PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 82 TAHUN 2018
TENTANG
JAMINAN KESEHATAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 13 ayat
(2), Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 26, Pasal
27 ayat (5), dan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional dan ketentuan Pasal 15 ayat (3) dan Pasal 19
ayat (5) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang
Jaminan Kesehatan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan;
b. bahwa Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013
tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan perlu disempurnakan
untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan program Jaminan Kesehatan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang
Jaminan Kesehatan.
Mengingat:
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PRESIDEN TENTANG JAMINAN
KESEHATAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:
1. Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa
perlindungan kesehatan agar Peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan
dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada
setiap orang yang telah membayar Iuran Jaminan Kesehatan atau Iuran Jaminan
Kesehatannya dibayar oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
2. Peserta adalah setiap orang, termasuk orang
asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah
membayar Iuran Jaminan Kesehatan.
3. Iuran Jaminan Kesehatan yang selanjutnya disebut
Iuran adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh Peserta, Pemberi
Kerja, dan/atau Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk program Jaminan
Kesehatan.
4. Manfaat adalah faedah jaminan sosial yang
menjadi hak Peserta dan/atau anggota keluarganya.
5. Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan yang
selanjutnya disebut PBI Jaminan Kesehatan adalah fakir miskin dan orang tidak
mampu sebagai Peserta program Jaminan Kesehatan.
6. Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima Gaji, Upah, atau imbalan dalam bentuk lain.
7. Pekerja Penerima Upah yang selanjutnya disingkat
PPU adalah setiap orang yang bekerja pada Pemberi Kerja dengan menerima Gaji
atau Upah.
8. Pekerja Bukan Penerima Upah yang selanjutnya
disingkat PBPU adalah setiap orang yang bekerja atau berusaha atas risiko
sendiri.
9. Bukan Pekerja yang selanjutnya disingkat BP
adalah setiap orang yang bukan termasuk kelompok PPU, PBPU, PBI Jaminan
Kesehatan, dan penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah.
10. Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota
lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan pejabat lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.
11. Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat
PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat
sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian
untuk menduduki jabatan pemerintahan.
12. Prajurit adalah anggota Tentara Nasional
Indonesia.
13. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang selanjutnya disebut Anggota Polri adalah Anggota Polri sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
14. Veteran adalah Veteran Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Veteran
Republik Indonesia.
15. Perintis Kemerdekaan adalah Perintis
Kemerdekaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
Perintis Kemerdekaan atau pemberian penghargaan/tunjangan kepada Perintis
Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan.
16. Pemberi Kerja adalah orang perseorangan,
pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja,
atau penyelenggara negara yang mempekerjakan Pegawai Aparatur Sipil Negara
dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya.
17. Gaji atau Upah adalah hak Pekerja yang diterima
dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari Pemberi Kerja kepada
Pekerja yang ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan,
atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi Pekerja dan keluarganya
atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
18. Pemutusan Hubungan Kerja yang selanjutnya
disingkat PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara Pekerja/buruh dan Pemberi
Kerja berdasarkan peraturan perundang-undangan.
19. Fasilitas Kesehatan adalah fasilitas pelayanan
kesehatan yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan
perorangan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan
oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
20. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang
selanjutnya disingkat FKTP adalah Fasilitas Kesehatan yang melakukan pelayanan
kesehatan perorangan yang bersifat nonspesialistik untuk keperluan observasi,
promotif, preventif, diagnosis, perawatan, pengobatan, dan/atau pelayanan
kesehatan lainnya.
21. Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan
yang selanjutnya disingkat FKRTL adalah Fasilitas Kesehatan yang melakukan
pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat spesialistik atau sub spesialistik
yang meliputi rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap tingkat lanjutan, dan
rawat inap di ruang perawatan khusus.
22. Cacat Total Tetap adalah cacat yang
mengakibatkan ketidakmampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan.
23. Kecelakaan Kerja adalah kecelakaan yang terjadi
dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari
rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya, dan penyakit yang disebabkan oleh
lingkungan kerja.
24. Kecurangan (fraud) adalah tindakan yang
dilakukan dengan sengaja, untuk mendapatkan keuntungan finansial dari program
Jaminan Kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui perbuatan curang
yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
25. Urun Biaya adalah tambahan biaya yang dibayar
Peserta pada saat memperoleh Manfaat pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan
penyalahgunaan pelayanan.
26. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang
dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
27. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
28. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
yang selanjutnya disingkat BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk
untuk menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan.
29. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai
unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
30. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah
adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
BAB II
PESERTA DAN KEPESERTAAN
Bagian Kesatu
Peserta Jaminan Kesehatan
Pasal 2
Peserta Jaminan Kesehatan meliputi:
a. PBI Jaminan Kesehatan; dan
b. Bukan PBI Jaminan Kesehatan.
Pasal 3
Peserta PBI Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf a ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang sosial.
Pasal 4
(1) Peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf b terdiri atas:
a. PPU dan anggota keluarganya;
b. PBPU dan anggota keluarganya; dan
c. BP dan anggota keluarganya.
(2) PPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdiri atas:
a. Pejabat Negara;
b. pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah;
c. PNS;
d. Prajurit;
e. Anggota Polri;
f. kepala desa dan perangkat desa;
g. pegawai swasta; dan
h. Pekerja/pegawai yang tidak termasuk huruf a
sampai dengan huruf g yang menerima Gaji atau Upah.
(3) PBPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
terdiri atas:
a. Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja
mandiri; dan
b. Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan
penerima Gaji atau Upah.
(4) BP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
terdiri atas:
a. investor;
b. Pemberi Kerja;
c. penerima pensiun;
d. Veteran;
e. Perintis Kemerdekaan;
f. janda, duda, atau anak yatim dan/atau piatu dari
Veteran atau Perintis Kemerdekaan; dan
g. BP yang tidak termasuk huruf a sampai dengan
huruf f yang mampu membayar Iuran.
(5) Penerima pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf c terdiri atas:
a. Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;
b. PNS yang berhenti dengan hak pensiun;
c. Prajurit dan Anggota Polri yang berhenti dengan
hak pensiun;
d. janda, duda, atau anak yatim dan/atau piatu dari
penerima pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c yang
mendapat hak pensiun;
e. penerima pensiun selain huruf a, huruf b, dan
huruf c; dan
f. janda, duda, atau anak yatim dan/atau piatu dari
penerima pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf e yang mendapat hak pensiun.
Pasal 5
(1) Anggota keluarga dari Peserta PPU meliputi
istri/suami yang sah, anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah, dan
anak angkat yang sah, paling banyak 4 (empat) orang.
(2) Anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang
sah, dan anak angkat yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan
kriteria:
a. tidak atau belum pernah menikah atau tidak
mempunyai penghasilan sendiri; dan
b. belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau
belum berusia 25 (dua puluh lima) tahun bagi yang masih menempuh pendidikan
formal.
(3) Selain anggota keluarga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk Peserta PPU dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang
lain.
(4) Anggota keluarga yang lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) meliputi anak ke-4 (empat) dan seterusnya, ayah, ibu, dan mertua.
Bagian Kedua
Administrasi Kepesertaan Jaminan
Kesehatan
Paragraf 1
Pendaftaran Peserta
Pasal 6
(1) Setiap penduduk Indonesia wajib ikut serta
dalam program Jaminan Kesehatan.
(2) Ikut serta dalam program Jaminan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara mendaftar atau
didaftarkan pada BPJS Kesehatan.
(3) Pada saat mendaftar atau didaftarkan pada BPJS
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), calon Peserta berhak menentukan
FKTP yang diinginkannya.
Pasal 7
(1) Peserta dapat mengganti FKTP tempat Peserta
terdaftar setelah jangka waktu 3 (tiga) bulan.
(2) Penggantian FKTP oleh Peserta sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan dalam jangka waktu kurang dari 3 (tiga) bulan
dengan kondisi sebagai berikut:
a. Peserta pindah domisili dalam jangka waktu
kurang dari 3 (tiga) bulan setelah terdaftar di FKTP awal, yang dibuktikan
dengan surat keterangan domisili; atau
b. Peserta dalam penugasan dinas atau pelatihan
dalam jangka waktu kurang dari 3 (tiga) bulan, yang dibuktikan dengan surat
keterangan penugasan atau pelatihan.
(3) Penggantian FKTP sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) mulai berlaku sejak tanggal 1 pada bulan berikutnya.
(4) Dalam hal kondisi Peserta yang terdaftar di
FKTP belum merata, BPJS Kesehatan dapat melakukan pemindahan Peserta ke FKTP
lain.
(5) Pemindahan Peserta ke FKTP lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) harus mempertimbangkan jumlah Peserta yang terdaftar,
ketersediaan dokter, tenaga kesehatan selain dokter, dan sarana prasarana di
FKTP.
(6) Dalam hal Peserta yang dipindahkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) keberatan maka Peserta dapat meminta untuk dipindahkan
ke FKTP yang diinginkan.
