin.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 13
(1)
Pada saat Peraturan
Badan mulai berlaku,
bagi Puskesmas yang belum
memiliki Apoteker sebagaipenanggung jawab
maka penyelenggaraan pengelolaan Obat, Narkotika,
Psikotropika dan Prekursor
Farmasi dilakukan oleh Tenaga
Teknis Kefarmasian atau
tenaga kesehatan lain yang
ditugaskan oleh Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
(2)
Penyelenggaraan pengelolaan Obat,
Narkotika, Psikotropika dan Prekursor
Farmasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berada di bawah pembinaan dan
pengawasan Apoteker yang
ditunjuk oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Pada saat Peraturan Badan ini mulai berlaku maka
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 40 Tahun 2013 tentang
Pedoman Pengelolaan Prekursor
Farmasi dan Obat Mengandung
Prekursor Farmasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 1104)
sepanjang mengatur mengenai pengelolaan
Prekursor Farmasi di
Apotek, Instalasi Farmasi Rumah
Sakit, dan Toko
Obat, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 15
Peraturan
Badan ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
LAMPIRAN
PERATURAN
BADAN PENGAWAS OBAT
DAN MAKANAN
NOMOR 4 TAHUN 2018
TENTANG
PENGAWASAN PENGELOLAAN
OBAT, BAHAN OBAT, NARKOTIKA,
PSIKOTROPIKA
DAN
PREKURSOR FARMASI DI
FASILITAS PELAYANAN KEFARMASIAN.
A.
PEDOMAN TEKNIS PENGELOLAAN
OBAT DAN BAHAN
OBAT DI FASILITAS PELAYANAN
KEFARMASIAN
1. Pengadaan
1.1.
Pengadaan Obat dan Bahan Obat
harus bersumber dari
Industri Farmasi atau Pedagang Besar Farmasi.
1.2.
Pengadaan Obat oleh
Instalasi Farmasi Klinik
pemerintah dan Instalasi Farmasi Rumah
Sakit pemerintah, selain
sesuai dengan ketentuan angka 1.1,
dapat bersumber dari
Instalasi Farmasi Pemerintah
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
1.3.
Dikecualikan dari ketentuan
angka 1.1. pengadaan
Bahan Obat oleh Apotek hanya dapat bersumber dari
Pedagang Besar Farmasi.
1.4.
Dikecualikan dari ketentuan
angka 1.1. pengadaan
Obat dan Bahan Obat
oleh Puskesmas dapat
bersumber dari Instalasi
Farmasi Pemerintah Daerah atau Pedagang Besar Farmasi.
1.5.
Pengadaan Obat oleh Puskesmas,
selain sesuai dengan ketentuan angka 1.4,
dapat juga bersumber
dari Puskesmas lain
dalam satu kabupaten/kota dengan
persetujuan tertulis dari
Instalasi Farmasi Pemerintah
Daerah.
1.6.
Pengadaan Obat bersumber dari Puskesmas lain sebagaimana dimaksud angka
1.5. dilakukan:
a.
apabila di Instalasi
Farmasi Pemerintah Daerah
terdapat kekosongan stok Obat yang dibutuhkan;
b. hanya
untuk kebutuhan maksimal 1 (satu) bulan;
c. dengan
dilengkapi dokumen LPLPO terkait pengembalian
Obat dari Puskesmas Pengirim ke
Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah;
d.
dengan dilengkapi dokumen
LPLPO terkait penyaluran
Obat dari Instalasi Farmasi
Pemerintah Daerah ke Puskesmas Penerima; dan
e. Obat dapat
langsung dikirimkan dari
Puskesmas Pengirim ke Puskesmas Penerima.
1.7.
Pengadaan Obat di
Puskesmas yang bersumber
dari Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah harus berdasarkan Laporan Pemakaian dan
Lembar Permintaan Obat (LPLPO)
yang ditandatangani atau
diparaf Apoteker Penanggung Jawab
dan ditandatangani Kepala Puskesmas.
1.8.
Pengadaan Obat dan
Bahan Obat dari
Industri Farmasi atau
Pedagang Besar Farmasi harus
dilengkapi dengan Surat
Pesanan sebagaimana contoh yang
tercantum dalam Formulir 3.
1.9.
Surat Pesanan dapat
dilakukan menggunakan sistem
elektronik. Ketentuan surat pesanan secara elektronik sebagai berikut:
a.
sistem elektronik harus
bisa menjamin otoritas penggunaan
sistem hanya oleh Apoteker/Tenaga Teknis
Kefarmasian Penanggung Jawab.
b.
mencantumkan nama sarana
sesuai izin (disertai
nomor izin) dan alamat
lengkap (termasuk nomor
telepon/faksimili bila ada)
dan stempel sarana;
c.
mencantumkan nama fasilitas pemasok beserta alamat lengkap;
d.
mencantumkan nama, bentuk
dan kekuatan sediaan,
jumlah (dalam bentuk angka
dan huruf) dan
isi kemasan (kemasan penyaluran terkecil
atau tidak dalam
bentuk eceran) dari Obat/Bahan Obat yang dipesan;
e.
mencantumkan nomor urut surat pesanan, nama kota dan tanggal dengan penulisan yang jelas;
f.
sistem elektronik yang
digunakan harus bisa
menjamin ketertelusuran
produk, sekurang kurangnya
dalam batas waktu
5 (lima) tahun terakhir.
g.
Surat Pesanan elektronik
harus dapat ditunjukan
dan dipertanggungjawabkan kebenarannya pada saat pemeriksaan, baik
oleh pihak yang
menerbitkan surat pesanan
maupun pihak yang menerima menerima surat pesanan.
h. harus
tersedia sistem backup data secara elektronik.
i.
sistem pesanan elekronik
harus memudahkan dalam
evaluasi dan penarikan data pada
saat dibutuhkan oleh pihak yang menerbitkan surat pesanan dan/atau oleh pihak
yang menerima surat pesanan.
j.
pesanan secara elektronik
yg dikirimkan ke
pemasok harus dipastikan diterima
oleh pemasok, yang
dapat dibuktikan melalui adanya pemberitahuan secara
elektronik dari pihak pemasok bahwa pesanan tersebut telah diterima.
1.10.
Apabila Surat Pesanan
dibuat secara manual,
maka Surat Pesanan harus:
a. asli dan
dibuat sekurang-kurangnya rangkap
2 (dua) serta
tidak dibenarkan dalam bentuk
faksimili dan fotokopi.
Satu rangkap surat pesanan
diserahkan kepada pemasok
dan 1 (satu)
rangkap sebagai arsip;
b.
ditandatangani oleh Apoteker/Tenaga Teknis
Kefarmasian Penanggung
Jawab, dilengkapi dengan
nama jelas, dan
nomor Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)/Surat Izin Praktik Tenaga
Teknis Kefarmasian (SIPTTK) sesuai ketentuan perundang-undangan;
c.
mencantumkan nama sarana
sesuai izin (disertai
nomor izin) dan alamat
lengkap (termasuk nomor
telepon/faksimili bila ada)
dan stempel sarana;
d.
mencantumkan nama fasilitas pemasok beserta alamat lengkap;
e.
mencantumkan nama, bentuk
dan kekuatan sediaan,
jumlah (dalam bentuk angka
dan huruf) dan
isi kemasan (kemasan penyaluran terkecil
atau tidak dalam
bentuk eceran) dari Obat/Bahan Obat yang dipesan;
f.
diberikan nomor urut,
nama kota dan
tanggal dengan penulisan yang jelas;
g. sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan;
1.11.
Apabila Surat Pesanan
tidak dapat digunakan
karena suatu hal,
maka Surat Pesanan tersebut
harus diberi tanda
pembatalan yang jelas
dan diarsipkan bersama dengan Surat Pesanan lainnya.
1.12.
Apabila Surat Pesanan
tidak bisa dilayani
baik sebagian atau seluruhnya, harus meminta surat
penolakan pesanan dari pemasok.
1.13.
Apabila pengadaan Obat/Bahan
Obat dilakukan melalui
sistem pengadaan barang/jasa pemerintah, termasuk e-purchasing maka:
a.
Apoteker Penanggung Jawab
menyampaikan daftar kebutuhan Obat/Bahan Obat kepada pelaksana
sistem pengadaan barang/jasa pemerintah;
b. Apoteker
Penanggung Jawab menyampaikan Surat Pesanan kepada pemasok;
c.
jumlah pengadaan Obat
tidak dalam jumlah
eceran (kemasan penyaluran
terkecil);
d.
pengadaan Obat/Bahan Obat
dilakukan oleh pelaksana
sistem pengadaan barang/jasa pemerintah;
e.
Apoteker Penanggung Jawab
harus memonitor pelaksanaan pengadaan Obat/Bahan Obat
pemerintah;
f. Apoteker
Penanggung Jawab harus menyimpan
salinan dokumen e-purchasing atau
dokumen pengadaan termasuk
Surat Perintah Mulai Kerja
(SPMK)/Surat Perintah Kerja
(SPK) lengkap beserta daftar dan jumlah Obat/Bahan Obat
yang akan diadakan;
1.14.
Arsip Surat Pesanan
harus disimpan sekurang-kurangnya selama
5 (lima) tahun berdasarkan tanggal dan nomor urut Surat Pesanan.
1.15.
