JKN-BPJS (antara Solusi VS Masalah) GP FARMASI MENJERIT, RUMAH SAKIT
KEJEPIT, PASIEN MELILIT
Selama ini tidak pernah didengar
Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi), mengeluh secara
terbuka terkait persoalan distribusi dan pengadaan obat dan alat kesehatan
untuk kebutuhan RS (faskes) yang menyelenggarakan JKN.
Kalau ada, sifatnya masih terbatas,
dan bisik-bisik diantara mereka. Saya termasuk yang sering mendengar dengan
cermat bisik-bisik dan keluhan halus tersebut, pada berbagai kesempatan
disikusi dengan Pengurus GP Farmasi Pusat yang saya juga banyak kenal.
Para Pengurus berusaha dengan
pendekatan loby-loby dengan petinggi Kementerian Kesehatan dan stakeholder terkait, agar kesulitan yang
mereka hadapi terkait peroses pengadaan melalui LKPP dengan sistem e-procurement, dan e-cataloge dalam pelaksanaan supply
di fakes, banyak dispute yang
terjadi.
Dengan harga obat yang sangat
minimalis, dalam pengadaan obat JKN dengan e-cataloge
yang diselenggarakan oleh LKPP, tidak memberikan ruang gerak yang cukup
untuk industri farmasi kelas “teri” ,dan menjadi makanan empuk
industri farmasi kelas kakap dengan kapasitas produksi yang maximum sehingga
lebih effisien.
Harga obat yang sangat murah, dengan
tidak menempatkan mutu obat sebagai variabel yang diperhitungkan, tentu tidak
heran jika dari sekitar 200 industri farmasi yang teregister, yang eksis dan
ikut bersaing tidak lebih sekitar 60 industri farmasi.
Dalam situasi dunia industri farmasi
yang “tidak sehat” dan dalam keadaan meriang, di “ledakkan” dengan
keluarnya surat Pengurus Pusat GP Farmasi Indonesia, kepada Menteri Kesehatan,
bernomor; 098/Ext-/PP-GPFI/VIII/2018, tanggal 13 Agustus 2018, perihal; Hutang
Jatuh Tempo Obat & Alkes JKN Belum Dibayar Mencapai Rp. 3,5 T per Juli
2018.
Surat tersebut cukup menarik dan
mengenaskan, karena bukan saja besarnya utang jatuh tempo Rp. 3,5 T, juga dari
empat poin yang disampaikan isinya memnbuat kita miris dan mengangetkan karena
begitu parahnya “bleeding” yang
terjadi di industri farmasi yang sudah berkomitment mendukung JKN/KIS dengan
menyediakan obat sesuai kebutuhan pasien JKN.
Kenapa surat PP GP Farmasi ditujukan
kepada Menteri Kesehatan?. Bukan kepada Direksi BPJS Kesehatan. Secara
regulasi, surat ke Menkes sudah benar. Karena yang mengeluarkan kebijakan e-procurement dan e-cataloge obat JKN untuk kebutuhan RS adalah Menteri
Kesehatan melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun 2014 Tentang
Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog Elektronik.
Dengan Permenkes tersebut,
penyediaan obat dan alat kesehatan untuk kepentingan JKN di Rumah Sakit yang
kerjasama dengan BPJS Kesehatan, melalui satu pintu yaitu LKPP. Keluarlah
daftar obat dan alkes sesuai dengan kebutuhan RS dengan harga yang murah
“banget” untuk kepentingan JKN.
RS Pemerintah, sumber dana belanja
obat dari 2 sumber yaitu APBN/APBD, dan Dana Ina-CBGs dari BPJS Kesehatan
sesuai dengan klaim kasus pasien yang dilayani. Jadi untuk belanja obat, tentu
kewajiban RS yang membayar ke Distributor (PBF), yang ditunjuk pihak industri
farmasi.
Kembali ke soal Surat PP GP Farmasi,
setelah saya cermati eempat poin yang disampaikan, perlu direspons dengan
cepat, akurat dan solutif terhadap permasalahan yang dihadapi.
*Persoalan pertama*, Utang obat yang
mencapai 3,5 T dari RS-RS peserta BPJS Kesehatan dengan waktu periode
pembayaran sampai 90 hari, bahkan 120 hari di semester I 2018, sudah lampu
merah bagi kelangsungan industri farmasi, dan kemampuan distribusi PBF ke RS.