(7) Pemindahan Peserta sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dilakukan setelah berkoordinasi dengan:
a. dinas kesehatan kabupaten/kota untuk pemindahan
antar FKTP milik pemerintah;
b. asosiasi fasilitas kesehatan untuk pemindahan
antar FKTP bukan milik pemerintah; atau
c. dinas kesehatan kabupaten/kota dan asosiasi
fasilitas kesehatan untuk pemindahan antara FKTP milik pemerintah dengan FKTP
bukan milik pemerintah.
(8) Dalam hal terjadi perpindahan Peserta yang
berasal dari Prajurit atau Anggota Polri, BPJS Kesehatan harus berkoordinasi
dengan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahan
Peserta diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan setelah berkoordinasi dengan
Menteri.
Pasal 8
(1) Setiap Peserta yang telah terdaftar pada BPJS
Kesehatan berhak mendapatkan identitas Peserta.
(2) Identitas Peserta sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa Kartu Indonesia Sehat yang paling sedikit memuat nama dan nomor
identitas Peserta yang terintegrasi dengan Nomor Identitas Kependudukan,
kecuali untuk bayi baru lahir.
(3) Kartu Indonesia Sehat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diberikan kepada Peserta secara bertahap.
(4) Nomor identitas Peserta sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) merupakan nomor identitas tunggal yang berlaku untuk semua
program jaminan sosial.
Pasal 9
PBI Jaminan Kesehatan yang ditetapkan oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, didaftarkan oleh Menteri sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan.
Pasal 10
Bayi yang dilahirkan oleh ibu kandung yang
terdaftar sebagai Peserta PBI Jaminan Kesehatan secara otomatis ditetapkan
sebagai Peserta PBI Jaminan Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 11
(1) Peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan yang
mengalami Cacat Total Tetap dan tidak mampu, berhak menjadi Peserta PBI Jaminan
Kesehatan.
(2) Penetapan Cacat Total Tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter yang berwenang.
(3) Penetapan orang dengan Cacat Total Tetap dan
tidak mampu sebagai Peserta PBI Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
Penduduk yang belum terdaftar sebagai Peserta
Jaminan Kesehatan dapat didaftarkan pada BPJS Kesehatan oleh Pemerintah Daerah
provinsi atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
Pasal 13
(1) Pemberi Kerja wajib mendaftarkan dirinya dan
Pekerjanya sebagai Peserta Jaminan Kesehatan kepada BPJS Kesehatan dengan
membayar Iuran.
(2) Dalam hal Pemberi Kerja secara nyata tidak
mendaftarkan Pekerjanya kepada BPJS Kesehatan, Pekerja yang bersangkutan berhak
mendaftarkan dirinya sebagai Peserta Jaminan Kesehatan.
(3) Pendaftaran oleh Pekerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan dengan melampirkan dokumen yang membuktikan status ketenagakerjaannya.
(4) Pekerja yang mendaftarkan dirinya sebagai
Peserta Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Iurannya dibayar
sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden ini.
(5) Dalam hal Pemberi Kerja belum mendaftarkan dan
membayar Iuran bagi Pekerjanya kepada BPJS Kesehatan, Pemberi Kerja wajib
bertanggung jawab pada saat Pekerjanya membutuhkan pelayanan kesehatan sesuai
dengan Manfaat yang diberikan oleh BPJS Kesehatan.
(6) Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda; dan/atau
c. tidak mendapat pelayanan publik tertentu.
(7) Tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 14
(1) Dalam hal pasangan suami istri yang
masing-masing merupakan Pekerja maka keduanya wajib didaftarkan sebagai Peserta
PPU oleh masing-masing Pemberi Kerja dan membayar Iuran.
(2) Suami, istri, dan anak dari Peserta PPU
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak memilih kelas perawatan tertinggi.
Pasal 15
(1) Setiap PBPU dan BP wajib mendaftarkan dirinya
dan anggota keluarganya secara sendiri-sendiri atau kolektif sebagai Peserta
Jaminan Kesehatan pada BPJS Kesehatan dengan membayar Iuran.
(2) BPJS Kesehatan harus melakukan verifikasi
pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu 14 (empat belas)
hari sejak pendaftaran.
(3) Pendaftaran bagi Peserta PBPU atau Peserta BP
yang dilakukan secara sendiri-sendiri, pembayaran Iurannya dapat dilakukan
setelah 14 (empat belas) hari sejak dinyatakan layak berdasarkan verifikasi pendaftaran.
Pasal 16
(1) Bayi baru lahir dari Peserta Jaminan Kesehatan
wajib didaftarkan kepada BPJS Kesehatan paling lama 28 (dua puluh delapan) hari
sejak dilahirkan.
(2) Peserta yang tidak mendaftarkan bayi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran
bayi baru lahir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan BPJS
Kesehatan setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.
Pasal 17
(1) Kewajiban melakukan pendaftaran sebagai Peserta
Jaminan Kesehatan yang telah ditentukan sesuai dengan batas waktunya namun
belum dilakukan maka dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Kewajiban melakukan pendaftaran sebagai Peserta
Jaminan Kesehatan bagi PBPU dan BP dilaksanakan paling lambat tanggal 1 Januari
2019.
Pasal 18
Dalam rangka pendaftaran Peserta, BPJS Kesehatan
wajib mengembangkan sistem untuk mempermudah akses pendaftaran.
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur
pendaftaran dan administrasi kepesertaan diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan
setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.
Paragraf 2
Perubahan Status Kepesertaan
Pasal 20
(1) Status kepesertaan dapat berubah untuk menjamin
keberlanjutan kepesertaan.
(2) Perubahan status kepesertaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban Peserta, Pemberi Kerja,
atau Pemerintah Daerah untuk melunasi tunggakan Iuran.
(3) Kewajiban Peserta, Pemberi Kerja, atau
Pemerintah Daerah untuk melunasi tunggakan Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan paling lama 6 (enam) bulan sejak status kepesertaan berubah.
(4) Perubahan status kepesertaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tetap mewajibkan Peserta untuk mendaftarkan diri
dan/atau anggota keluarganya ke jenis kepesertaan yang baru.
(5) Kewajiban membayar tunggakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak mengakibatkan terputusnya Manfaat Jaminan
Kesehatan.
Pasal 21
(1) Perubahan status kepesertaan dari Peserta PBI
Jaminan Kesehatan menjadi bukan Peserta PBI Jaminan Kesehatan dilakukan melalui
pendaftaran ke BPJS Kesehatan dengan membayar Iuran pertama.
(2) Perubahan status kepesertaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak mengakibatkan terputusnya Manfaat Jaminan
Kesehatan.
(3) Perubahan status kepesertaan dari bukan Peserta
PBI Jaminan Kesehatan menjadi Peserta PBI Jaminan Kesehatan dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
(1) Peserta
PPU wajib menyampaikan perubahan data kepesertaan kepada Pemberi Kerja termasuk
perubahan status kepesertaan dan seluruh tunggakan Iuran.
(2) Pemberi Kerja wajib melaporkan perubahan data
kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada BPJS Kesehatan paling
lambat 7 (tujuh) hari sejak terjadinya perubahan data oleh Pekerja.
(3) Dalam hal Pemberi Kerja secara nyata tidak
melaporkan perubahan data kepesertaan kepada BPJS Kesehatan, Pekerja yang
bersangkutan dapat melaporkan perubahan data kepesertaan secara langsung kepada
BPJS Kesehatan.
Pasal 23
Peserta PBPU dan Peserta BP wajib menyampaikan
perubahan data kepesertaan kepada BPJS Kesehatan.
Pasal 24
Peserta yang pindah kerja wajib melaporkan data
kepesertaannya dan identitas Pemberi Kerja yang baru kepada BPJS Kesehatan
dengan menunjukkan identitas Peserta.
Pasal 25
Pendaftaran dan perubahan data kepesertaan PPU
untuk kepala desa dan perangkat desa dilakukan secara kolektif melalui
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perubahan
status kepesertaan diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan setelah berkoordinasi
dengan kementerian/lembaga terkait.
Bagian Ketiga
Peserta yang Mengalami Pemutusan Hubungan
Kerja
Pasal 27
(1) Peserta PPU yang mengalami PHK tetap memperoleh
hak Manfaat Jaminan Kesehatan paling lama 6 (enam) bulan sejak di PHK, tanpa
membayar Iuran.
(2) PHK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi kriteria:
a. PHK yang sudah ada putusan pengadilan hubungan
industrial, dibuktikan dengan putusan/akta pengadilan hubungan industrial;
b. PHK karena penggabungan perusahaan, dibuktikan
dengan akta notaris;
c. PHK karena perusahaan pailit atau mengalami
kerugian, dibuktikan dengan putusan kepailitan dari pengadilan; atau
d. PHK karena Pekerja mengalami sakit yang
berkepanjangan dan tidak mampu bekerja, dibuktikan dengan surat dokter.
(3) Dalam hal terjadi sengketa atas PHK yang
diajukan melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, baik
Pemberi Kerja maupun Pekerja harus tetap melaksanakan kewajiban membayar Iuran
sampai dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.
(4) Manfaat Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan berupa Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III.
(5) Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
telah bekerja kembali wajib memperpanjang status kepesertaannya dengan membayar
Iuran.