Arsip Laporan Pemakaian
dan Lembar Permintaan
Obat (LPLPO) disimpan sekurang-kurangnya selama
5 (lima) tahun
berdasarkan tanggal dan nomor urut LPLPO.
1.16. Faktur pembelian
dan/atau Surat Pengiriman
Barang (SPB) harus disimpan
bersatu dengan Arsip Surat Pesanan.
1.17.
Surat penolakan pesanan
dari pemasok harus
diarsipkan menjadi satu dengan arsip Surat Pesanan.
1.18.
Seluruh arsip harus
mampu telusur dan
dapat ditunjukkan pada
saat diperlukan.
2.
Penerimaan
2.1.
Penerimaan Obat dan Bahan
Obat harus berdasarkan Faktur pembelian dan/atau
Surat Pengiriman Barang yang sah.
2.2.
Penerimaan Obat oleh
Puskesmas dari Instalasi
Farmasi Pemerintah Daerah harus berdasarkan Laporan Pemakaian dan
Lembar Permintaan Obat (LPLPO).
2.3.
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
hanya dapat melakukan
penerimaan Obat dan Bahan
Obat yang ditujukan
untuk Fasilitas Pelayanan Kefarmasian tersebut sebagaimana
tertera dalam Surat Pesanan.
2.4.
Penerimaan Obat dan
Bahan Obat harus
dilakukan oleh Apoteker/Tenaga
Teknis Kefarmasian Penanggung Jawab.
2.5.
Bila Apoteker/Tenaga Teknis
Kefarmasian Penanggung Jawab berhalangan hadir,
penerimaan Obat dan
Bahan Obat dapat didelegasikan kepada
Tenaga Kefarmasian yang
ditunjuk oleh
Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian
Penanggungjawab. Pendelegasian
dilengkapi dengan Surat
Pendelegasian Penerimaan Obat/Bahan
Obat menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 9.
2.6.
Selain sebagaimana dimaksud
pada ketentuan angka
2.5. Penerimaan Obat/Bahan Obat
di Puskesmas juga
dapat dilakukan oleh
tenaga kefarmasian, tenaga medis
atau tenaga kesehatan
lain yang ditunjuk
oleh Kepala Puskesmas.
2.7.
Pada saat penerimaan,
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
harus melakukan pemeriksaan:
a.
kondisi kemasan termasuk
segel, label/penandaan dalam
keadaan baik;
b.
kesesuaian nama, bentuk,
kekuatan sediaan Obat,
isi kemasan antara arsip
Surat Pesanan (SP) /
Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) dengan
Obat/Bahan Obat yang diterima;
c.
kesesuaian antara fisik Obat/Bahan Obat dengan Faktur
pembelian/Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan
Obat (LPLPO) dan/atau Surat
Pengiriman Barang (SPB) yang meliputi:
1) Kebenaran
nama produsen, nama pemasok, nama Obat/Bahan Obat, jumlah,
bentuk, kekuatan sediaan
Obat, dan isi kemasan;
2) Nomor
bets dan tanggal kedaluwarsa.
2.8.
Apabila hasil pemeriksaan
ditemukan Obat dan Bahan Obat
yang diterima tidak sesuai
dengan pesanan seperti
nama, kekuatan sediaan Obat,
jumlah atau kondisi
kemasan tidak baik,
maka Obat dan
Bahan Obat harus segera
dikembalikan pada saat penerimaan. Apabila pengembalian tidak
dapat dilaksanakan pada saat penerimaan misalnya pengiriman melalui
ekspedisi maka dibuatkan Berita Acara
yang menyatakan penerimaan tidak
sesuai dan disampaikan
ke pemasok untuk dikembalikan.
2.9.
Jika pada hasil
pemeriksaan ditemukan ketidaksesuaian nomor
bets atau tanggal kedaluwarsa
antara fisik dengan
faktur pembelian /Laporan
Pemakaian dan Lembar
Permintaan Obat (LPLPO)
dan/atau Surat Pengiriman Barang
(SPB) harus dibuat
koreksi dan dikonfirmasi ketidaksesuaian dimaksud kepada
pihak pemasok.
2.10.
Jika pada hasil
pemeriksaan dinyatakan sesuai
dan kondisi kemasan baik
maka Apoteker/Tenaga Teknis
Kefarmasian Penanggung Jawab atau
Tenaga Kefarmasian yang
mendapat delegasi wajib menandatangani Faktur
Pembelian / Laporan
Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat
(LPLPO) dan/atau Surat
Pengiriman Barang (SPB) dengan mencantumkan nama lengkap, nomor
SIPA/SIPTTK dan stempel sarana.
2.11. Apabila pengadaan
Obat/Bahan Obat dilakukan
melalui sistem pengadaan
barang/jasa pemerintah maka:
a.
penerimaan Obat/Bahan Obat
harus melibatkan Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian
sebagai Panitia Penerimaan
Barang dan Jasa Pemerintah. Apabila
Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian
tidak termasuk dalam Panitia
Penerima Barang, maka
penerimaan dilakukan oleh Apoteker
Penanggungjawab atau Tenaga
Kefarmasian yang ditunjuk oleh Apoteker
Penanggungjawab.
b.
penerimaan Obat/Bahan Obat
dari Pedagang Besar
Farmasi dilakukan oleh Panitia Penerimaan Barang dan Jasa Pemerintah;
c.
Panitia Penerimaan Barang
dan Jasa Pemerintah
segera menyerahkan
Obat/Bahan Obat kepada
Apoteker Penanggung Jawab atau
Tenaga Kefarmasian yang
ditunjuk oleh Apoteker Penanggungjawab;
d.
Apoteker Penanggung Jawab
wajib mendokumentasikan salinan Berita Acara
Serah Terima Barang
dan Berita Acara
Penyelesaian Pekerjaan.
3.
Penyimpanan
3.1.
Penyimpanan Obat dan Bahan Obat harus :
a. Dalam
wadah asli dari produsen.
b.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud huruf a, dalam hal diperlukan
pemindahan dari wadah
asli nya untuk
pelayanan resep, Obat dapat
disimpan di dalam
wadah baru yang
dapat menjamin keamanan, mutu,
dan ketertelusuran obat
dengan dilengkapi dengan identitas
obat meliputi nama
obat dan zat aktifnya,
bentuk dan kekuatan
sediaan, nama produsen,
jumlah, nomor bets dan tanggal kedaluwarsa.
c. Pada
kondisi yang sesuai dengan rekomendasi dari industri farmasi yang memproduksi
Obat/Bahan Obat sebagaimana
tertera pada kemasan dan/atau
label sehingga terjamin
keamanan dan stabilitasnya.
d.
terpisah dari produk/bahan
lain dan terlindung
dari dampak yang tidak
diinginkan akibat paparan
cahaya matahari, suhu, kelembaban atau faktor eksternal lain;
e.
sedemikian rupa untuk
mencegah tumpahan, kerusakan, kontaminasi dan campur-baur; dan
f. tidak
bersinggungan langsung antara kemasan dengan lantai.
g. dilakukan dengan
memperhatikan bentuk sediaan
dan kelas terapi Obat serta disusun secara alfabetis.
h.
memperhatikan kemiripan penampilan
dan penamaan Obat
(Look Alike Sound Alike, LASA) dengan tidak ditempatkan berdekatan dan
harus diberi penandaan
khusus untuk mencegah
terjadinya kesalahan pengambilan Obat
i.
memperhatikan sistem First
Expired First Out
(FEFO) dan/atau sistem First In
First Out (FIFO)
3.2.
Selain ketentuan sebagaimana
dimaksud angka 3.1, Obat-Obat Tertentu harus disimpan di tempat yang aman
berdasarkan analisis risiko antara lain
pembatasan akses personil, diletakkan dalam satu area dan tempat
penyimpanan mudah diawasi secara langsung oleh
penanggungjawab.
3.3.
Penyimpanan Obat yang
merupakan Produk Rantai
Dingin (Cold Chain Product) harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a.
Tempat penyimpanan minimal
chiller untuk produk
dengan peryaratan penyimpanan suhu 2 s/d 8
o
C dan freezer untuk produk
dengan peryaratan penyimpanan suhu -25 s/d -15oC;
b.
Tempat penyimpanan harus
dilengkapi dengan alat
monitoring suhu yang terkalibrasi;
c. Harus
dilakukan pemantauan suhu tempat penyimpanan selama 3 (tiga) kali sehari dengan
rentang waktu yang memadai;
d.
Tempat penyimpanan harus
dilengkapi dengan generator
otomatis atau generator manual yang dijaga oleh personil khusus selama
24 jam; dan
e.
Penyimpanan obat tidak
terlalu padat sehingga
sirkulasi udara dapat dijaga,
jarak antara produk sekitar 1-2 cm.
3.4.
Obat berupa elektrolit
konsentrasi tinggi (misalnya
kalium klorida 2meq/ml atau
yang lebih pekat,
kalium fosfat, natrium
klorida lebih pekat dari 0,9% dan
magnesium sulfat 50% atau yang lebih pekat)
tidak disimpan di unit
perawatan kecuali untuk
kebutuhan klinis yang penting.
Penyimpanan
pada unit perawatan
pasien harus dilengkapi dengan pengaman,
diberi label yang
jelas dan disimpan
pada area yang dibatasi ketat untuk mencegah
penatalaksanaan yang kurang hati-hati.
3.5.