Akibatnya RS akan mengalami kesulitan mendapatkan obat bagi pasien JKN.
Jika itu yang terjadi, maka RS
akan menyuruh pasien JKN untuk cari sendiri obat di apotik diluar RS dengan
mengeluarkan resep. Disamping pasien JKN harus mengeluarkan biaya (Out Of Pocket), juga akan mendapatkan
obat yang lebih mahal di apotik. Jika ini yang terjadi merupakan preseden
buruk bagi pemerintah Pak Jokowi.
*Persoalan kedua*, terkait Claim
dispute antara RS dan BPJS Kesehatan berimplikasi dengan ketidak jelasan status
pembayaran, sehingga GP Farmasi menjerit, RS terjepit, dan pasien JKN melilit
karena ketiadaan obat JKN. Jika tidak selesai claim dispute faskes dengan BPJS
Kesehatan akan menjadi persoalan hukum. Bahasa yang diguanakan oleh GP Farmasi
adalah “bom waktu” yang setiap saat dapat meledak.
*Persoalan ketiga*, terkait Wapu JKN
PPN 10% dan PPh 22 sebesar 1,5%, yang jumlahnya cukup besar 1,5 T, juga
memerlukan kebijakan pemerintah yang jelas agar harga yang sudah low price dan low margin dan prinsip nirlaba dalam UU SJSN, tidak mematikan
hak hidup dunia usaha industri farmasi dan derivasinya.
Belum lagi persoalan lebih bayar ke
pemerintah yang harus selalu direstitusi setiap tahunnya yang prosesnya bisa
sampai 2 tahun.
*Poin keempat*, GP Farmasi
memberikan early warning kepada
pemerintah, bahwa akan terjadinya gangguan rantai pasokan (supply chain), sehingga yang terjadi adalah “gagal distribusi obat”
akibat dari terjadinya “gagal bayar” klaim pelayanan JKN yang diajukan RS
kepada BPJS Kesehatan.
*Kenapa bisa terjadi*?
Persoalan yang dihadapi industri
farmasi saat ini, adalah persoalan di hilir karena tidak diselesaikannya
persoalan yang di hulu. Apa itu?. Sulit bayar. Ya BPJS Kesehatan saat ini sudah
pada fase sulit bayar. Akibat tertundanya pembayaran klaim RS (faskes) sekitar 3
bulan bahkan ada yang 4 bulan, menyebabkan BPJS Kesehatan juga harus
membayar denda ke faskes.
Kenapa sampai sulit bayar?. Sampai
saat ini Pemerintah (kemenkeu) belum juga melakukan bailout terhadap
terjadinya defisit DJS (Dana Jaminan Sosial) BPJS Kesehatan yang angka pastinya
sedang atau mungkin sudah di verifikasi oleh BPKP.
Kasus yang dihadapi GP Farmasi
terkait rantai distribusi obat dan alat kesehatan bukan persoalan sederhana.
Tetapi sangat berat dan berdampak luas. Tidak ada artinya tindakan atau
pelayanan medis jika tidak diikuti dengan pemberian obat. Penyakit itu sembuh
tentu karena memakan obat yang sudah diformulasikan oleh dokter, dan
diberikan oleh Apoteker.
Pada gilirannya, yang terjadi adalah
tidak bisa dihindari faskes akan melakukan langkah-langkah yang akan
mempertahankan eksistensinya (tidak terjepit terus menerus), dengan melakukan cost
sharing yang harus di pikul pasien JKN.
Jika “bola salju” diatas terus
bergerak, menjadi “liar” maka implikasinya akan mengimbas ke
persoalan-persoalan non kesehatan dan bersifat politis, di tahun politik yang
semakin mengencang dalam memasuki masa kampanye minggu depan ini.
Cibubur, 13 September 2018
Silahkan di share jika bermanfaa
Saya Copas dari Teman Sejawat
Apoteker Chazali
H.Situmorang /Praktisi Farmasi
Catatan tambahan :
Pada saat dituliskan ini, sedang
menjelang masa kampanye, dan saya share ini sudah semakin mendekati, bukan
tidak mungkin isu ini akan mengemuka untuk dijadikan bahan yang akan
disinggung pada masa kampanye tahun 2019 mendatang
|
|||||
Tidak ada komentar:
Posting Komentar