(6) Dalam hal Peserta sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) tidak bekerja kembali dan tidak mampu, didaftarkan
menjadi Peserta PBI Jaminan Kesehatan.
BAB III
IURAN
Bagian Kesatu
Besaran Iuran
Pasal 28
(1) Iuran bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan
dibayar oleh Pemerintah Pusat.
(2) Iuran bagi penduduk yang didaftarkan oleh
Pemerintah Daerah dibayar oleh Pemerintah Daerah.
(3) Iuran bagi Peserta PPU dibayar oleh Pemberi
Kerja dan Pekerja.
(4) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP dibayar
oleh Peserta atau pihak lain atas nama Peserta.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak berlaku bagi:
a. penerima pensiun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (5) huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d; dan
b. Veteran dan Perintis Kemerdekaan.
(6) Iuran bagi bayi baru lahir dibayarkan oleh
Peserta atau pihak lain atas nama Peserta pada saat mendaftar paling lama 28
(dua puluh delapan) hari sejak dilahirkan.
Pasal 29
Iuran bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan dan
penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah yaitu sebesar Rp23.000,00 (dua
puluh tiga ribu rupiah) per orang per bulan.
Pasal 30
(1) Iuran bagi Peserta PPU yang terdiri atas
Pejabat Negara, pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, PNS,
Prajurit, Anggota Polri, kepala desa dan perangkat desa, dan Pekerja/pegawai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf h yaitu sebesar 5% (lima persen) dari
Gaji atau Upah per bulan.
(2) Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibayar dengan ketentuan sebagai berikut:
a. 3% (tiga persen) dibayar oleh Pemberi Kerja; dan
b. 2% (dua persen) dibayar oleh Peserta.
(3) Kewajiban Pemberi Kerja dalam membayar Iuran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilaksanakan oleh:
a. Pemerintah Pusat untuk Iuran bagi Pejabat
Negara, PNS pusat, Prajurit, Anggota Polri, dan Pekerja/pegawai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf h instansi pusat; dan
b. Pemerintah Daerah untuk Iuran bagi kepala daerah
dan wakil kepala daerah, pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
PNS daerah, kepala desa dan perangkat desa, danPekerja/pegawai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf h instansi daerah.
(4) Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dibayarkan secara langsung oleh Pemberi Kerja kepada BPJS Kesehatan melalui kas
negara kecuali bagi kepala desa dan perangkat desa.
Pasal 31
(1) Iuran bagi Peserta PPU selain Peserta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) yaitu sebesar 5% (lima persen)
dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan:
a. 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja;
dan
b. 1% (satu persen) dibayar oleh Peserta.
(2) Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibayarkan secara langsung oleh Pemberi Kerja kepada BPJS Kesehatan.
Pasal 32
(1) Batas paling tinggi Gaji atau Upah per bulan
yang digunakan sebagai dasar perhitungan besaran Iuran bagi Peserta PPU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), kepala desa dan perangkat desa,
dan Pekerja/pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf h yaitu
sebesar Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).
(2) Batas paling rendah Gaji atau Upah per bulan
yang digunakan sebagai dasar perhitungan besaran Iuran bagi Peserta PPU selain
penyelenggara negara, kepala desa dan perangkat desa, dan Pekerja/pegawai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf h yaitu sebesar upah minimum kabupaten/kota.
(3) Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menetapkan
upah minimum kabupaten/kota maka yang menjadi dasar perhitungan besaran Iuran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu sebesar upah minimum provinsi.
(4) Ketentuan batas paling rendah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi Pemberi Kerja yang mendapatkan
penangguhan dari kewajiban membayarkan Gaji atau Upah minimum provinsi/kabupaten/kota
yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat.
Pasal 33
(1) Gaji atau Upah yang digunakan sebagai dasar
perhitungan Iuran bagi Peserta PPU untuk Pejabat Negara, pimpinan dan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, PNS, Prajurit, atau Anggota Polri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) terdiri atas Gaji atau Upah pokok dan
tunjangan keluarga.
(2) Gaji atau Upah yang digunakan sebagai dasar
perhitungan Iuran bagi Peserta PPU untuk kepala desa dan perangkat desa serta
Pekerja/pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf h dihitung
berdasarkan penghasilan tetap.
(3) Gaji atau Upah yang digunakan sebagai dasar
perhitungan Iuran bagi Peserta PPU selain Peserta sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) terdiri atas Gaji atau Upah pokok dan tunjangan tetap.
(4) Tunjangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) merupakan tunjangan yang dibayarkan kepada Pekerja tanpa memperhitungkan
kehadiran Pekerja.
Pasal 34
Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu
sebesar:
a. Rp25.500,00 (dua puluh lima ribu lima ratus
rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas
III;
b. Rp51.000,00 (lima puluh satu ribu rupiah) per
orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atau
c. Rp80.000,00 (delapan puluh ribu rupiah) per
orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
Pasal 35
(1) Iuran bagi penerima pensiun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d yaitu
sebesar 5% (lima persen) dari besaran pensiun pokok dan tunjangan keluarga yang
diterima per bulan.
(2) Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibayar oleh Pemerintah Pusat dan penerima pensiun dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. 3% (tiga persen) dibayar oleh Pemerintah Pusat;
dan
b. 2% (dua persen) dibayar oleh penerima pensiun.
(3) Iuran bagi penerima pensiun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) huruf e dan huruf f mengikuti ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
(4) Iuran bagi Veteran, Perintis Kemerdekaan,
janda, duda, atau anak yatim dan/atau piatu dari Veteran atau Perintis
Kemerdekaan yaitu sebesar 5% (lima persen) dari 45% (empat puluh lima persen)
Gaji pokok PNS golongan ruang III/a dengan masa kerja 14 (empat belas) tahun
per bulan, dibayar oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 36
(1) Iuran bagi anggota keluarga yang lain dari
Peserta PPU dibayar oleh Peserta.
(2) Besaran Iuran bagi anggota keluarga yang lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu sebesar 1% (satu persen) dari Gaji
atau Upah Peserta PPU per orang per bulan.
(3) Besaran Iuran bagi anggota keluarga yang lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Peserta PBPU dan Peserta BP ditetapkan
sesuai Manfaat ruang perawatan yang dipilih mengacu pada ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34.
(4) Pembayaran Iuran bagi anggota keluarga yang
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diawali dengan pemberian surat kuasa
dari Pekerja kepada Pemberi Kerja untuk melakukan pemotongan tambahan Iuran dan
membayarkan kepada BPJS Kesehatan.
Pasal 37
(1) Peserta warga negara Indonesia yang tinggal di
luar negeri selama 6 (enam) bulan berturut-turut dapat menghentikan
kepesertaannya sementara.
(2) Dalam hal Peserta menghentikan kepesertaannya
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta yang bersangkutan tidak
mendapatkan Manfaat.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan bagi Peserta PPU yang masih mendapatkan Gaji atau Upah di
Indonesia.
(4) Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
kembali ke Indonesia wajib melapor ke BPJS Kesehatan dan membayar Iuran paling
lambat 1 (satu) bulan setelah kembali serta berhak mendapat Manfaat.
Pasal 38
(1) Besaran Iuran ditinjau paling lama 2 (dua) tahun
sekali.
(2) Ketentuan mengenai besaran Iuran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Kedua
Tata Cara Pembayaran Iuran
Pasal 39
(1) Pemberi Kerja wajib memungut Iuran dari
Pekerjanya, membayar Iuran yang menjadi tanggung jawabnya, dan menyetor Iuran
tersebut kepada BPJS Kesehatan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan.
(2) Jika Pemberi Kerja merupakan Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah, penyetoran Iuran kepada BPJS Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui rekening kas negara paling lambat
tanggal 10 setiap bulan.
(3) Iuran bagi Peserta PPU untuk kepala desa dan
perangkat desa dipungut dan dibayarkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagai
Pemberi Kerja langsung kepada BPJS Kesehatan paling lambat tanggal 10 setiap
bulan.
(4) Dalam hal tanggal 10 (sepuluh) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur maka Iuran dibayarkan pada hari
kerja berikutnya.
(5) Ketentuan mengenai penerusan Iuran Pemberi
Kerja Pemerintah Daerah dari rekening kas negara kepada BPJS Kesehatan diatur
dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
keuangan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pembayaran Iuran bagi Peserta PPU diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan
setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.
Pasal 40
(1) Peserta PBPU dan Peserta BP wajib membayar
Iuran kepada BPJS Kesehatan paling lambat tanggal 10 setiap bulan.
(2) Iuran dapat dibayarkan untuk lebih dari 1
(satu) bulan yang dilakukan di awal.
(3) BPJS Kesehatan wajib mengembangkan mekanisme
penarikan Iuran yang efektif dan efisien bagi Peserta PBPU dan Peserta BP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pembayaran Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP diatur dengan Peraturan BPJS
Kesehatan setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.
Pasal 41
(1) Pembayaran Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta
BP dilakukan secara kolektif atas total tagihan untuk seluruh anggota keluarga
sesuai data yang tercantum dalam kartu keluarga.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pembayaran Iuran yang dilakukan secara kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan setelah berkoordinasi dengan
kementerian/lembaga terkait.