Penyimpanan Obat dan Bahan Obat harus dilengkapi dengan kartu stok, dapat
berbentuk kartu stok manual maupun elektronik.
3.6.
Informasi dalam kartu stok sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama
Obat/Bahan Obat, bentuk sediaan, dan kekuatan Obat;
b. Jumlah
persediaan;
c. Tanggal,
nomor dokumen, dan sumber penerimaan;
d. Jumlah
yang diterima;
e. Tanggal,
nomor dokumen, dan tujuan penyerahan/penggunaan;
f. Jumlah
yang diserahkan/digunakan;
g.
Nomor bets dan
kedaluwarsa setiap penerimaan
atau penyerahan/penggunaan; dan
h. Paraf
atau identitas petugas yang ditunjuk.
3.7. Jika
pencatatan dilakukan secara elektronik, maka:
a. Harus
tervalidasi, mampu telusur dan dapat ditunjukkan pada saat diperlukan;
b.
Harus mampu tertelusur
informasi mutasi sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun terakhir;
c.
Harus tersedia sistem
pencatatan lain yang
dapat dilihat setiap dibutuhkan. Hal
ini dilakukan bila
pencatatan secara elektronik tidak berfungsi sebagaimana
seharusnya.
d. Harus
dapat di salin/copy dan/atau diberikan cetak/printout
3.8.
Pencatatan yang dilakukan harus tertib dan akurat.
3.9.
Penyimpanan Obat/Bahan Obat
yang rusak dan/atau
kedaluwarsa harus terpisah dari Obat/Bahan Obat yang masih layak guna
dan diberi penandaaan yang jelas serta dilengkapi dengan pencatatan berupa
kartu stok yang dapat berbentuk kartu stok manual dan/atau elektronik.
3.10.
Melakukan stok opname
secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan.
3.11.
Melakukan investigasi adanya selisih stok dengan fisik saat stok opname
dan mendokumentasikan hasil
investigasi dalam bentuk
Berita Acara hasil investigasi
selisih stok menggunakan
contoh sebagaimana
tercantum
dalam Formulir 10.
Dokumentasi harus mampu
telusur dan dapat diperlihatkan
saat diperlukan.
3.12.
Mutasi Obat dari
Instalasi Farmasi Rumah
Sakit ke depo/unit
antara lain rawat inap,
rawat jalan, kamar
operasi, instalasi gawat
darurat, harus tercatat pada
kartu stok dengan
disertai bukti serah
terima obat dari instalasi
farmasi kepada depo/unit
menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 8.
4.
Penyerahan
4.1.
Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian
Penanggung Jawab wajib bertanggung jawab terhadap penyerahan
Obat.
4.2.
Penyerahan Obat Golongan
Obat Keras kepada
pasien hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter.
4.3.
Instalasi Farmasi Rumah
Sakit hanya dapat
melayani resep Obat berdasarkan resep dari rumah sakit
tersebut.
4.4.
Instalasi Farmasi Klinik
selain melayani resep
dari klinik yang bersangkutan, dapat melayani resep dari
dokter praktik perorangan atau resep dari klinik lain.
4.5.
Resep yang diterima
dalam rangka penyerahan
Obat wajib dilakukan skrining.
4.6.
Resep yang dilayani
harus asli; ditulis
dengan jelas dan
lengkap; tidak dibenarkan dalam
bentuk faksimili dan
fotokopi, termasuk fotokopi blanko resep.
4.7. Resep
harus memuat:
a. Nama,
Surat Izin Praktik (SIP), alamat, dan nomor telepon dokter;
b. Tanggal
penulisan resep;
c. Nama,
potensi, dosis, dan jumlah obat;
d. Aturan
pemakaian yang jelas;
e. Nama,
alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien;
f. Tanda
tangan atau paraf dokter penulis resep.
4.8.
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian hanya dapat menyerahkan Obat kepada
pasien.
4.9.
Dikecualikan dari ketentuan pada angka 4.8, selain dapat menyerahkan Obat kepada pasien, Apotek
juga dapat menyerahkan obat kepada:
a. Apotek
lainnya,
b.
Puskesmas,
c. Instalasi
Farmasi Rumah Sakit,
d. Instalasi
Farmasi Klinik,
e. Dokter,
dan
f. Bidan
Praktik Mandiri.
4.10.
Penyerahan Obat sebagaimana
dimaksud angka 4.9
huruf a sampai dengan
huruf d hanya
dapat dilakukan apabila
terjadi kelangkaan stok di
fasilitas distribusi dan
terjadi kekosongan stok
di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian tersebut.
Penyerahan tersebut harus
berdasarkan surat permintaan tertulis
dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Formulir
5 untuk Obat
Golongan Obat Keras
atau Formulir 7 untuk
Obat Golongan Obat
Bebas Terbatas yang ditandatangani oleh
Penanggung Jawab Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian.
4.11.
Kelangkaan stok sebagaimana
dimaksud pada angka
4.10 dibuktikan dengan surat
keterangan dari Balai
Pengawas Obat dan
Makanan setempat atau Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota setempat
yang menyatakan kelangkaan stok
tersebut terjadi di
seluruh jalur distribusi di Kabupaten/Kota tersebut.
4.12. Surat
Permintaan Tertulis yang diterima dalam rangka penyerahan Obat wajib dilakukan
skrining.
4.13.
Penyerahan Obat kepada
Dokter dan/atau Bidan
Praktik Mandiri sebagaimana dimaksud
angka 4.9 huruf
e dan huruf
f hanya dapat dilakukan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
4.14.
Penyerahan Obat kepada Dokter sebagaimana dimaksud pada angka 4.9
huruf e
harus berdasarkan surat
permintaan tertulis dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam
Formulir 6 yang ditandatangani oleh
Dokter dan dalam
jumlah yang terbatas
sesuai peruntukan.
4.15.
Penyerahan Obat kepada Bidan Praktik Mandiri sebagaimana dimaksud
pada angka 4.9
huruf f hanya
yang diperlukan untuk
pelayanan antenatal,
persalinan normal, penatalaksanaan bayi
baru lahir, nifas, keluarga berencana,
dan penanganan awal
kasus kedaruratan kebidanan dan
bayi baru lahir.
4.16.
Penyerahan Obat sebagaimana
dimaksud pada angka
4.15 harus berdasarkan surat
pesanan kebutuhan obat
dengan menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir
4 yang ditandatangani oleh Bidan
yang bersangkutan dan
dalam jumlah yang
terbatas sesuai peruntukan.
4.17.
Penyerahan Obat hanya
dapat dilakukan dalam
bentuk obat jadi, termasuk dalam bentuk racikan obat.
4.18. Resep
Obat dengan permintaan iter dilarang diserahkan sekaligus.
4.19.
Penggunaan resep dalam bentuk elektronik di dalam penyerahan Obat di
Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi Rumah Sakit dan Puskesmas diperbolehkan
dengan ketentuan:
a.
Pelayanan resep elektronik
hanya dapat diselenggarakan oleh sarana yang mengeluarkan resep
elektronik tersebut;
b.
Tersedia sistem dokumentasi
yang baik sehingga
resep elektronik mampu telusur
dan dapat ditunjukkan pada saat diperlukan.
4.20.
Salinan resep adalah
salinan yang dibuat
dan ditandatangani oleh apoteker menggunakan blanko salinan resep
dan bukan berupa fotokopi dari
resep asli. Salinan
resep selain memuat
semua keterangan yang terdapat dalam resep asli, harus memuat
pula:
a. Nama,
alamat, dan nomor surat izin sarana;
b. Nama dan
nomor Surat Izin Praktek Apoteker;
c.
Tanda det atau
detur untuk obat
yang sudah diserahkan;
tanda nedet atau ne detur untuk obat yang belum diserahkan;
d. Nomor
resep dan tanggal pembuatan;
e. Stempel
sarana.
4.21.
Resep dan/ atau
surat permintaan tertulis
harus mampu telusur
dan dapat ditunjukkan pada saat diperlukan.
4.22.
Resep dan/ atau
surat permintaan tertulis
disimpan sekurangkurangnya selama
5 (lima) tahun berdasarkan urutan
tanggal dan nomor urutan
penerimaan resep.
4.23. Resep
dan/ atau surat permintaan tertulis yang
telah disimpan melebihi 5 (lima) tahun dapat dimusnahkan.
4.24.
Pemusnahan resep dilakukan
dengan cara dibakar
atau dengan cara lain
yang sesuai oleh
Apoteker Penanggung Jawab
dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya seorang petugas fasilitas pelayanan kefarmasian.
4.25. Pada
pemusnahan resep, harus dibuat Berita Acara Pemusnahan.
4.26.
Pemusnahan resep wajib
dilaporkan dengan melampirkan
Berita Acara Pemusnahan kepada
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dan tembusan Kepala Balai
Pengawas Obat dan Makanan setempat.
4.27.
Penyerahan produk rantai dingin (Cold Chain Product) dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a.
Penyerahan dilakukan kepada
dokter penulis resep,
tenaga kesehatan yang melakukan
tindakan atau sampai
dengan produk ditempatkan ke
tempat penyimpanan lain
sesuai persyaratan penyimpanan;
b.
Pengiriman menggunakan wadah
kedap dengan yang
dilengkapi icepack/coolpack
sedemikian rupa sehingga
dapat menjaga suhu selama pengiriman;
c.