Pasal 42
(1) Dalam hal Peserta dan/atau Pemberi Kerja tidak
membayar Iuran sampai dengan akhir bulan berjalan maka penjaminan Peserta
diberhentikan sementara sejak tanggal 1 bulan berikutnya.
(2) Dalam hal pemberi kerja belum melunasi
tunggakan Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada BPJS Kesehatan,
Pemberi Kerja wajib bertanggung jawab pada saat Pekerjanya membutuhkan
pelayanan kesehatan sesuai dengan Manfaat yang diberikan.
(3) Pemberhentian sementara penjaminan Peserta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir dan status kepesertaan aktif
kembali, apabila Peserta:
a. telah membayar Iuran bulan tertunggak, paling
banyak untuk waktu 24 (dua puluh empat) bulan; dan
b. membayar Iuran pada bulan saat Peserta ingin
mengakhiri pemberhentian sementara jaminan.
(4) Pembayaran Iuran tertunggak dapat dibayar oleh
Peserta atau pihak lain atas nama Peserta.
(5) Dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak
status kepesertaan aktif kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Peserta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar denda kepada BPJS Kesehatan
untuk setiap pelayanan kesehatan rawat inap tingkat lanjutan yang diperolehnya.
(6) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yaitu
sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari perkiraan biaya paket Indonesian Case
Based Groups berdasarkan diagnosa dan prosedur awal untuk setiap bulan
tertunggak dengan ketentuan:
a. jumlah bulan tertunggak paling banyak 12 (dua
belas) bulan; dan
b. besar denda paling tinggi Rp30.000.000,00 (tiga
puluh juta rupiah).
(7) Bagi Peserta PPU, pembayaran Iuran sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditanggung
oleh Pemberi Kerja.
(8) Ketentuan pembayaran Iuran sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dikecualikan untuk
Peserta PBI Jaminan Kesehatan, Peserta yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah,
dan Peserta yang tidak mampu yang dibuktikan dengan surat keterangan dari
instansi yang berwenang.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembayaran
Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan setelah berkoordinasi dengan
kementerian/lembaga terkait.
Pasal 43
BPJS Kesehatan wajib mencatat dan menagih tunggakan
Iuran sebagai piutang BPJS Kesehatan paling banyak untuk 24 (dua puluh empat)
bulan.
Pasal 44
(1) Ketentuan mengenai penyediaan, pencairan, dan
pertanggungjawaban Iuran yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan.
(2) Ketentuan mengenai penyetoran Iuran dari PNS,
Pekerja/pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf h, dan
Pemerintah Daerah diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan atau Peraturan Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan dalam negeri sesuai dengan kewenangannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemotongan,
penyetoran, dan pembayaran Iuran bagi kepala desa dan perangkat desa diatur
dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam
negeri.
Bagian Ketiga
Kelebihan dan Kekurangan Iuran
Pasal 45
(1) BPJS Kesehatan harus menghitung setiap
kelebihan atau kekurangan Iuran sesuai dengan Gaji atau Upah Pekerja.
(2) Perhitungan setiap kelebihan atau kekurangan
Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada daftar Gaji atau Upah
Pekerja dan perubahan status kepesertaan atau data kepesertaan.
(3) Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan
pembayaran Iuran yang disebabkan oleh perubahan data kepesertaan maka BPJS
Kesehatan harus memberitahukan kepada Pemberi Kerja dan/atau Peserta paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya Iuran.
(4) Kelebihan atau kekurangan pembayaran Iuran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperhitungkan dengan pembayaran Iuran bulan
berikutnya.
BAB IV
MANFAAT JAMINAN KESEHATAN
Bagian Kesatu
Manfaat yang Dijamin
Pasal 46
(1) Setiap Peserta berhak memperoleh Manfaat
Jaminan Kesehatan yang bersifat pelayanan kesehatan perorangan, mencakup
pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk pelayanan obat,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang
diperlukan.
(2) Manfaat Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas Manfaat medis dan Manfaat nonmedis.
(3) Manfaat medis sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diberikan sesuai dengan indikasi medis dan standar pelayanan serta tidak
dibedakan berdasarkan besaran Iuran Peserta.
(4) Manfaat nonmedis sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diberikan berdasarkan besaran Iuran Peserta.
(5) Manfaat Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) juga berlaku bagi bayi baru lahir dari Peserta paling lama 28
(dua puluh delapan) hari sejak dilahirkan.
Pasal 47
(1) Pelayanan kesehatan yang dijamin terdiri atas:
a. pelayanan kesehatan tingkat pertama, meliputi
pelayanan kesehatan nonspesialistik yang mencakup:
1. administrasi pelayanan;
2. pelayanan promotif dan preventif;
3. pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
4. tindakan medis nonspesialistik, baik operatif
maupun nonoperatif;
5. pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai;
6. pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium
tingkat pratama; dan
7. rawat inap tingkat pertama sesuai dengan
indikasi medis;
b. pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan,
meliputi pelayanan kesehatan yang mencakup:
1. administrasi pelayanan;
2. pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi medis
dasar;
3. pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi
spesialistik;
4. tindakan medis spesialistik, baik bedah maupun
nonbedah sesuai dengan indikasi medis;
5. pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai;
6. pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai
dengan indikasi medis;
7. rehabilitasi medis;
8. pelayanan darah;
9. pemulasaran jenazah Peserta yang meninggal di
Fasilitas Kesehatan;
10. pelayanan keluarga berencana;
11. perawatan inap nonintensif; dan
12. perawatan inap di ruang intensif;
c. pelayanan ambulans darat atau air.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b angka 2 hanya berlaku untuk pelayanan kesehatan pada unit
gawat darurat.
(3) Alat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b angka 5 merupakan seluruh alat kesehatan yang digunakan dalam
rangka penyembuhan, termasuk alat bantu kesehatan.
(4) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b angka 10, tidak termasuk pelayanan keluarga berencana yang
telah dibiayai Pemerintah Pusat.
(5) Pelayanan ambulans darat atau air sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan pelayanan transportasi pasien rujukan
dengan kondisi tertentu antar Fasilitas Kesehatan disertai dengan upaya menjaga
kestabilan kondisi pasien untuk kepentingan keselamatan pasien.
Pasal 48
(1) Manfaat pelayanan promotif dan preventif
meliputi pemberian pelayanan:
a. penyuluhan kesehatan perorangan;
b. imunisasi rutin;
c. keluarga berencana;
d. skrining riwayat kesehatan dan pelayanan
penapisan atau skrining kesehatan tertentu; dan
e. peningkatan kesehatan bagi Peserta penderita
penyakit kronis.
(2) Penyuluhan kesehatan perorangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai
pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat.
(3) Pelayanan imunisasi rutin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b meliputi pemberian jenis imunisasi rutin sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pelayanan keluarga berencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi konseling dan pelayanan kontrasepsi,
termasuk vasektomi dan tubektomi bekerja sama dengan Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional.
(5) Ketentuan mengenai pemenuhan kebutuhan alat dan
obat kontrasepsi bagi Peserta Jaminan Kesehatan di Fasilitas Kesehatan diatur
dengan Peraturan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.
(6) Vaksin untuk imunisasi rutin serta alat dan
obat kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) disediakan
oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(7) Pelayanan skrining riwayat kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diberikan secara selektif yang
ditujukan untuk mendeteksi risiko penyakit dengan menggunakan metode tertentu.
(8) Pelayanan penapisan atau skrining kesehatan
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diberikan secara selektif
yang ditujukan untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan
risiko penyakit tertentu.
(9) Jenis pelayanan penapisan atau skrining
kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan oleh Menteri.
(10) Peningkatan kesehatan bagi Peserta penderita
penyakit kronis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e ditujukan kepada
Peserta penderita penyakit kronis tertentu untuk mengurangi risiko akibat komplikasi
penyakit yang dideritanya.
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
skrining riwayat kesehatan dan pelayanan penapisan atau skrining kesehatan tertentu
serta peningkatan kesehatan bagi Peserta penderita penyakit kronis sebagaimana
dimaksud pada ayat (7), ayat (8), dan ayat (10) diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan
setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.
Pasal 49
Menteri dapat menetapkan pelayanan kesehatan lain
yang dijamin berdasarkan penilaian teknologi kesehatan dengan memperhitungkan
kecukupan Iuran setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang keuangan.