Harus dilakukan validasi
pengiriman produk rantai
dingin menggunakan wadah kedap
untuk menjamin suhu
pengiriman produk rantai dingin
sesuai dengan persyaratan
sampai ke tangan pelanggan;
d.
Produk rantai dingin
tidak boleh bersentuhan
langsung dengan icepack/coolpack;
dan
e.
Harus dilakukan pemeriksaan
suhu produk rantai
dingin sebelum dilakukan pengiriman
dan pada saat penerimaan sesuai pada huruf a.
5.
Pengembalian
5.1.
Pengembalian Obat kepada
pemasok harus dilengkapi dengan
dokumenserah terima pengembalian
Obat yang sah
dan fotokopi arsip
Faktur Pembelian.
5.2. Setiap
pengembalian Obat wajib dicatat dalam Kartu Stok.
5.3. Seluruh
dokumen pengembalian harus terdokumentasi
dengan baik dan mampu telusur.
6.
Pemusnahan
6.1.
Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian
Penanggung Jawab wajib memastikan kemasan
termasuk label obat yang
akan dimusnahkan telah dirusak.
6.2.
Pemusnahan Obat/Bahan Obat
dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
B.
PEDOMAN TEKNIS PENGELOLAAN
NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA
DAN PREKURSOR FARMASI DI FASILITAS
PELAYANAN KEFARMASIAN
1. Pengadaan
1.1.
Pengadaan Narkotika oleh
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
harus bersumber dari Pedagang
Besar Farmasi yang
memiliki Izin Khusus menyalurkan Narkotika.
1.2.
Pengadaan Psikotropika, dan/atau
Prekursor Farmasi oleh Fasilitas Pelayanan Kefarmasian harus
bersumber dari Pedagang Besar Farmasi.
1.3.
Dikecualikan dari ketentuan
angka 1.1 dan
angka 1.2, pengadaan Narkotika, Psikotropika,
dan/atau Prekursor Farmasi
oleh Puskesmas harus bersumber dari
Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah.
1.4.
Pengadaan Narkotika, Psikotropika,
dan/atau Prekursor Farmasi
oleh Puskesmas, selain sesuai
dengan ketentuan angka
1.3, dapat juga bersumber dari
Puskesmas lain dalam
satu kabupaten/kota dengan persetujuan tertulis dari Instalasi
Farmasi Pemerintah Daerah.
1.5.
Pengadaan Narkotika, Psikotropika
dan/atau Prekursor Farmasi bersumber dari
Puskesmas lain sebagaimana
dimaksud angka 1.4 dilakukan:
a.
apabila di Instalasi
Farmasi Pemerintah Daerah
terdapat kekosongan stok Narkotika,
Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi yang dibutuhkan;
b. hanya
untuk kebutuhan maksimal 1 (satu) bulan;
c. dengan
dilengkapi dokumen LPLPO terkait pengembalian Narkotika, Psikotropika dan/atau
Prekursor Farmasi dari Puskesmas
Pengirim ke Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah; dan
d.
dengan dilengkapi dokumen
LPLPO terkait penyaluran
Narkotika, Psikotropika
dan/atau Prekursor Farmasi
dari Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah ke Puskesmas Penerima;
e.
Narkotika, Psikotropika dan/atau
Prekursor Farmasi dapat langsung dikirimkan
dari Puskesmas Pengirim
ke Puskesmas Penerima.
1.6.
Pengadaan Narkotika, Psikotropika,
dan/atau Prekursor Farmasi
harus dilengkapi dengan Surat
Pesanan Narkotika sebagaimana
contoh yang tercantum dalam
Formulir 1, Surat
Pesanan Psikotropika sebagaimana
contoh yang tercantum dalam Formulir 2, atau Surat
Pesanan Prekursor Farmasi sebagaimana contoh yang tercantum dalam Formulir 3.
1.7. Dikecualikan dari
ketentuan angka 1.6,
pengadaan Narkotika,
Psikotropika dan/atau Prekursor
Farmasi di Puskesmas
harus berdasarkan Laporan Pemakaian
dan Lembar Permintaan
Obat (LPLPO) yang ditandatangani atau
diparaf Apoteker Penanggung
Jawab dan ditandatangani Kepala
Puskesmas.
1.8.
Surat Pesanan dapat
dilakukan menggunakan sistem
elektronik.
Ketentuan surat pesanan secara elektronik sebagai
berikut:
a.
sistem elektronik harus
bisa menjamin otoritas penggunaan
sistem hanya oleh Penanggung Jawab Fasilitas Pelayanan Kefarmasian.
b.
mencantumkan nama sarana
sesuai izin (disertai
nomor izin) dan alamat
lengkap (termasuk nomor telepon/faksimili bila
ada) dan stempel sarana;
c.
mencantumkan nama fasilitas
distribusi pemasok beserta
alamat lengkap;
d.
mencantumkan nama, bentuk
dan kekuatan sediaan,
jumlah (dalam bentuk angka
dan huruf) dan
isi kemasan (kemasan penyaluran terkecil atau tidak dalam
bentuk eceran) dari Obat yang dipesan;
e. menberikan nomor
urut, nama kota
dan tanggal dengan
penulisan yang jelas;
f.
Surat Pesanan Narkotika,
Surat Pesanan Psikotropika,
Surat Pesanan Prekursor Farmasi
dibuat terpisah dari
surat pesanan untuk obat lain.
g.
sistem elektronik yang
digunakan harus bisa
menjamin ketertelusuran
produk, sekurang kurangnya
dalam batas waktu
5 (lima) tahun terakhir.
h.
Surat Pesanan elektronik
harus dapat ditunjukan
dan dipertanggungjawabkan kebenarannya pada saat pemeriksaan, baik
oleh pihak yang
menerbitkan surat pesanan
maupun pihak yang menerima menerima surat pesanan.
i. harus
tersedia sistem backup data secara elektronik.
j.
sistem pesanan elekronik
harus memudahkan dalam
evaluasi dan penarikan data pada
saat dibutuhkan oleh pihak yang menerbitkan surat pesanan dan/atau oleh pihak
yang menerima surat pesanan.
k.
pesanan secara elektronik
yg dikirimkan ke
pemasok harus dipastikan diterima
oleh pemasok, yang
dapat dibuktikan melalui adanya pemberitahuan secara
elektronik dari pihak pemasok bahwa pesanan tersebut telah diterima.
l. Surat
pesanan manual (asli) harus diterima oleh pemasok selambatlambatnya 7
(tujuh) hari setelah
adanya pemberitahuan secara elektronik dari
pihak pemasok bahwa
pesanan elektronik telah diterima .
1.9.
Apabila Surat Pesanan
dibuat secara manual,
maka Surat Pesanan harus:
a. asli dan
dibuat sekurang-kurangnya rangkap
3 (tiga) serta
tidak dibenarkan dalam bentuk faksimili dan fotokopi. Dua rangkap surat
pesanan diserahkan kepada pemasok dan 1
(satu) rangkap sebagai arsip;
b.
ditandatangani oleh Apoteker/Tenaga Teknis
KefarmasianPenanggung Jawab, dilengkapi
dengan nama jelas,
dan nomor Surat Izin Praktik
Apoteker (SIPA)/ Surat Izin Praktik Tenaga Teknis Kefarmasian (SIPTTK) sesuai
ketentuan perundang-undangan;
c.
dicantumkan nama sarana
sesuai izin (disertai
nomor izin) dan alamat
lengkap (termasuk nomor
telepon/faksimili bila ada)
dan stempel sarana;
d. dicantumkan nama
fasilitas distribusi pemasok
beserta alamat lengkap;
e.
dicantumkan nama, bentuk
dan kekuatan sediaan,
jumlah (dalam bentuk angka
dan huruf) dan
isi kemasan (kemasan
penyaluran terkecil atau tidak dalam bentuk eceran) dari Obat yang
dipesan;
f.
diberikan nomor urut,
nama kota dan
tanggal dengan penulisan yang jelas;
g.
Surat Pesanan Narkotika,
Surat Pesanan Psikotropika,
Surat Pesanan Prekursor Farmasi
dibuat terpisah dari
surat pesanan untuk obat lain.
h. sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
1.10.
Apabila Surat Pesanan Narkotika, Surat Pesanan Psikotropika dan/atau
Surat Pesanan Prekursor
Farmasi tidak dapat
digunakan karena suatu hal,
maka Surat Pesanan
tersebut harus diberi
tanda pembatalan yang
jelas
dan diarsipkan bersama
dengan Surat Pesanan
Narkotika, Surat Pesanan Psikotropika
dan/atau Surat Pesanan
Prekursor Farmasi lainnya.
1.11.
Apabila Surat Pesanan
tidak bisa dilayani
baik sebagian atau seluruhnya, harus meminta surat
penolakan pesanan dari pemasok.
1.12.
Apabila pengadaan Narkotika,
Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi dilakukan
melalui sistem pengadaan
barang/jasa pemerintah, termasuk
e-purchasing maka:
a. Apoteker
Penanggung Jawab menyampaikan daftar kebutuhan Obat kepada pelaksana sistem
pengadaan barang/jasa pemerintah;
b. Apoteker
Penanggung Jawab menyampaikan Surat Pesanan kepada pemasok;
c.
jumlah pengadaan Narkotika,
Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi tidak dalam jumlah eceran
(kemasan penyaluran terkecil);
d.
pengadaan Narkotika, Psikotropika,
dan/atau Prekursor Farmasi dilakukan oleh
pelaksana sistem pengadaan
barang/jasa pemerintah;
e.
Apoteker Penanggung Jawab
harus memonitor pelaksanaan pengadaan obat pemerintah;
f. Apoteker
Penanggung Jawab harus menyimpan salinan dokumen epurchasing atau
dokumen pengadaan termasuk
Surat Perintah Mulai Kerja
(SPMK)/Surat Perintah Kerja
(SPK) lengkap beserta daftar obat dan jumlah obat yang akan
diadakan;
1.13.
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian yang
tergabung di dalam
satu grup, maka pengadaan
Surat Pesanan Narkotika,
Surat Pesanan Psikotropika dan/atau Surat
Pesanan Prekursor Farmasi harus
dilakukan oleh masing-masing Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian.
1.14.
Arsip Surat Pesanan
Narkotika, Surat Pesanan
Psikotropika dan/atau Surat Pesanan
Prekursor Farmasi harus
disimpan sekurang-kurangnya
selama 5
(lima) tahun berdasarkan
tanggal dan nomor
urut Surat Pesanan.
1.15.
Arsip Laporan Pemakaian
dan Lembar Permintaan
Obat (LPLPO) disimpan sekurang-kurangnya selama
5 (lima) tahun
berdasarkan urut bulan LPLPO.
1.16.
Arsip Surat Pesanan
Narkotika, Surat Pesanan
Psikotropika atau Surat Pesanan
Prekursor Farmasi harus
dipisahkan dengan arsip
Surat Pesanan produk lain.
1.17.
Faktur pembelian Narkotika
dan/atau Surat Pengiriman
Barang (SPB) Narkotika harus
disimpan bersatu dengan
Arsip Surat Pesanan Narkotika.
1.18. Faktur
pembelian Psikotropika dan/atau Surat Pengiriman Barang (SPB) Psikotropika harus
disimpan bersatu dengan
Arsip Surat Pesanan Psikotropika.
1.19. Faktur
pembelian Prekursor Farmasi dan/atau Surat Pengiriman Barang (SPB) Prekursor
Farmasi harus disimpan
bersatu dengan Arsip
Surat Pesanan Prekursor farmasi.
1.20.
Surat penolakan pesanan
dari Pedagang Besar
Farmasi harus diarsipkan menjadi
satu dengan arsip Surat Pesanan.
1.21.
Seluruh arsip harus
mampu telusur dan
dapat ditunjukkan pada
saat diperlukan.
2.
Penerimaan
2.1.
Penerimaan Narkotika, Psikotropika
dan/atau Prekursor Farmasi
oleh Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
harus berdasarkan Faktur
pembelian dan/atau Surat Pengiriman Barang yang sah.
2.2.
Dikecualikan dari ketentuan
angka 2.1, penerimaan
Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi oleh Puskesmas dari Instalasi Farmasi
Pemerintah Daerah harus berdasarkan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO).
2.3.
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
hanya dapat melakukan
penerimaan Narkotika,
Psikotropika dan/atau Prekursor
Farmasi yang ditujukan untuk Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian tersebut
sebagaimana tertera dalam Surat
Pesanan.
2.4.
Penerimaan Narkotika, Psikotropika
dan/atau Prekursor Farmasi
di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
harus dilakukan oleh
Apoteker Penanggung Jawab.
2.5.
Bila Puskesmas tidak
memiliki Apoteker Penanggung
Jawab sebagaimana diatur dalam
ketentuan angka 2.4,
penerimaan dapat dilakukan oleh
tenaga kefarmasian, tenaga medis atau tenaga kesehatan lain yang ditunjuk oleh
Kepala Puskesmas.
2.6.
Bila Apoteker Penanggung
Jawab berhalangan hadir,
penerimaan Narkotika, Psikotropika dan/atau
Prekursor Farmasi dapat didelegasikan kepada
Tenaga Kefarmasian yang
ditunjuk oleh Apoteker Penanggungjawab. Pendelegasian
dilengkapi dengan Surat Pendelegasian Penerimaan Narkotika,
Psikotropika dan/atau Prekursor
Farmasi menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 9.
2.7.
Pada saat penerimaan
Narkotika, Psikotropika dan/atau
Prekursor Farmasi, Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian harus melakukan pemeriksaan:
a.
kondisi kemasan Narkotika,
Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi termasuk segel,
label/penandaan dalam keadaan baik;
b.
kesesuaian nama Narkotika,
Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi, bentuk, kekuatan sediaan
Obat, isi kemasan antara arsip Surat
Pesanan (SP)/ Laporan
Pemakaian dan Lembar
Permintaan Obat (LPLPO) dengan obat yang diterima;
c.
kesesuaian antara fisik Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor
Farmasi dengan Faktur
pembelian/ Laporan Pemakaian
dan Lembar Permintaan Obat
(LPLPO) dan/atau Surat
Pengiriman Barang (SPB) yang meliputi:
1)
Kebenaran nama produsen,
nama pemasok, nama
Narkotika, Psikotropika
dan/atau Prekursor Farmasi,
jumlah, bentuk, kekuatan sediaan,
dan isi kemasan;
2) Nomor
bets dan tanggal kedaluwarsa.
2.8.
Apabila hasil pemeriksaan
ditemukan Narkotika, Psikotropika
dan/atau Prekursor Farmasi yang
diterima tidak sesuai
dengan pesanan seperti nama, kekuatan sediaan Obat, jumlah atau kondisi kemasan tidak baik, maka Narkotika, Psikotropika
dan/atau Prekursor Farmasi harus segera
dikembalikan pada saat
penerimaan. Apabila pengembalian
tidak dapat dilaksanakan pada
saat penerimaan misalnya
pengiriman melalui ekspedisi maka
dibuatkan Berita Acara
yang menyatakan penerimaan tidak sesuai dan disampaikan ke
pemasok untuk dikembalikan.
2.9.
Jika pada hasil
pemeriksaan ditemukan ketidaksesuaian nomor
bets atau tanggal kedaluwarsa
antara fisik dengan
faktur pembelian/Laporan Pemakaian
dan Lembar Permintaan
Obat (LPLPO) dan/atau Surat Pengiriman
Barang (SPB) harus
dibuat koreksi dan
dikonfirmasi ketidaksesuaian dimaksud kepada pihak pemasok.
2.10.
Jika pada hasil
pemeriksaan dinyatakan sesuai
dan kondisi kemasan obat
baik maka Apoteker
atau Tenaga Teknis
Kefarmasian yang mendapat delegasi
wajib menandatangani Faktur
Pembelian/ Laporan Pemakaian dan
Lembar Permintaan Obat
(LPLPO) dan/atau Surat Pengiriman Barang
(SPB) dengan mencantumkan
nama lengkap, nomor SIPA/SIPTTK dan stempel sarana.
2.11.
Apabila pengadaan Narkotika,
Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasidilakukan melalui sistem pengadaan
barang/jasa pemerintah maka:
a.
penerimaan Narkotika, Psikotropika
dan/atau Prekursor Farmasi harus
melibatkan Apoteker/Tenaga Teknis
Kefarmasian sebagai Panitia Penerimaan
Barang dan Jasa
Pemerintah. Apabila
Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian tidak termasuk dalam Panitia Penerima Barang,
maka penerimaan dilakukan
oleh Apoteker
Penanggungjawab atau Tenaga
Kefarmasian yang ditunjuk
oleh Apoteker Penanggungjawab.
b.
penerimaan Narkotika, Psikotropika
dan/atau Prekursor Farmasi dari
Pedagang Besar Farmasi
dilakukan oleh Panitia
Penerimaan Barang dan Jasa Pemerintah;
c.
Panitia Penerimaan Barang
dan Jasa Pemerintah
segera menyerahkan
Narkotika, Psikotropika dan/atau
Prekursor Farmasi kepada Apoteker
Penanggung Jawab atau Tenaga Kefarmasian yang ditunjuk oleh Apoteker
Penanggungjawab;
d.
Apoteker Penanggung Jawab
wajib mendokumentasikan salinan Berita Acara
Serah Terima Barang
dan Berita Acara
Penyelesaian Pekerjaan.
3.
Penyimpanan
3.1.
Penyimpanan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi harus :
a. Dalam
wadah asli dari produsen.
b.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud huruf a, dalam hal diperlukan
pemindahan dari wadah
asli nya untuk
pelayanan resep, obat dapat
disimpan di dalam
wadah baru yang
dapat menjamin keamanan, mutu,
dan ketertelusuran obat
dengan dilengkapi dengan identitas
obat meliputi nama
obat dan zat aktifnya,
bentuk dan kekuatan
sediaan, nama produsen,
jumlah, nomor bets dan tanggal kedaluwarsa.
c. Pada
kondisi yang sesuai dengan rekomendasi dari industri farmasi yang memproduksi
Obat sebagaimana tertera
pada kemasan dan/atau label Obat
sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.
d.
terpisah dari produk
lain dan terlindung
dari dampak yang
tidak diinginkan akibat paparan
cahaya matahari, suhu,
kelembaban atau faktor eksternal lain;
e. sedemikian rupa
untuk mencegah tumpahan,
kerusakan, kontaminasi dan campur-baur; dan
f. tidak
bersinggungan langsung antara kemasan dengan lantai.
g.
dilakukan dengan memperhatikan
bentuk sediaan dan
kelas terapi Obat serta disusun
secara alfabetis.
h.
memperhatikan kemiripan penampilan
dan penamaan Obat
(LASA, Look Alike Sound
Alike) dengan tidak
ditempatkan berdekatan dan harus
diberi penandaan khusus
untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan Obat
i.
memperhatikan sistem First
Expired First Out
(FEFO) dan/atau sistem First In
First Out (FIFO)
3.2.