Pasal 50
Manfaat nonmedis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 ayat (4) berupa akomodasi layanan rawat inap sebagai berikut:
a. ruang perawatan kelas III bagi:
1. Peserta PBI Jaminan Kesehatan serta penduduk
yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah;
2. Peserta PBPU dan Peserta BP yang membayar Iuran
untuk Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III; dan
3. Peserta PPU yang mengalami PHK beserta
keluarganya.
b. ruang Perawatan kelas II bagi:
1. PNS dan penerima pensiun PNS golongan ruang I
dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya;
2. Prajurit dan penerima pensiun Prajurit yang
setara PNS golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya;
3. Anggota Polri dan penerima pensiun Anggota Polri
yang setara PNS golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota
keluarganya;
4. Peserta PPU selain angka 1 sampai dengan angka
3, kepala desa dan perangkat desa, dan Pekerja/pegawai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf h, dengan Gaji atau Upah sampai dengan
Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah); dan
5. Peserta PBPU dan Peserta BP yang membayar Iuran
untuk Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II.
c. ruang perawatan kelas I bagi:
1. Pejabat Negara dan anggota keluarganya;
2. Pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah beserta anggota keluarganya;
3. PNS dan penerima pensiun PNS golongan ruang III
dan golongan ruang IV beserta anggota keluarganya;
4. Prajurit dan penerima pensiun Prajurit yang
setara PNS golongan ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota
keluarganya;
5. Anggota Polri dan penerima pensiun Anggota Polri
yang setara PNS golongan ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota
keluarganya;
6. Veteran dan Perintis Kemerdekaan beserta anggota
keluarganya;
7. janda, duda, atau anak yatim dan/atau piatu dari
Veteran atau Perintis Kemerdekaan;
8. Peserta PPU selain angka 1 sampai dengan angka
5, kepala desa dan perangkat desa, dan Pekerja/pegawai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf h, dengan Gaji atau Upah lebih dari Rp4.000.000,00
(empat juta rupiah); dan
9. Peserta PBPU dan Peserta BP yang membayar Iuran
untuk Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I.
Pasal 51
(1) Peserta dapat meningkatkan perawatan yang lebih
tinggi dari haknya termasuk rawat jalan eksekutif dengan mengikuti asuransi
kesehatan tambahan atau membayar selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS
Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan pelayanan.
(2) Selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan
dengan biaya akibat peningkatan pelayanan dapat dibayar oleh:
a. Peserta yang bersangkutan;
b. Pemberi Kerja; atau
c. asuransi kesehatan tambahan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan bagi:
a. PBI Jaminan Kesehatan;
b. Peserta yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12; dan
c. Peserta PPU yang mengalami PHK dan anggota
keluarganya.
Bagian Kedua
Manfaat yang Tidak Dijamin
Pasal 52
(1) Pelayanan kesehatan yang tidak dijamin
meliputi:
a. pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. pelayanan kesehatan yang dilakukan di Fasilitas
Kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, kecuali dalam keadaan
darurat;
c. pelayanan kesehatan terhadap penyakit atau
cedera akibat Kecelakaan Kerja atau hubungan kerja yang telah dijamin oleh
program jaminan Kecelakaan Kerja atau menjadi tanggungan Pemberi Kerja;
d. pelayanan kesehatan yang dijamin oleh program
jaminan kecelakaan lalu lintas yang bersifat wajib sampai nilai yang ditanggung
oleh program jaminan kecelakaan lalu lintas sesuai hak kelas rawat Peserta;
e. pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar
negeri;
f. pelayanan kesehatan untuk tujuan estetik;
g. pelayanan untuk mengatasi infertilitas;
h. pelayanan meratakan gigi atau ortodonsi;
i. gangguan kesehatan/penyakit akibat
ketergantungan obat dan/atau alkohol;
j. gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri
sendiri atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri;
k. pengobatan komplementer, alternatif dan
tradisional, yang belum dinyatakan efektif berdasarkan penilaian teknologi
kesehatan;
l. pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikan
sebagai percobaan atau eksperimen;
m. alat dan obat kontrasepsi, kosmetik;
n. perbekalan kesehatan rumah tangga;
o. pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa
tanggap darurat, kejadian luar biasa/wabah;
p. pelayanan kesehatan pada kejadian tak diharapkan
yang dapat dicegah;
q. pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dalam
rangka bakti sosial;
r. pelayanan kesehatan akibat tindak pidana
penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme,dan tindak pidana perdagangan
orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
s. pelayanan kesehatan tertentu yang berkaitan
dengan Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia;
t. pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan dengan
Manfaat Jaminan Kesehatan yang diberikan; atau
u. pelayanan yang sudah ditanggung dalam program
lain.
(2) Pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a meliputi rujukan atas permintaan sendiri dan pelayanan kesehatan lain yang tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti
diri sendiri atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j, pengobatan dan tindakan medis yang
dikategorikan sebagai percobaan atau eksperimen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf l, dan kejadian tak diharapkan yang dapat dicegah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf p ditetapkan oleh Menteri.
Bagian Ketiga
Koordinasi Antar Penyelenggara Jaminan
Pasal 53
(1) BPJS Kesehatan dapat berkoordinasi dengan
penyelenggara jaminan lainnya yang memberikan Manfaat pelayanan kesehatan.
(2) Penyelenggara jaminan lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan, PT. Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Persero), dan
PT. Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) untuk
program jaminan Kecelakaan Kerja dan penyakit akibat kerja;
b. PT. Jasa Raharja (Persero) untuk program jaminan
kecelakaan lalu lintas; atau
c. penyelenggara jaminan lain yang memberikan
Manfaat pelayanan kesehatan.
(3) Dalam hal BPJS Kesehatan membayarkan terlebih
dahulu biaya pelayanan kesehatan yang seharusnya dijamin oleh penyelenggara
jaminan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka penyelenggara jaminan
lainnya wajib membayar biaya pelayanan kesehatan kepada BPJS Kesehatan.
Pasal 54
Ketentuan lebih lanjut mengenai koordinasi antar
penyelenggara jaminan diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang keuangan.
BAB V
PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN
Bagian Kesatu
Prosedur Pelayanan Kesehatan
Pasal 55
(1) Pelayanan kesehatan bagi Peserta dilaksanakan
secara berjenjang sesuai kebutuhan medis dan kompetensi Fasilitas Kesehatan
dimulai dari FKTP Peserta terdaftar, kecuali dalam keadaan kegawatdaruratan
medis.
(2) Pelayanan kesehatan tingkat pertama bagi
Peserta dilaksanakan di FKTP tempat Peserta terdaftar, kecuali bagi Peserta
yang:
a. berada di luar wilayah FKTP tempat Peserta
terdaftar; atau
b. dalam keadaan kegawatdaruratan medis.
(3) Peserta yang berada di luar wilayah FKTP tempat
Peserta terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a dapat mengakses pelayanan rawat jalan
tingkat pertama pada FKTP lain untuk paling banyak 3 (tiga) kali kunjungan
dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan di FKTP yang sama.
(4) Dalam hal Peserta memerlukan pelayanan
kesehatan tingkat lanjutan, FKTP wajib merujuk ke FKRTL sesuai dengan kasus dan
kompetensi Fasilitas Kesehatan serta sistem rujukan.
(5) Pelayanan yang diberikan kepada Peserta yang
dirujuk ke FKRTL sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan.
(6) FKRTL yang melakukan pelayanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) wajib melakukan rujuk balik ke FKTP dimana Peserta
terdaftar.
(7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dikecualikan untuk kasus tertentu.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan
kesehatan tingkat pertama, pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, dan
pelayanan rujuk balik diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 56
(1) Fasilitas Kesehatan wajib menjamin Peserta
mendapatkan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang dibutuhkan
sesuai dengan indikasi medis.
(2) Fasilitas Kesehatan yang tidak memiliki sarana
penunjang, wajib membangun jejaring dengan Fasilitas Kesehatan penunjang untuk
menjamin ketersediaan obat, bahan medis habis pakai, dan pemeriksaan penunjang
yang dibutuhkan.
Pasal 57
(1) BPJS Kesehatan dapat mengembangkan sistem
pelayanan kesehatan.
(2) Pengembangan sistem pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri.
(3) Menteri menetapkan sistem pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Bagian Kedua
Pelayanan Obat, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai
Pasal 58
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan
Fasilitas Kesehatan bertanggung jawab atas ketersediaanobat, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan
sesuai dengan kewenangannya.
(2) Obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai yang digunakan dalam program pemerintah selain program Jaminan Kesehatan
disediakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 59
(1) Pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai untuk Peserta Jaminan Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan berpedoman
pada daftar obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang ditetapkan
oleh Menteri.
(2) Menteri dalam menetapkan daftar obat, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
membentuk komite nasional.
(3) Komite nasional sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) terdiri atas unsur Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan,
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, BPJS Kesehatan, organisasi
profesi, perguruan tinggi, dan tenaga ahli.
(4) Daftar obat, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam formularium
nasional atau kompendium alat kesehatan.
(5) Komite nasional dalam menyusun formularium
nasional dan kompendium alat kesehatan harus mengutamakan obat, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai produksi dalam negeri.
Pasal 60
(1) Pengadaan obat, alat kesehatan, dan/atau bahan
medis habis pakai oleh Fasilitas Kesehatan milik pemerintah maupun swasta untuk
program Jaminan Kesehatan dilakukan melalui e-purchasing berdasarkan katalog
elektronik.
(2) Dalam hal pengadaan obat, alat kesehatan,
dan/atau bahan medis habis pakai belum dapat dilakukan melalui e-purchasing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka pengadaan dapat dilakukan secara manual
berdasarkan katalog elektronik.
(3) Dalam hal obat, alat kesehatan, dan/atau bahan
medis habis pakai yang dibutuhkan oleh Fasilitas Kesehatan tidak terdapat dalam
katalog elektronik maka Fasilitas Kesehatan dalam mengadakan obat, alat
kesehatan, dan/atau bahan medis habis pakai tetap mengacu pada formularium
nasional atau kompendium alat kesehatan.
(4) Dalam hal obat, alat kesehatan, dan/atau bahan
medis habis pakai yang dibutuhkan tidak terdapat dalam formularium nasional dan
kompendium alat kesehatan maka Fasilitas Kesehatan dapat mengadakan obat, alat
kesehatan, dan/atau bahan medis habis pakai atas persetujuan kepala atau direktur
rumah sakit.
(5) Dalam hal obat, alat kesehatan, dan/atau bahan
medis habis pakai diklaim tersendiri oleh Fasilitas Kesehatan kepada BPJS
Kesehatan maka harga berpedoman pada katalog elektronik atau harga yang
ditetapkan oleh Menteri.
(6) Dalam hal terjadi kegagalan pengadaan obat
dengan katalog elektronik sehingga terjadi kekosongan obat maka Fasilitas
Kesehatan dapat mengadakan obat dengan zat aktif yang sama sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(7) Pembayaran obat sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) yang dapat diklaim tersendiri oleh Fasilitas Kesehatan kepada BPJS
Kesehatan, berpedoman pada harga katalog elektronik atau harga yang ditetapkan
oleh Menteri.
Pasal 61
Dalam hal terjadi permasalahan pengadaan obat, alat
kesehatan, dan/atau bahan medis habis pakai yang dapat berpotensi terjadinya kekosongan
obat maka Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Fasilitas Kesehatan
melakukan upaya penyelesaian sesuai dengan permasalahan dan kewenangannya.
Pasal 62
Fasilitas Kesehatan dalam memberikan pelayanan
kesehatan untuk program Jaminan Kesehatan mengutamakan penggunaan alat
kesehatan produksi dalam negeri.
Bagian Ketiga
Pelayanan dalam Keadaan Gawat Darurat
Pasal 63
(1) Peserta yang memerlukan pelayanan gawat darurat
dapat langsung memperoleh pelayanan di setiap Fasilitas Kesehatan baik yang bekerja
sama maupun yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
(2) Kriteria gawat darurat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yaitu:
a. mengancam nyawa, membahayakan diri dan orang
lain/lingkungan;
b. adanya gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan
sirkulasi;
c. adanya penurunan kesadaran;
d. adanya gangguan hemodinamik; dan/atau
e. memerlukan tindakan segera.
(3) Menteri dapat menetapkan kriteria gawat darurat
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dokter Penanggung Jawab Pasien berwenang
menetapkan terpenuhinya kriteria gawat darurat sebagaimana dimaksud pada ayat
(2).
(5) Dalam hal Peserta memperoleh pelayanan gawat
darurat di Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan
maka pasien harus segera dirujuk ke Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama
dengan BPJS Kesehatan setelah keadaan gawat daruratnya teratasi dan pasien
dalam kondisi dapat dipindahkan.
Bagian Keempat
Pelayanan dalam Keadaan Tidak Ada
Fasilitas Kesehatan yang Memenuhi Syarat
Pasal 64
(1) Dalam hal di suatu Daerah belum tersedia
Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah
Peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi.
(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa penggantian uang tunai.
(3) Selain kompensasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), BPJS Kesehatan dapat bekerja sama dengan pihak lain untuk menyediakan
Fasilitas Kesehatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian
kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 65
(1) Dalam rangka pemberian kompensasi dan pemenuhan
pelayanan pada Daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat,
BPJS Kesehatan dapat mengembangkan pola pembiayaan pelayanan kesehatan.
(2) Pengembangan pola pembiayaan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pola pembiayaan untuk pelayanan
kesehatan bergerak, pelayanan kesehatan berbasis telemedicine, dan/atau
pengembangan pelayanan kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri.
BAB VI
FASILITAS KESEHATAN
Bagian Kesatu
Penyelenggara Pelayanan Kesehatan
Pasal 66
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
bertanggung jawab atas ketersediaan Fasilitas Kesehatan sebagai penyelenggara
pelayanan kesehatan untuk pelaksanaan program Jaminan Kesehatan.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus
memberikan kesempatan kepada swasta untuk berperan serta memenuhi ketersediaan
Fasilitas Kesehatan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
Pasal 67
(1) Penyelenggara pelayanan kesehatan untuk
pelaksanaan program Jaminan Kesehatan meliputi semua Fasilitas Kesehatan yang
menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan.
(2) Fasilitas Kesehatan milik Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah yang memenuhi persyaratan wajib bekerja sama dengan BPJS
Kesehatan.
(3) Fasilitas Kesehatan milik swasta yang memenuhi
persyaratan dapat menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan.
(4) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) dilaksanakan dengan membuat perjanjian tertulis.
(5) Dalam rangka pelaksanaan kerja sama dengan
Fasilitas Kesehatan, BPJS Kesehatan berkoordinasi dengan dinas kesehatan
kabupaten/kota.
(6) Ketentuan mengenai persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 68
(1) Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan
BPJS Kesehatan dilarang menarik biaya pelayanan kesehatan kepada Peserta selama
Peserta mendapatkan Manfaat pelayanan kesehatan sesuai dengan haknya.
(2) Dalam hal pemberian pelayanan gawat darurat,
Fasilitas Kesehatan baik yang bekerja sama maupun yang tidak bekerja sama
dengan BPJS Kesehatan dilarang menarik biaya pelayanan kesehatan kepada
Peserta.
(3) Biaya pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) ditanggung oleh BPJS Kesehatan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Standar Tarif dan Mekanisme Pembayaran ke
Fasilitas Kesehatan
Pasal 69
(1) Standar tarif pelayanan kesehatan di FKTP dan
FKRTL ditetapkan oleh Menteri.
(2) Menteri menetapkan standar tarif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) setelah:
a. mendapatkan masukan dari BPJS Kesehatan bersama
dengan asosiasi fasilitas kesehatan; dan
b. mempertimbangkan ketersediaan Fasilitas
Kesehatan, indeks harga konsumen, dan indeks kemahalan Daerah.
Pasal 70
Standar tarif yang ditetapkan oleh
Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 digunakan oleh BPJS
Kesehatan sebagai besaran pembayaran ke
Fasilitas Kesehatan.
Pasal 71
(1) BPJS Kesehatan melakukan pembayaran kepada:
a. FKTP secara praupaya atau kapitasi berdasarkan
jumlah Peserta yang terdaftar di FKTP; dan
b. FKRTL secara Indonesian Case Based Groups.
(2) Dalam kondisi tertentu dan/atau di suatu
Daerah, FKTP tidak memungkinkan pembayaran secara praupaya atau kapitasi, BPJS
Kesehatan dapat mengembangkan sistem pembayaran lain.
(3) BPJS Kesehatan dapat mengembangkan sistem
pembayaran di FKRTL yang lebih berhasil guna dengan tetap mengacu pada
Indonesian Case Based Groups.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan
sistem pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan BPJS Kesehatan setelah mendapat persetujuan dari Menteri.
(5) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penyampaian dari
BPJS Kesehatan kepada Menteri.
(6) Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak diperoleh maka Peraturan
BPJS Kesehatan mengenai pengembangan sistem pembayaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku.
Pasal 72
(1) Cara pembayaran dengan Indonesian Case Based
Groups sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf b untuk FKRTL
ditetapkan sesuai kelas rumah sakit.
(2) Dalam hal ditemukan ketidaksesuaian kelas rumah
sakit berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan pada saat kredensial
atau re-kredensial maka BPJS Kesehatan harus melaporkan kepada Menteri untuk
dilakukan reviu.
(3) Reviu kelas rumah sakit sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) bulan dengan melibatkan unsur
Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan asosiasi rumah sakit.
(4) Hasil reviu kelas rumah sakit sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dijadikan dasar penyesuaian kontrak oleh BPJS Kesehatan
dengan rumah sakit.
Pasal 73
(1) Standar tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 ditinjau paling cepat setiap 2 (dua) tahun sekali oleh Menteri.
(2) Menteri dalam meninjau standar tarif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhitungkan kecukupan
Iuran dan kesinambungan program yang dilakukan bersama dengan BPJS Kesehatan,
Dewan Jaminan Sosial Nasional, dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang keuangan.
Pasal 74
Asosiasi fasilitas kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat
(2) huruf a ditetapkan olehMenteri.
Pasal 75
(1) BPJS Kesehatan wajib membayar kapitasi kepada
FKTP paling lambat tanggal 15 setiap bulan berjalan.
(2) FKTP mengajukan klaim nonkapitasi kepada BPJS
Kesehatan secara periodik dan lengkap.
(3) BPJS Kesehatan wajib membayar kepada FKTP
berdasarkan klaim yang diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan telah
diverifikasi paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak berkas klaim
dinyatakan lengkap.
(4) Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (3) jatuh pada hari libur maka pembayaran pada FKTP dilakukan
pada hari kerja berikutnya.
(5) Dalam hal BPJS Kesehatan tidak melakukan
pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3), BPJS Kesehatan wajib membayar
denda kepada FKTP yaitu sebesar 1% (satu persen) dari jumlah yang harus
dibayarkan untuk setiap 1 (satu) bulan keterlambatan.
(1) FKRTL mengajukan klaim kolektif kepada BPJS
Kesehatan secara periodik dan lengkap.
(2) BPJS Kesehatan harus mengeluarkan berita acara
kelengkapan berkas klaim paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak klaim diajukan
oleh FKRTL dan diterima oleh BPJS Kesehatan.
(3) Dalam hal BPJS Kesehatan tidak mengeluarkan
berita acara kelengkapan berkas klaim dalam waktu 10 (sepuluh) hari sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) maka berkas klaim dinyatakan lengkap.
(4) BPJS Kesehatan wajib melakukan pembayaran
kepada FKRTL berdasarkan klaim yang diajukan dan telah:
a. diverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling lambat 15 (lima belas) hari sejak diterbitkannya berita acara
kelengkapan berkas klaim; atau
b. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) paling lambat 15 (lima belas) hari sejak terpenuhinya ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Dalam hal pembayaran kepada FKRTL sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) jatuh pada hari libur maka pembayaran pada FKRTL
dilakukan pada hari kerja berikutnya.
(6) Dalam hal BPJS Kesehatan tidak melakukan
pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4), BPJS Kesehatan wajib membayar
denda kepada FKRTL yaitu sebesar 1% (satu persen) dari jumlah yang harus
dibayarkan untuk setiap 1 (satu) bulan keterlambatan.
Pasal 77
(1) Pengajuan klaim pembiayaan pelayanan kesehatan
oleh Fasilitas Kesehatan kepada BPJS Kesehatan diberikan jangka waktu paling
lambat 6 (enam) bulan sejak pelayanan kesehatan selesai diberikan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan bagi pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Fasilitas Kesehatan
sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini.
(3) Dalam hal jangka waktu pengajuan klaim
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, klaim tidak dapat diajukan
kembali.
(4) Dalam hal terdapat pembayaran atas pelayanan
kesehatan yang disebabkan karena penyalahgunaan pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh Fasilitas Kesehatan, Fasilitas Kesehatan harus mengembalikan
biaya yang sudah dibayarkan setelah dilakukan verifikasi pascaklaim kepada BPJS
Kesehatan.
(5) Dalam hal terjadi kekurangan pembayaran atas
biaya pelayanan kesehatan yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan, BPJS Kesehatan
harus membayarkan kekurangan atas biaya pelayanan kesehatan.
Pasal 78
(1) Untuk kepentingan pembayaran biaya pelayanan
kesehatan, BPJS Kesehatan dapat meminta rekam medis Peserta berupa ringkasan
rekam medis kepada Fasilitas Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Ringkasan rekam medis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit memuat identitas pasien, diagnosis, dan riwayat
pemeriksaan dan pengobatan yang ditagihkan biayanya.
(3) Dalam hal dibutuhkan untuk kepentingan audit
administrasi klaim, BPJS Kesehatan dapat melihat rekam medis Peserta dari
Fasilitas Kesehatan dengan tetap menjaga kerahasiaan isi rekam medis sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) BPJS Kesehatan dalam melihat rekam medis
Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus melalui tim yang ditunjuk oleh
Fasilitas Kesehatan.
Pasal 79
(1) Pelayanan gawat darurat yang dilakukan oleh
Fasilitas Kesehatan yang tidak menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan
dibayar dengan penggantian biaya.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditagihkan langsung oleh Fasilitas Kesehatan kepada BPJS Kesehatan.
(3) BPJS Kesehatan memberikan pembayaran kepada
Fasilitas Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setara dengan tarif yang
berlaku di wilayah tersebut.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur
penggantian biaya pelayanan gawat darurat dan pelayanan ambulans diatur dengan
Peraturan BPJS Kesehatan setelah berkoordinasi dengan
kementerian/lembaga terkait.
Pasal 80
(1) Untuk jenis pelayanan tertentu yang dapat
menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, Peserta dikenai
Urun Biaya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan dan penduduk yang didaftarkan
oleh Pemerintah Daerah.
(3) Pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan
pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang
dipengaruhi selera dan perilaku Peserta.
(4) Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 81
(1) Urun Biaya terhadap jenis pelayanan yang dapat
menimbulkan penyalahgunaan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 yaitu
sebesar:
a. nilai nominal tertentu setiap kali melakukan
kunjungan untuk rawat jalan atau nilai nominal maksimal atas biaya pelayanan
kesehatan untuk kurun waktu tertentu; dan
b. 10% (sepuluh persen) atau paling tinggi dengan
nominal tertentu untuk rawat inap dari biaya pelayanan, yang dibayarkan kepada
Fasilitas Kesehatan saat mendapatkan pelayanan.
(2) BPJS Kesehataan membayarkan biaya pelayanan
kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan setelah dikurangi besaran Urun Biaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Fasilitas Kesehatan harus menginformasikan
pelayanan yang dikenai Urun Biaya kepada Peserta sebelum melaksanakan pemberian
pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan
pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, besaran dan tata
cara pengenaan Urun Biaya diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VII
KENDALI MUTU DAN KENDALI BIAYA
PENYELENGGARAAN JAMINAN KESEHATAN
Pasal 82
Dalam rangka kendali mutu dan kendali biaya
penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan, Menteri menetapkan kebijakan
penyelenggaraan:
a. penilaian teknologi kesehatan;
b. pertimbangan klinis;
c. penghitungan standar tarif; dan
d. monitoring dan evaluasi penyelenggaraan
pelayanan Jaminan Kesehatan.
Pasal 83
(1) Dalam menetapkan kebijakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 82, Menteri dan menteri terkait serta Dewan Jaminan Sosial Nasional
berwenang mengakses dan meminta data dan informasi dari BPJS Kesehatan.
(2) BPJS Kesehatan wajib memberikan akses dan menyediakan
data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri dan
menteri terkait serta Dewan Jaminan Sosial Nasional.
Pasal 84
(1) Dalam rangka pengambilan kebijakan di bidang
kesehatan di Daerah, BPJS Kesehatan wajib memberikan data dan informasi kepada
Kepala Dinas Kesehatan kabupaten/kota dan Kepala Dinas Kesehatan provinsi
setempat secara berkala setiap 3 (tiga) bulan.
(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. jumlah Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan
BPJS Kesehatan;
b. kepesertaan;
c. jumlah kunjungan ke Fasilitas Kesehatan;
d. jenis penyakit; dan
e. jumlah pembayaran dan/atau klaim.
Pasal 85
(1) Penilaian teknologi kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 82 huruf a dilakukan untuk menilai efektifitas dan
efisiensi penggunaan teknologi atau produk teknologi berupa metode, obat, atau
alat kesehatan dalam pelayanan kesehatan program Jaminan Kesehatan.
(2) Penggunaan hasil penilaian teknologi kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat
rekomendasi dari Komite Penilaian Teknologi Kesehatan.
(3) Komite Penilaian Teknologi Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk oleh Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian
teknologi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 86
(1) Dalam rangka kendali mutu dan kendali biaya
penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan, BPJS Kesehatan mengembangkan teknis
operasionalisasi sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan
sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan.
(2) Pengembangan teknis operasionalisasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. kredensial Fasilitas Kesehatan;
b. survei kepuasan Peserta; dan
c. pemantauan dan pengawasan pemanfaatan.
(3) Dalam melaksanakan pengembangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), BPJS Kesehatan
berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.
Pasal 87
(1) Fasilitas Kesehatan dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada Peserta Jaminan Kesehatan harus menerapkan kendali mutu dan
kendali biaya dengan tetap memperhatikan keselamatan dan keamanan pasien serta
mutu pelayanan.
(2) Penerapan kendali mutu dan kendali biaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara menyeluruh meliputi
pemenuhan standar mutu Fasilitas Kesehatan, memastikan proses pelayanan kesehatan
berjalan sesuai standar yang ditetapkan, dan pemantauan terhadap luaran
kesehatan Peserta, serta efisiensi biaya.
Pasal 88
Ketentuan lebih lanjut mengenai kendali mutu dan
kendali biaya pelayanan Jaminan Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VIII
PELAYANAN INFORMASI DAN PENANGANAN
PENGADUAN
Pasal 89
(1) Peserta berhak untuk mendapatkan informasi
mengenai penyelenggaraan Jaminan Kesehatan secaramenyeluruh menyangkut hak dan
kewajiban Peserta/Fasilitas Kesehatan/BPJS Kesehatan, dan mekanisme pelayanan
di Fasilitas Kesehatan dan BPJS Kesehatan.
(2) Peserta berhak untuk mengadukan ketidakpuasan
terhadap pelayanan Jaminan Kesehatan yang diberikan oleh Fasilitas Kesehatan,
dan terhadap pelayanan BPJS Kesehatan kepada unit pengaduan, baik yang terdapat
di Fasilitas Kesehatan, BPJS Kesehatan, dinas kesehatan, maupun Kementerian
Kesehatan.
(3) Fasilitas Kesehatan dan BPJS Kesehatan wajib menyediakan
unit pengaduan yang dikelola secara bersama-sama atau sendiri-sendiri oleh
Fasilitas Kesehatan dan BPJS Kesehatan.
(4) Unit pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat berupa:
a. unit pengendali mutu pelayanan dan penanganan
pengaduan untuk BPJS Kesehatan;
b. unit pengaduan masyarakat terpadu/tim monitoring
dan evaluasi Jaminan Kesehatan untuk dinas kesehatan dan Kementerian Kesehatan;
dan/atau
c. unit pengaduan masyarakat untuk Fasilitas
Kesehatan.
(5) Pengaduan ketidakpuasan yang disampaikan
Peserta harus memperoleh penanganan dan penyelesaian secara memadai dan dalam
waktu yang singkat serta diberikan umpan balik ke pihak yang menyampaikan.
Pasal 90
Fasilitas Kesehatan dalam menyelenggarakan
pelayanan kesehatan wajib menginformasikan ketersediaanruang rawat inap kepada
masyarakat.
BAB IX
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 91
(1) Dalam hal terjadi sengketa terkait
penyelenggaraan Jaminan Kesehatan antara:
a. Peserta dengan Fasilitas Kesehatan;
b. Peserta dengan BPJS Kesehatan;
c. BPJS Kesehatan dengan Fasilitas Kesehatan; atau
d. BPJS Kesehatan dengan asosiasi fasilitas
kesehatan, penyelesaiannya dilakukan secara musyawarah.
(2) Sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk pengaduan yang belum dapat diselesaikan oleh unit pengaduan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
(3) Penyelesaian sengketa secara musyawarah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan Kepala Dinas Kesehatan provinsi,
Kepala Dinas Kesehatan kabupaten/kota, dan/atau Badan Pengawas Rumah Sakit.
(4) Dalam hal sengketa tidak dapat diselesaikan
secara musyawarah, sengketa diselesaikan melalui Dewan Pertimbangan Klinis,
dengan cara mediasi, atau pengadilan.
(5) Cara penyelesaian sengketa melalui mediasi atau
melalui pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai cara
penyelesaian sengketa melalui Dewan Pertimbangan Klinis diatur dengan Peraturan
Menteri.
BAB X
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KECURANGAN
(FRAUD) DALAM PELAKSANAAN PROGRAM
JAMINAN KESEHATAN
Pasal 92
(1) Kecurangan (fraud) dapat dilakukan oleh:
a. Peserta;
b. BPJS Kesehatan;
c. Fasilitas Kesehatan atau pemberi pelayanan
kesehatan;
d. penyedia obat dan alat kesehatan; dan
e. pemangku kepentingan lainnya.
(2) Kecurangan (fraud) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) termasuk penyalahgunaan pelayanan kesehatan yang disebabkan karena
perilaku pemberi pelayanan kesehatan.
(3) BPJS Kesehatan, dinas kesehatan kabupaten/kota,
dan FKRTL yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan harus membangun sistem
pencegahan Kecurangan (fraud) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui:
a. penyusunan kebijakan dan pedoman pencegahan
Kecurangan (fraud);
b. pengembangan budaya pencegahan Kecurangan
(fraud);
c. pengembangan pelayanan kesehatan yang
berorientasi kepada kendali mutu dan kendali biaya;
dan
d. pembentukan tim pencegahan Kecurangan (fraud).
(4) Sistem pencegahan Kecurangan (fraud)
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara sistematis, terstruktur,
dan komprehensif dengan melibatkan seluruh sumber daya manusia di BPJS Kesehatan,
Fasilitas Kesehatan, dinas kesehatan kabupaten/kota, dinas kesehatan provinsi, Kementerian
Kesehatan, dan pemangku kepentingan lainnya.
Pasal 93
(1) Menteri, Kepala Dinas Kesehatan provinsi,
Kepala Dinas Kesehatan kabupaten/kota dapat memberikan sanksi administratif
bagi setiap orang atau korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1)
yang melakukan Kecurangan (fraud).
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. perintah pengembalian kerugian akibat Kecurangan
(fraud) pada pihak yang dirugikan.
(3) Selain sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), terhadap petugas BPJS Kesehatan, pemberi pelayanan
kesehatan, dan penyedia obat dan alat kesehatan dapat dikenai sanksi tambahan.
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak menghapus sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 94
Untuk meningkatkan upaya pencegahan dan penanganan
Kecurangan (fraud) dibentuk tim yang terdiri atas unsur Kementerian Kesehatan,
kementerian/lembaga, BPJS Kesehatan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi, serta
kementerian/lembaga terkait.
Pasal 95
Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya pencegahan
dan penanganan Kecurangan (fraud) dan pengenaan sanksi administrasi diatur
dengan Peraturan Menteri.
BAB XI
PENGAWASAN, MONITORING, DAN EVALUASI
Pasal 96
(1) Menteri, Kepala Dinas Kesehatan provinsi, dan
Kepala Dinas Kesehatan kabupaten/kota melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(2) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat melibatkan Badan Pengawas Rumah Sakit, Dewan Pengawas Rumah
Sakit, asosiasi fasilitas kesehatan, dan/atau organisasi profesi sesuai dengan
kebutuhan.
(3) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi dengan instansi terkait sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 97
(1) Pengawas ketenagakerjaan pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melakukan pemeriksaan terhadap
Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 yang
pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) BPJS Kesehatan melakukan pengawasan dan
pemeriksaan atas kepatuhan Peserta dan Pemberi Kerja dalam memenuhi
kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) BPJS Kesehatan dalam melakukan pengawasan dan
pemeriksaan atas kepatuhan Peserta dan Pemberi Kerja dapat bekerja sama dengan
pengawas ketenagakerjaan dan Jaksa Pengacara Negara.
Pasal 98
(1) Untuk kesinambungan penyelenggaraan program
Jaminan Kesehatan dilakukan monitoring dan evaluasi.
(2) Pelaksanaan monitoring dan evaluasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada aspek:
a. kepesertaan;
b. pelayanan kesehatan;
c. Iuran;
d. pembayaran ke Fasilitas Kesehatan;
e. keuangan;
f. organisasi dan kelembagaan; dan
g. regulasi.
(3) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan,
Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pemeriksa
Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Dewan Jaminan Sosial Nasional,
Otoritas Jasa Keuangan, dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing.
(4) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan secara terpadu.
BAB XII
DUKUNGAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 99
(1) Pemerintah Daerah wajib mendukung
penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan.
(2) Dukungan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. peningkatan pencapaian kepesertaan di
wilayahnya;
b. kepatuhan pembayaran Iuran;
c. peningkatan pelayanan kesehatan; dan
d. dukungan lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dalam rangka menjamin kesinambungan program
Jaminan Kesehatan.
(3) Dukungan peningkatan pencapaian kepesertaan di
wilayahnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan melalui
penerbitan regulasi yang mempersyaratkan kepersertaan program Jaminan Kesehatan
dalam memperoleh pelayanan publik.
(4) Dukungan kepatuhan pembayaran Iuran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan melalui pelaksanaan pembayaran
Iuran secara tepat jumlah dan tepat waktu.
(5) Dukungan peningkatan pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan melalui penyediaan
Fasilitas Kesehatan, pemenuhan standar pelayanan minimal, dan peningkatan mutu
layanan kesehatan.
(6) Dukungan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf d dilaksanakan melalui kontribusi dari pajak rokok bagian hak
masing-masing Daerah provinsi/kabupaten/kota.
Pasal 100
(1) Besaran kontribusi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 99 ayat (6) ditetapkan 75% (tujuh puluh lima persen) dari 50% (lima puluh
persen) realisasi penerimaan pajak rokok bagian hak masing-masing Daerah
provinsi/kabupaten/kota.
(2) Kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
langsung dipotong untuk dipindahbukukan ke dalam rekening BPJS Kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kontribusi dan
mekanisme pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
keuangan.
Pasal 101
(1) Kontribusi Daerah untuk mendanai program
Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal99 ayat (6) dianggarkan
sebagai belanja bantuan sosial fungsi kesehatan pada anggaran pendapatan dan
belanja daerah provinsi/kabupaten/kota.
(2) Perencanaan, penganggaran, dan
pertanggungjawaban kontribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
dalam negeri yang mengatur mengenai pedoman penyusunan anggaran pendapatan dan
belanja daerah.
Pasal 102
Pemerintah Daerah yang menyelenggarakan jaminan
kesehatan Daerah wajib mengintegrasikannya ke dalam program Jaminan Kesehatan
yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 103
Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku,
ketentuan mengenai Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri termasuk dalam PPU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf h sampai dengan ditetapkannya
Peraturan Pemerintah mengenai Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian
Kerja.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 104
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (6), Pasal 42 ayat (1)sampai dengan ayat (6),
dan Pasal 80 ayat (4) mulai berlaku setelah 3 (tiga) bulan terhitung sejak
Peraturan Presiden ini diundangkan.
Pasal 105
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Presiden ini
harus ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Peraturan Presiden
ini diundangkan.
Pasal 106
Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku,
semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 29) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2016 tentang
Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 62), dinyatakan
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan
Presiden ini.
Pasal 107
Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku,
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 29) sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga
Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 62), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 108
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 17 September 2018
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 18 September 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK
INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR
165
Tidak ada komentar:
Posting Komentar