Narkotika harus disimpan
dalam lemari khusus
penyimpanan Narkotika.
3.3.
Psikotropika harus disimpan
dalam lemari khusus
penyimpanan Psikotropika.
3.4. Prekursor Farmasi
harus disimpan di
tempat yang aman
berdasarkan analisis risiko.
3.5.
Analisis risiko sebagaimana
dimaksud angka 3.4
antara lain pembatasan akses
personil, diletakkan dalam
satu area dan
tempat penyimpanan mudah diawasi secara langsung oleh penanggungjawab.
3.6. Lemari
khusus penyimpanan Narkotika harus mempunyai 2 (dua) buah kunci yang
berbeda, satu kunci
dipegang oleh Apoteker
Penanggung Jawab dan satu
kunci lainnya dipegang
oleh pegawai lain
yang dikuasakan.
3.7.
Lemari khusus penyimpanan
Psikotropika harus mempunyai
2 (dua)
buah
kunci yang berbeda,
satu kunci dipegang
oleh Apoteker
Penanggung
Jawab dan satu
kunci lainnya dipegang
oleh pegawai lain
yang
dikuasakan. Apabila Apoteker
Penanggung Jawab berhalangan
hadir dapat menguasakan kunci kepada pegawai lain.
3.8.
Dalam hal Apoteker
Penanggung Jawab sebagaimana
dimaksud angka 3.6 dan
angka 3.7 berhalangan
hadir, Apoteker Penanggung
Jawab dapat menguasakan kunci kepada pegawai lain
3.9.
Pegawai lain sebagaimana
dimaksud angka 3.6,
angka 3.7, dan
angka 3.2.8 adalah Apoteker atau Tenaga Teknis Kefarmasian.
3.10.
Pemberian kuasa sebagaimana
dimaksud angka 3.6,
angka 3.7, dan angka
3.8 harus dilengkapi
dengan Surat Kuasa
yang ditandatangani oleh pihak
pemberi kuasa dan pihak penerima kuasa.
3.11.
Surat Kuasa harus
diarsipkan sekurang-kurangnya selama
5 (lima) tahun.
3.12.
Penyimpanan Narkotika, Psikotropika
dan/atau Prekursor Farmasi harus dilengkapi dengan kartu stok,
dapat berbentuk kartu stok manual maupun elektronik.
3.13.
Informasi dalam kartu stok sekurang-kurangnya memuat:
a.
Nama, bentuk sediaan,
dan kekuatan Narkotika,
Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi;
b. Jumlah
persediaan;
c. Tanggal,
nomor dokumen, dan sumber penerimaan;
d. Jumlah
yang diterima;
e. Tanggal,
nomor dokumen, dan tujuan penyerahan;
f. Jumlah
yang diserahkan;
g.
Nomor bets dan
kedaluwarsa setiap penerimaan
atau penyerahan; dan
h. Paraf
atau identitas petugas yang ditunjuk.
3.14. Jika
pencatatan dilakukan secara elektronik, maka:
a. Harus
tervalidasi, mampu telusur dan dapat ditunjukkan pada saat diperlukan;
b.
Harus mampu tertelusur
informasi mutasi sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun terakhir;
c.
Harus tersedia sistem
pencatatan lain yang
dapat dilihat setiap dibutuhkan. Hal
ini dilakukan bila
pencatatan secara elektronik tidak berfungsi sebagaimana
seharusnya.
d. Harus
dapat di salin/copy dan/atau diberikan cetak/printout
3.15.
Pencatatan yang dilakukan harus tertib dan akurat.
3.16.
Narkotika yang rusak
dan/atau kedaluwarsa harus
disimpan secara terpisah dari
Narkotika yang layak
guna, dalam lemari
penyimpanan khusus Narkotika dan diberi penandaaan yang jelas.
3.17.
Psikotropika yang rusak
dan/atau kedaluwarsa harus
disimpan secara terpisah dari
Psikotropika yang layak
guna, dalam lemari
penyimpanan khusus Psikotropika dan diberi penandaaan yang jelas.
3.18.
Prekursor Farmasi yang
rusak dan/atau kedaluwarsa
harus disimpan secara aman dan
terpisah dari Prekursor Farmasi yang
layak guna serta diberi penandaaan yang jelas.
3.19.
Melakukan stok opname
Narkotika dan Psikotropika
secara berkala sekurang-kurangnya sekali
dalam 1 (satu)
bulan dan melakukan
stok opname Prekursor Farmasi
secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan
3.20.
Melakukan investigasi adanya selisih stok dengan fisik saat stok opname
dan mendokumentasikan hasil
investigasi dalam bentuk
Berita Acara hasil investigasi
selisih stok menggunakan
contoh sebagaimana tercantum dalam
Formulir 10. Dokumentasi
harus mampu telusur
dan dapat diperlihatkan saat diperlukan.
3.21.
Mutasi Narkotika, Psikotropika
dan/atau Prekursor Farmasi
dari Instalasi Farmasi Rumah
Sakit ke depo/unit
antara lain rawat
inap, rawat jalan, kamar operasi, instalasi gawat darurat, harus tercatat pada kartu stok dengan disertai bukti serah terima obat dari
instalasi farmasi kepada depo/unit menggunakan
contoh sebagaimana tercantum
dalam Formulir 8.
4.
Penyerahan
4.1.
Penanggung Jawab Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian wajib
bertanggung jawab terhadap penyerahan
Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi.
4.2.
Penyerahan Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi
Golongan Obat Keras kepada
pasien hanya dapat
dilakukan berdasarkan resep dokter.
4.3.
Resep yang diterima
dalam rangka penyerahan
Narkotika, Psikotropika dan/atau
Prekursor Farmasi wajib dilakukan skrining.
4.4.
Resep yang dilayani
harus asli; ditulis
dengan jelas dan
lengkap; tidak dibenarkan dalam
bentuk faksimili dan
fotokopi, termasuk fotokopi blanko resep.
4.5.
Instalasi Farmasi Rumah
Sakit dan Puskesmas
hanya dapat melayani resep Narkotika,
Psikotropika dan/atau Prekursor
Farmasi berdasarkan resep dari
Instalasi Farmasi Rumah Sakit dan Puskesmas tersebut.
4.6. Resep
harus memuat:
a. Nama,
Surat Izin Praktik (SIP), alamat, dan nomor telepon dokter;
b. Tanggal
penulisan resep;
c. Nama,
potensi, dosis, dan jumlah obat;
d. Aturan
pemakaian yang jelas;
e. Nama,
alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien;
f. Tanda
tangan atau paraf dokter penulis resep.
4.7.
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
hanya dapat menyerahkan
Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi kepada pasien.
4.8.
Selain dapat menyerahkan
kepada pasien, Apotek
juga dapat menyerahkan Narkotika,
Psikotropika dan/atau Prekursor
Farmasi kepada:
a. Apotek
lainnya,
b.
Puskesmas,
c. Instalasi
Farmasi Rumah Sakit,
d. Instalasi
Farmasi Klinik, dan
e. Dokter
4.9.
Penyerahan Narkotika, Psikotropika
dan/atau Prekursor Farmasi sebagaimana dimaksud angka 4.8 huruf
a sampai dengan huruf d hanya dapat
dilakukan apabila terjadi
kelangkaan stok di
fasilitas distribusi dan terjadi
kekosongan stok di
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian tersebut. Penyerahan
tersebut harus berdasarkan
surat permintaan tertulis dengan
menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 5
untuk penyerahan Narkotika/Psikotropika/Prekursor Farmasi Golongan
Obat Keras atau
Formulir 7 untuk
penyerahan Prekursor Farmasi Golongan
Obat Bebas Terbatas
yang ditandatangani oleh
Penanggung Jawab Fasilitas Pelayanan Kefarmasian.
4.10.
Selain ketentuan sebagaimana
dimaksud pada angka
4.8, penyerahan Narkotika, Psikotropika
dan Prekursor Farmasi
Golongan Obat Keras oleh
Apotek kepada Apotek
lainnya, Puskesmas, Instalasi
Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi Farmasi Klinik hanya dapat dilakukan
untuk memenuhi kekurangan jumlah
berdasarkan resep yang
telah diterima. Penyerahan tersebut
harus berdasarkan surat
permintaan tertulis yang sah
dan dilengkapi fotokopi
resep yang disahkan
oleh Apoteker Penanggung Jawab.
4.11.
Dikecualikan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud pada
angka 4.8, Apotek dapat
menyerahkan Prekursor Farmasi
golongan obat bebas terbatas kepada
Toko Obat apabila
terjadi kelangkaan stok
di fasilitas distribusi dan
terjadi kekosongan stok
di Toko Obat
tersebut.
Penyerahan
tersebut harus berdasarkan
surat permintaan tertulis dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Formulir 7yang
ditandatangani oleh Tenaga
Teknis Kefarmasian Penanggung Jawab.
4.12.
Kelangkaan stok sebagaimana dimaksud pada angka 4.9 dan angka 4.11 dibuktikan dengan
surat keterangan dari
Dinas Kesehatan Provinsi setempat yang
menyatakan kelangkaan stok
tersebut terjadi di
seluruh jalur distribusi di Provinsi tersebut.
4.13.
Penyerahan Prekursor Farmasi
Golongan Obat Bebas
Terbatas harus memperhatikan kewajaran
dan kerasionalan jumlah
yang diserahkan sesuai kebutuhan
terapi.
4.14.
Penyerahan Prekursor Farmasi
Golongan Obat Bebas
Terbatas di luar kewajaran harus
dilakukan oleh penanggung
jawab Fasilitas Pelayanan Kefarmasian.
4.15.
Penyerahan Narkotika, Psikotropika
dan Prekursor Farmasi
Golongan Obat Keras ke
Dokter sebagaimana dimaksud
pada angka 4.8
huruf e hanya dapat dilakukan
dalam hal:
a.
dokter menjalankan praktik
perorangan dengan memberikan Narkotika, Psikotropika
dan/atau Prekursor Farmasi
melalui suntikan; dan/atau
b.
dokter menjalankan tugas
atau praktik di
daerah terpencil yang tidak
ada Apotek atau
sesuai dengan ketentuan
peraturanperundang-undangan.
4.16.
Penyerahan Narkotika, Psikotropika
dan Prekursor Farmasi
Golongan Obat Keras sebagaimana
dimaksud pada angka 4.15 harus
berdasarkan surat permintaan tertulis
yang ditandatangani oleh
Dokter dan dalam jumlah yang terbatas sesuai peruntukan.
4.17.
Surat Permintaan Tertulis
yang diterima Apotek
dalam rangka penyerahan Obat
wajib dilakukan skrining.
4.18.
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
harus memerhatikan penyerahan Prekursor Farmasi
Golongan Obat Bebas
Terbatas dalam jumlah
besar secara berulang dalam periode tertentu.
4.19.
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
dilarang mengulangi penyerahan
obat atas dasar resep
yang diulang (iter)
apabila resep aslinya
mengandung Narkotika.
4.20.
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
dilarang menyerahkan Narkotika berdasarkan salinan
resep yang baru
dilayani sebagian atau
belum dilayani sama sekali apabila tidak menyimpan resep asli.
4.21.
Penyerahan Narkotika, Psikotropika
dan/atau Prekursor Farmasi
hanya dapat dilakukan dalam
bentuk obat jadi,
termasuk dalam bentuk racikan obat.
4.22. Resep Narkotika,
Psikotropika dan/atau Prekursor
Farmasi dengan permintaan iter
dilarang diserahkan sekaligus.
4.23.
Apotek hanya dapat
menyerahkan Narkotika berdasarkan
resep yang ditulis oleh dokter
yang berpraktek di provinsi yang sama dengan Apotek tersebut, kecuali
resep tersebut telah
mendapat persetujuan dari
Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota
tempat Apotek yang
akan melayani resep tersebut.
4.24.
Penggunaan resep dalam
bentuk elektronik di
dalam penyerahan Narkotika, Psikotropika
dan Prekursor Farmasi
Golongan Obat Keras
di Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi Rumah Sakit dan
Puskesmasdiperbolehkan dengan ketentuan:
a.
Pelayanan resep elektronik
hanya dapat diselenggarakan oleh sarana yang mengeluarkan resep
elektronik tersebut;
b.
Tersedia sistem dokumentasi
yang baik sehingga
resep elektronik mampu telusur
dan dapat ditunjukkan pada saat diperlukan.
4.25.
Salinan resep adalah
salinan yang dibuat
dan ditandatangani oleh apoteker menggunakan blanko salinan
resep dan bukan berupa fotokopi dari
resep asli. Salinan
resep selain memuat
semua keterangan yang terdapat dalam resep asli, harus memuat
pula:
a. Nama,
alamat, dan nomor surat izin sarana;
b. Nama dan
nomor Surat Izin Praktek Apoteker;
c.
Tanda det atau
detur untuk obat
yang sudah diserahkan;
tanda nedet atau ne detur untuk obat yang belum diserahkan;
d. Nomor
resep dan tanggal pembuatan;
e. Stempel
sarana.
4.26.
Dalam menyerahkan Narkotika,
Psikotropika, atau Prekursor
Farmasi berdasarkan resep, pada
resep atau salinan
resep harus dicatat
nama, alamat, dan nomor
telepon yang bisa
dihubungi dari pihak
yang mengambil obat.
4.27.
Resep dan/ atau
surat permintaan tertulis
Narkotika harus disimpan terpisah dari resep dan/ atau surat
permintaan tertulis lainnya.
4.28. Resep
dan/ atau surat permintaan tertulis Psikotropika harus disimpan terpisah dari
resep dan/ atau surat permintaan tertulis lainnya.
4.29.
Resep dan/ atau surat permintaan
tertulis Prekursor Farmasi
harus disimpan terpisah dari
resep dan/ atau
surat permintaan tertulis lainnya.
4.30.
Resep yang di
dalamnya tertulis Narkotika
bersama Psikotropika
dan/atau Prekursor Farmasi
harus disimpan bergabung
dengan resep Narkotika lainnya.
4.31.
Resep yang di
dalamnya tertulis Psikotropika
bersama Prekursor Farmasi harus
disimpan bergabung dengan resep Psikotropika lainnya.
4.32.
Resep dan/ atau
surat permintaan tertulis
harus mampu telusur
dan dapat ditunjukkan pada saat diperlukan.
4.33.
Resep dan/ atau
surat permintaan tertulis
disimpan sekurangkurangnya selama
5 (lima) tahun
berdasarkan urutan tanggal
dan nomor urutan penerimaan resep.
4.34. Resep
dan/ atau surat permintaan tertulis yang telah disimpan melebihi 5 (lima) tahun
dapat dimusnahkan.
4.35.
Pemusnahan resep dilakukan
dengan cara dibakar
atau dengan cara lain
yang sesuai oleh
Apoteker Penanggung Jawab
dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya seorang petugas Fasilitas Pelayanan Kefarmasian.
4.36. Pada
pemusnahan resep, harus dibuat Berita Acara Pemusnahan.
4.37.
Pemusnahan resep wajib
dilaporkan dengan melampirkan
Berita Acara Pemusnahan kepada
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dan tembusan Kepala Balai
Pengawas Obat dan Makanan setempat.
5.
Pengembalian
5.1.
Pengembalian Narkotika, Psikotropika
dan/atau Prekursor Farmasi kepada pemasok
harus dilengkapi dengan
dokumen serah terima pengembalian Narkotika, Psikotropika
dan/atau Prekursor Farmasi yang sah dan fotokopi arsip Faktur Pembelian.
5.2.
Setiap pengembalian Narkotika,
Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi wajib dicatat dalam Kartu
Stok.
5.3. Seluruh
dokumen pengembalian harus terdokumentasi dengan baik dan mampu telusur.
5.4.
Dokumen pengembalian yang
memuat Narkotika harus
disimpan terpisah dari dokumen pegembalian obat lainnya.
5.5.
Dokumen pengembalian yang
memuat Psikotropika harus
disimpan terpisah dari dokumen pegembalian obat lainnya.
5.6.
Dokumen pengembalian yang
memuat Prekursor Farmasi
harus disimpan terpisah dari dokumen pegembalian obat lainnya.
6.
Pemusnahan
6.1.
Penanggung Jawab Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian wajib
memastikan kemasan termasuk label
Narkotika, Psikotropika, dan/atau
Prekursor Farmasi yang akan
dimusnahkan telah dirusak.
6.2.
Pemusnahan Narkotika, Psikotropika,
dan/atau Prekursor Farmasi dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
7. Pelaporan
7.1.
Pelaporan Pemasukan dan
Penyerahan/Penggunaan Narkotika dan Psikotropika dilakukan
sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.
Formulir
1
SURAT PESANAN NARKOTIKA
Nomor : .............................
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ..........
Jabatan
: ..........
Mengajukan pesanan Narkotika kepada :
Nama Distributor
: ..........
Alamat
: ..........
Telp : ..........
dengan Narkotika yang dipesan adalah :
(Sebutkan
nama obat, bentuk
sediaan, kekuatan/potensi, jumlah
dalam bentuk angka dan huruf)
Narkotika tersebut akan dipergunakan untuk :
Nama Sarana
: ...........
(Apotek/Instalasi
Farmasi Rumah Sakit/Instalasi Farmasi Klinik)*
Alamat Sarana
: ...........
Nama
Kota, Tanggal, Bulan,
Tahun
Pemesanan
Tanda tangan dan stempel
Nama Apoteker
No. SIPA
*) coret yang tidak perlu
Catt:
Satu surat pesanan hanya berlaku untuk satu
jenis Narkotika
Surat Pesanan dibuat
sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir
2
SURAT PESANAN PSIKOTROPIKA
Nomor : .............................
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ..........
Jabatan
: ..........
Mengajukan pesanan Psikotropika kepada :
Nama Distributor
: ..........
Alamat
: ..........
Telp : ..........
dengan Psikotropika yang dipesan adalah :
(Sebutkan
nama obat, bentuk
sediaan, kekuatan/potensi, jumlah
dalam bentuk angka dan huruf)
Psikotropika tersebut akan dipergunakan untuk :
Nama Sarana
: ...........
(Apotek/Instalasi
Farmasi Rumah Sakit/Instalasi Farmasi Klinik)*
Alamat Sarana
: ...........
Nama
Kota, Tanggal, Bulan,
Tahun
Pemesanan
Tanda tangan dan stempel
Nama Apoteker
No. SIPA
*) coret yang tidak perlu
Catt:
Surat Pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga)
rangkap
Formulir
3
SURAT PESANAN OBAT/BAHAN OBAT/PREKURSOR FARMASI*
Nomor : .............................
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ..........
Jabatan
: ..........
Mengajukan pesanan Obat/Bahan Obat/Prekursor
Farmasi* kepada :
Nama Distributor
: ..........
Alamat
: ..........
Telp : ..........
dengan Obat/Bahan Obat/Prekursor Farmasi* yang
dipesan adalah :
(Sebutkan
nama obat, bentuk
sediaan, kekuatan/potensi, jumlah
dalam bentuk angka dan huruf, isi
kemasan)
Obat/Bahan Obat/Prekursor Farmasi tersebut akan
dipergunakan untuk :
Nama Sarana
: ...........
(Apotek/Instalasi
Farmasi Rumah Sakit/Instalasi Farmasi Klinik/Puskesmas/Toko Obat)*
Alamat Sarana
: ...........
Nama
Kota, Tanggal, Bulan,
Tahun
Pemesanan
Tanda tangan dan stempel
Nama
Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian
No. SIPA/SIKTTK
*) coret yang tidak perlu
Catt:
Surat Pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga)
rangkap
Formulir
4
SURAT PESANAN KEBUTUHAN OBAT
Nomor : .............................
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ..........
Mengajukan pesanan Obat kepada :
Nama Apotek
: ..........
Alamat
: ..........
Telp : ..........
Jenis pemesanan Obat:
No Nama
Obat Sediaan Jumlah Obat
tersebut akan dipergunakan
pada Bidan Praktik
Mandiri atas nama
Bidan............ dengan alamat..............
Nama
Kota, Tanggal, Bulan,
Tahun
Pemesanan
Tanda tangan dan stempel
Nama Bidan
No. SIPB
Formulir
5
SURAT PERMINTAAN OBAT GOLONGAN OBAT KERAS/
NARKOTIKA/PSIKOTROPIKA/
PREKURSOR FARMASI GOLONGAN OBAT KERAS*
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ..........
Jabatan
: ..........
Nama Sarana
: ..........
(Apotek/Instalasi
Farmasi Rumah Sakit/Instalasi Farmasi Klinik)*
Mengajukan
permintaan Obat Golongan
Obat Keras/Narkotika/Psikotropika/Prekursor
Farmasi Golongan Obat Keras* kepada :
Nama Sarana
: Apotek..........
Alamat
: ..........
dengan
Obat Golongan Obat
Keras/Narkotika/Psikotropika/
Prekursor Farmasi Golongan Obat
Keras * yang diminta adalah :
(Sebutkan
nama obat, bentuk
sediaan, kekuatan/potensi, jumlah
dalam bentuk
angka dan huruf)
Yang
akan digunakan untuk
memenuhi kekurangan Obat
Golongan Obat Keras /Narkotika/Psikotropika/ Prekursor
Farmasi Golongan Obat
Keras* dalam melayani resep:
(Sebutkan
nomor resep, tanggal
rese p, nama pasien,
jumlah dalam resep,
nama fasilitas pelayanan yang menerbitkan resep)
Nama
Kota, Tanggal, Bulan,
Tahun
Pemesanan
Tanda tangan dan stempel
Nama Apoteker
No. SIPA
*) coret yang tidak perlu
Catt:
- Satu Surat
Permintaan hanya berlaku untuk satu resep
- Surat
Permintaan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
-
Dilampirkan kopi resep
Formulir
6
SURAT PERMINTAAN OBAT/
NARKOTIKA/PSIKOTROPIKA/PREKURSOR FARMASI*
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ..........
Jabatan
: ..........
No. SIP
: ..........
Mengajukan permintaan Obat/Narkotika/Psikotropika/Prekursor
Farmasi* kepada:
Nama Sarana
: Apotek..........
Alamat
: ..........
dengan Obat/Narkotika/Psikotropika/Prekursor
Farmasi * yang diminta adalah :
(Sebutkan
nama obat, bentuk
sediaan, kekuatan/potensi, jumlah
dalam bentuk angka dan huruf)
Obat/Narkotika/Psikotropika/Prekursor Farmasi*
tersebut akan dipergunakan untuk praktik dokter :
Nama Dokter
: ...........
Alamat Praktik
: ...........
Nama
Kota, Tanggal, Bulan,
Tahun
Pemesanan
Tanda tangan dan stempel
Nama Dokter
No. SIP
*) coret yang tidak perlu
Catt:
- Satu Surat
Permintaan hanya berlaku
untuk satu jenis Obat/Narkotika/Psikotropika/Prekursor
Farmasi
- Surat
Permintaan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir
7
SURAT PERMINTAAN OBAT GOLONGAN OBAT BEBAS TERBATAS/
PREKURSOR FARMASI GOLONGAN OBAT BEBAS TERBATAS*
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ..........
Jabatan
: ..........
Nama Sarana
: ..........
(Apotek/Instalasi
Farmasi Rumah Sakit/Instalasi Farmasi Klinik/Toko Obat)*
Mengajukan permintaan Obat Golongan Obat Bebas
Terbatas/Prekursor Farmasi Golongan Obat
Bebas Terbatas* kepada :
Nama Sarana
: Apotek..........
Alamat
: ..........
dengan
Obat Golongan Obat
Bebas Terbatas/Prekursor Farmasi
Golongan Obat Bebas Terbatas*
yang diminta adalah :
(Sebutkan
nama obat, bentuk
sediaan, kekuatan/potensi, jumlah
dalam bentuk angka dan huruf)
Yang
akan digunakan untuk
memenuhi kekurangan kebutuhan
harian Obat Golongan Obat
Bebas Terbatas/Prekursor Farmasi
Golongan Obat Bebas
Terbatas* yang diperlukan untuk pengobatan pada tanggal......
Nama
Kota, Tanggal, Bulan,
Tahun
Pemesanan
Tanda tangan dan stempel
Nama
Apoteker/Tenaga Teknis
Kefarmasian
No. SIPA/SIKTTK
*) coret yang tidak perlu
Catt:
- Satu Surat
Permintaan hanya berlaku
untuk satu Obat
Golongan Obat Bebas Terbatas/Prekursor Farmasi Golongan
Obat Bebas Terbatas
- Surat
Permintaan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir
8
CONTOH FORM SERAH TERIMA
OBAT/NARKOTIKA/PSIKOTROPIKA/PREKURSOR FARMASI
DARI INSTALASI FARMASI
Diserahkan obat-obat dari instalasi farmasi ke
depo/unit.............. sebagai berikut:
Nama
Narkotika/Psikotropika/
Prekursor Farmasi
Bentuk dan
Kekuatan
Sediaan
Jenis dan Isi
Kemasan
No. Bets
Kedaluwarsa Jumlah
Yang menyerahkan,
Yang menerima,
................................. ...........................
Mengetahui,
Ka Instalasi Farmasi
..................................
Formulir
9
CONTOH FORMAT SURAT PENDELEGASIAN KEWENANGAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
:.................
Jabatan
:.................
No. SIPA
:.................
Menyatakan
dalam hal saya
tidak dapat menjalankan
tugas sebagai Apoteker Penanggung Jawab
dalam menerima dalam
rangka pengadaan Obat/Bahan Obat/Narkotika/Psikotropika/Prekursor Farmasi*,
maka demi kelancaran penerimaan pengadaan
Obat/Bahan
Obat/Narkotika/Psikotropika/
Prekursor Farmasi* di ............., saya
mendelegasikan pelaksanaan tugas
penerimaan pengadaan
Obat/Bahan
Obat/Narkotika/Psikotropika/
Prekursor Farmasi*
kepada :
Nama
:..................
Jabatan :
Apoteker Pendamping/Tenaga Teknis Kefarmasian
No. SIPA /SIKTTK
:..................
Demikian surat pendelegasian ini saya buat dengan
sebenarnya.
Nama kota, tanggal surat pendelegasian
Penerima delegasi, Yang
mendelegasikan tugas,
Materai Rp. 6000
(.............................) (..........................)
*) coret yang tidak perlu
Formulir
10
BERITA ACARA HASIL INVESTIGASI KETIDAKSESUAIAN STOK
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
Jabatan :
Nama Sarana
:
Menyatakan
bahwa pada hari.....
tanggal..... bulan.... tahun.....
telah dilakukan investigasi
ketidaksesuaian stok Obat/Bahan Obat/Narkotika/Psikotropika/Prekursor
Farmasi* dengan hasil sebagai berikut:
No. Nama
Produk/Bahan Zat Aktif/Kekuatan
Tanggal Stok
Opname
Jumlah
Hasil Investigasi *
Original
Aktual Satuan Selisih +/-*) bila dipandang perlu dapat
menjadi lampiran
Nama Kota, Tanggal, Bulan, Tahun
Tanda tangan dan stempel
Nama
Apoteker/Tenaga Teknis
Kefarmasian
No. SIPA/SIKTTK
KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
ttd.
PENNY K. LUKITO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar