Definisi
Error didefinisikan sebagai kegagalan dari sesuatu yang telah
direncanakan untuk diselesaikan sesuai dengan tujuan (kesalahan pada
pelaksanaan) atau kesalahan pada perencanaan untuk mencapai tujuan (kesalahan
pada perencanaan). Suatu error mungkin terjadi karena hasil dari
kelalaian (The Institute of Medicine, 2004).
Sedangkan kesalahan pengobatan (medication
error) didefinisikan sebagai setiap kesalahan (error) yang terjadi
dalam proses hingga penggunaan dalam pngobatan. Kesalahan pengobatan (medication
error) didefinisikan secara luas sebagai kesalahan dalam meresepkan,
pembuatan, dan memberikan obat, tanpa tergantung dengan di mana kesalahan ini
menyebabkan konsekuensi yang merugikan atau tidak. Definisi yang terbaru dari
kesalahan pengobatan adalah kegagalan dalam proses pengobatan yang menyebabkan
atau berpotensi membahayaan pasien, kesalahan pengobatan dapat terjadi pada
setiap langkah pengobatan yang menggunakan proses, dan mungkin atau tidak dapat
menyebabkan ADE atau Adverse Drug Event (William,2007).
Selain itu, kesalahan pengobatan (medication
error) dapat didefinisikan sebagai semua kejadian yang dapat menyebabkan
pengobatan tidak sesuai atau yang dapat mencelakakan pasien dimana prosedur
pengobatan tersebut masih berada di bawah kontrol praktisi kesehatan (Fowler,
2009). Dimana definisi tersebut mirip dengan definisi dari National
Coordinating Council for Medication error Reporting and Prevention (NCCMERP).
NCCMERP mendefinisikan kesalahan pengobatan sebagai “Suatu kejadian yang
dapat dicegah yang menyebabkan penggunaan obat yang tidak sesuai atau
membahayakan pasien di mana pengobatan tersebut dikontrol oleh tenaga medis
profesional, pasien, atau konsumen, yang berhubungan dengan praktis
profesional, produk kesehatan, prosedur, sistem termasuk prescribing; order
communication; product labeling; packaging; compounding;
dispensing; distribution; administration; education;
monitoring; dan penggunaan."
Pengertian lain oleh Cohen, dkk., medication
error adalah suatu kesalahan dalam proses pengobatan yang masih berada
dalam pengawasan dan tanggung jawab profesi kesehatan, pasien atau konsumen,
dan seharusnya dapat dicegah (Cohen,1991). Dalam Surat Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa pengertian medication
error adalah kejadian yang merugikan pasien, akibat pemakaian obat selama
dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah.
Jenis
Kesalahan Obat
Kejadian medication error dibagi
dalam 4 fase, yaitu fase prescribing, fase transcribing, fase dispensing,
dan fase administrasion oleh pasien (Cohen,1991).
a.
Prescribing Errors
Medication error pada fase prescribing adalah error yang
terjadi pada fase penulisan resep. Fase ini meliputi:
Ø Kesalahan
resep
Seleksi obat (didasarkan pada
indikasi, kontraindikasi, alergi yang diketahui, terapi obat yang ada, dan
faktor lain), dosis, bentuk sediaan, mutu, rute, konsentrasi, kecepatan
pemberian, atau instruksi untuk menggunakan suatu obat yang diorder atau diotorisasi
oleh dokter (atau penulis lain yang sah) yang tidak benar. Seleksi obat yang
tidak benar misalnya seorang pasien dengan infeksi bakteri yang resisten
terhadap obat yang ditulis untuk pasien tersebut.
Ø Resep
atau order obat yang tidak terbaca yang menyebabkan kesalahan yang sampai pada
pasien.
1) Kesalahan karena yang tidak diotorisasi
Ø Pemberian
kepada pasien, obat yang tidak diotorisasi oleh seorang penulis resep yang sah
untuk pasien. Mencakup suatu obat yang keliru, suatu dosis diberikan kepada
pasien yang keliru, obat yang tidak diorder, duplikasi dosis, dosis diberikan
di luar pedoman atau protokol klinik yang telah ditetapkan, misalnya obat
diberikan hanya bila tekanan darah pasien turun di bawah suatu tingkat tekanan
yang ditetapkan sebelumnya.
2) Kesalahan karena dosis tidak benar
Ø Pemberian
kepada pasien suatu dosis yang lebih besar atau lebih kecil dari jumlah yang
diorder oleh dokter penulis resep atau pemberian dosis duplikat kepada pasien,
yaitu satu atau lebih unit dosis sebagai tambahan pada dosis obat yang diorder.
3) Kesalahan karena indikasi tidak diobati
Ø Kondisi
medis pasien memerlukan terapi obat tetapi tidak menerima suatu obat untuk
indikasi tersebut. Misalnya seorang pasien hipertensi atau glukoma tetapi tidak
menggunakan obat untuk masalah ini.
4) Kesalahan karena penggunaan obat yang tidak diperlukan
Ø Pasien
menerima suatu obat untuk suatu kondisi medis yang tidak memerlukan terapi
obat.
b.
Transcription Errors
Pada fase transcribing,
kesalahan terjadi pada saat pembacaan resep untuk proses dispensing, antara
lain salah membaca resep karena tulisan yang tidak jelas. Salah dalam
menterjemahkan order pembuatan resep dan signature juga dapat terjadi
pada fase ini.
Jenis kesalahan obat yang termasuk transcription
errors, yaitu:
1) Kesalahan karena pemantauan yang keliru
Ø Gagal
mengkaji suatu regimen tertulis untuk ketepatan dan pendeteksian masalah, atau
gagal menggunakan data klinik atau data laboratorium untuk pengkajian respon
pasien yang memadai terhadap terapi yang ditulis.
2) Kesalahan karena ROM (Reaksi Obat Merugikan)
Ø Pasien
mengalami suatu masalah medis sebagai akibat dari ROM atau efek samping.
Ø Reaksi
diharapkan atau tidak diharapkan, seperti ruam dengan suatu antibiotik, pasien
memerlukan perhatian pelayanan medis.
3) Kesalahan karena interaksi obat
Ø Pasien
mengalami masalah medis, sebagai akibat dari interaksi obat-obat, obat-makanan,
atau obat-prosedur laboratorium.
c.
Administration Error
Kesalahan pada fase administration
adalah kesalahan yang terjadi pada proses penggunaan obat. Fase ini dapat
melibatkan petugas apotek dan pasien atau keluarganya. Kesalahan yang terjadi
misalnya pasien salah menggunakan supositoria yang seharusnya melalui dubur tapi
dimakan dengan bubur, salah waktu minum obatnya seharusnya 1 jam sebelum makan
tetapi diminum bersama makan.
Jenis kesalahan obat yang termasuk administration errors yaitu:
1. Kesalahan karena lalai memberikan obat
Ø Gagal
memberikan satu dosis yang diorder untuk seorang pasien, sebelum dosis
terjadwal berikutnya.
2. Kesalahan karena waktu pemberian yang keliru
Ø Pemberian
obat di luar suatu jarak waktu yang ditentukan sebelumnya dari waktu pemberian
obat terjadwal.
3. Kesalahan karena teknik pemberian yang keliru
Ø Prosedur
yang tidak tepat atau teknik yang tidak benar dalam pemberian suatu obat.
Ø Kesalahan
rute pemberian yang keliru berbeda dengan yang ditulis; melalui rute yang
benar, tetapi tempat yang keliru (misalnya mata kiri sebagai ganti mata kanan),
kesalahan karena kecepatan pemberian yang keliru.
4. Kesalahan karena tidak patuh
Ø Perilaku
pasien yang tidak tepat berkenaan dengan ketaatan pada suatu regimen obat yang
ditulis. Misalnya paling umum tidak patuh menggunakan terapi obat
antihipertensi.
5. Kesalahan karena rute pemberian tidak benar
Ø Pemberian
suatu obat melalui rute yang lain dari yang diorder oleh dokter, juga termasuk
dosis yang diberikan melalui rute yang benar, tetapi pada tempat yang keliru (misalnya
mata kiri, seharusnya mata kanan).
6. Kesalahan karena gagal menerima obat
Ø Kondisi
medis pasien memerlukan terapi obat, tetapi untuk alasan farmasetik,
psikologis, sosiologis, atau ekonomis, pasien tidak menerima atau tidak
menggunakan obat.
d.
Dispensing Error
Kesalahan pada fase dispensing terjadi
pada saat penyiapan hingga penyerahan resep oleh petugas apotek. Salah satu
kemungkinan terjadinya error adalah salah dalam mengambil obat dari rak
penyimpanan karena kemasan atau nama obat yang mirip atau dapat pula terjadi
karena berdekatan letaknya. Selain itu, salah dalam menghitung jumlah tablet
yang akan diracik, ataupun salah dalam pemberian informasi.
Jenis kesalahan obat yang termasuk Dispensing errors yaitu
:
1) Kesalahan karena bentuk sediaan
Ø Pemberian
kepada pasien suatu sediaan obat dalam bentuk berbeda dari yang diorder oleh
dokter penulis.
Ø Penggerusan
tablet lepas lambat, termasuk kesalahan.
2) Kesalahan karena pembuatan/penyiapan obat yang keliru
Ø Sediaan
obat diformulasi atau disiapkan tidak benar sebelum pemberian. Misalnya,
pengenceran yang tidak benar, atau rekonstitusi suatu sediaan yang tidak benar.
Tidak mengocok suspensi. Mencampur obat-obat yang secara fisik atau kimia
inkompatibel.
Ø Penggunaan
obat kadaluarsa, tidak melindungi obat terhadap pemaparan cahaya.
3) Kesalahan karena pemberian obat yang rusak
Ø Pemberian
suatu obat yang telah kadaluarsa atau keutuhan fisik atau kimia bentuk sediaan
telah membahayakan. Termasuk obat-obat yang disimpan secara tidak tepat.
Faktor
Penyebab
Menurut American Hospital
Association, medication error antara lain dapat terjadi pada situasi
berikut:
a. Informasi pasien yang tidak lengkap, misalnya tidak ada
informasi tentang riwayat alergi dan penggunaan obat sebelumnya.
b. Tidak diberikan informasi obat yang layak, misalnya cara
minum atau menggunakan obat, frekuensi dan lama pemberian hingga peringatan
jika timbul efek samping.
c. Kesalahan komunikasi dalam peresepan, misalnya interpretasi
apoteker yang keliru dalam membaca resep dokter, kesalahan membaca nama obat
yang relatif mirip dengan obat lainnya, kesalahan membaca desimal, pembacaan
unit dosis hingga singkatan peresepan yang tidak jelas (q.d atau q.i.d/QD).
d. Pelabelan kemasan obat yang tidak jelas sehingga berisiko
dibaca keliru oleh pasien.
e. Faktor-faktor lingkungan, seperti ruang apotek/ruang obat
yang tidak terang, hingga suasana tempat kerja yang tidak nyaman yang dapat
mengakibatkan timbulnya medication error.
Di bawah ini diuraikan beberapa faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya medication error:
1. Kondisi sumber daya manusia Instalasi Farmasi Rumah Sakit
(IFRS)
a. Jumlah dan mutu apoteker tidak memadai
b. Personel non-professional dalam bidang pekerjaan apoteker
2. Sistem distribusi obat untuk PRT yang tidak sesuai
3. Belum diterapkannya pelayanan farmasi klinik
Pelayanan farmasi klinik merupakan
suatu kegiatan jaminan mutu pelayanan obat kepada pasien. Dalam pelayanan ini,
apoteker memiliki tanggung jawab sebagai upaya pencapaian dan peningkatan
kesehatan pasien dan mutu kehidupannya. Jika pelayanan ini tidak diterapkan di
rumah sakit, maka tidak menutup kemungkinan kesalahan obat atau masalah yang
berkaitan dengan obat akan banyak terjadi.
4. Tidak diterapkannya pedoman Cara Dispensing Obat yang Baik
(CDOB) Berbagai kegiatan dalam CDOB tidak dilakukan, seperti: interpretasi
resep, riwayat pengobatan pasien, pemberian informasi yang tidak lengkap pada
etiket, kurangnya informasi pada perawat, dapat menyebabkan terjadinya
kesalahan baik oleh dokter, apoteker, perawat, maupun pasien.
5. Kebijakan dan prosedur pengelolaan, pengendalian, serta
pelayanan obat yang tidak memadai Kebijakan dan prosedur sangat penting serta
berguna karena merupakan penuntun untuk melaksanakan pengelolaan, pengendalian,
dan pelayanan obat yang efektif dan efisien di rumah sakit. Kurangnya kebijakan
dan prosedur tersebut di rumah sakit dapat berkontribusi pada kesalahan obat di
rumah sakit.
6. Pelaksanaan sistem formularium dan pengadaan formularium
yang belum memadai. Sistem formularium yang belum diterapkan, mengakibatkan
formularium tidak akomodatif bagi pasien. Jumlah, jenis mutu obat serta penggunaan
di rumah sakir tidak terkendali, dan kondisi tersebut dapat menyebabkan
kesalahan obat.
7. Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) belum berdaya. Tidak
berdayanya PFT di rumah sakit, antara lain sistem formularium tidak terlaksana,
formularium tidak baik, dan pengembangan kebijakan serta prosedur berkaitan
dengan obat sangat lambat. Hal-hal tersebut dapat berkontribusi pada kesalahan
obat di rumah sakit.
8. Kurang memadainya pengetahuan pasien dan profesional tentang
obat. Pengetahuan pasien yang kurang memadai tentang obat menyebabkan
ketidakpatuhan pasien dan salah penggunaan obatnya. Sedangkan, profesional
kesehatan yang memiliki pengetahuan kurang terhadap obat dapat menyebabkan
kesalahan pemilihan obat yang tepat bagi pasien.
9. Kesalahan komunikasi (communication errors).
Kesalahan komunikasi dapat terjadi akibat kurangnya kemampuan dokter/apoteker
dalam berkomunikasi dengan pasien. Dapat juga diakibatkan karena pasien tidak
memberitahukan gejala penyakit yang dirasakannya dengan jelas.
10. Meningkatnya
spesialisasi dan fragmentasi perawatan kesehatan. Semakin banyak tenaga
kesehatan yang menangani seorang pasien, makin besar kemungkinan kesalahan
informasi yang disampaikan.
11. Belum terdapat
standar pelayanan medis yang tertuang dalam SOP. Masih belum adanya standar
pelayanan medis yang dituangkan dalam standar prosedur operasional sehingga
tidak ada acuan baku dalam penatalaksanaan suatu penyakit dengan baik. Misalnya
penatalaksanaan malaria baik oleh tenaga mikroskopis maupun tenaga medis hanya
didasarkan atas pengalaman.
12. Penyebab
kesalahan obat yang umum
a. Kekuatan obat pada etiket atau dalam kemasan yang
membingungkan
Kekuatan atau dosis sediaan tidak
jelas dimana sediaan tersebut terdiri dari bermacam-macam obat dengan
perbandingan yang ada, contoh cotrimoksazol (trimetroprim 800 mg +
sulfametoksazol 400 mg).
b. Nama atau bunyi nama obat yang terlihat mirip
Penamaan sediaan obat yang hampir
sama dapat menyebabkan medication error. Contoh obat yang sering
menyebabkan kesalahan pengobatan adalah obat pencegah pembekuan darah Coumadin®
dan obat anti parkinson Kemadrin®. Taxol® (paclitaxel) suatu agen antikanker
kedengarannya hampir sama dengan Paxil® (paroxetine) yang merupakan suatu
antidepresan.
c. Kesalahan alat
Contohnya pompa intravena dimana
katupnya tidak berfungsi, menyebabkan periode pemberian obat menjadi terlalu
cepat.
d. Tulisan tangan tidak terbaca
Tulisan tangan yang kurang jelas
dapat menyebabkan kesalahan dalam dua pengobatan yang mempunyai nama yang
serupa. Selain itu, banyak nama obat yang nampak serupa terutama saat
percakapan di telepon, kurang jelas atau salah melafalkan. Permasalahannya
menjadi kompleks apabila obat tersebut memiliki cara pemberian yang sama dan
dosis yang hampir sama.
e. Penulisan kembali resep atau order dokter yang tidak tepat
f. Perhitungan dosis yang tidak teliti
Kesalahan dalam menghitung dosis
sebagian besar terjadi pada pengobatan pediatri dan pada produk-produk
intravena. Beberapa studi menunjukkan bahwa kesalahan dalam perhitungan dosis
tidak hanya ringan tetapi juga kesalahan yang fatal, misal kesalahan 10 kali
lipat atau mencapai 15%.
g. Kesalahan diagnosis
Kesalahan dokter dalam mendiagnosis
penyakit dapat menyebabkan kesalahan tindakan medis selanjutnya.
h. Menggunakan singkatan yang tidak tepat dalam penulisan resep
Pengunaan singkatan dalam resep
terkadang dapat menyebabkan terjadinya kesalahan obat, seperti misalnya:
Ø Singkatan
U (unit) untuk insulin dan pitosin dapat menyebabkan kesalahan pembacaan
menjadi 0 yang menyebabkan overdosis yang berbahaya.
Ø Singkatan
IU (International Unit) dapat terbaca sebagai IV (intravena) atau 10.
Ø Singkatan
q.d. (quaque die) yang berarti setiap hari dapat menyebabkan kesalahan
pembacaan menjadi qid (quarter in die atau empat kali sehari) atau qod
(setiap hari yang berbeda)
Ø Angka
desimal seharusnya tidak ditulis. Angka 1.0 dapat terbaca sebagai 10 akibat
tanda desimalnya berada pada garis keras resep.
i. Kesalahan penulisan etiket
j. Beban kerja berlebihan
k. Obat-obatan yang tidak tersedia
Pencegahan
Medication Error
Sejumlah pasien dapat mengalami
cedera atau mengalami insiden pada saat memperoleh layanan kesehatan, khususnya
terkait penggunaan obat yang dikenal dengan medication error. Di rumah
sakit dan sarana pelayanan kesehatan lainnya, kejadian medication error dapat
dicegah jika melibatkan pelayanan farmasi klinik dari apoteker yang sudah
terlatih. Saat ini di negara-negara maju sudah ada apoteker dengan spesialisasi
khusus menangani medication safety. Peran Apoteker Keselamatan
Pengobatan (Medication Safety Pharmacist) meliputi :
1. Mengelola
laporan medication error
a. Membuat kajian terhadap laporan insiden yang masuk
b. Mencari akar permasalahan dari error yang terjadi
2. Mengidentifikasi
pelaksanaan praktek profesi terbaik untuk menjamin medication safety
a. Menganalisis
pelaksanaan praktek yang menyebabkan medication error
b. Mengambil
langkah proaktif untuk pencegahan
c. Memfasilitasi perubahan proses dan sistem untuk menurunkan
insiden yang sering terjadi atau berulangnya insiden sejenis
3. Mendidik staf dan klinisi terkait lainnya untuk menggalakkan
praktek pengobatan yang aman
a. Mengembangkan program pendidikan untuk meningkatkan medication
safety dan kepatuhan terhadap aturan/SOP yang ada
4. Berpartisipasi
dalam Komite/tim yang berhubungan dengan medication safety
Ø Komite
Keselamatan Pasien RS
Ø Dan
komite terkait lainnya
5. Terlibat didalam pengembangan dan pengkajian kebijakan
penggunaan obat
6. Memonitor kepatuhan terhadap standar pelaksanaan Keselamatan
Pasien yang ada
Peran
apoteker dalam mewujudkan keselamatan pasien meliputi dua aspek yaitu aspek
manajemen dan aspek klinik.
1. Aspek manajemen meliputi
pemilihan perbekalan farmasi, pengadaan, penerimaan, penyimpanan dan
distribusi, alur pelayanan, sistem pengendalian (misalnya memanfaatkan IT).
2. Aspek klinik meliputi
skrining permintaan obat (resep atau bebas), penyiapan obat dan obat khusus,
penyerahan dan pemberian informasi obat, konseling, monitoring dan evaluasi.
Kegiatan
farmasi klinik sangat diperlukan terutama pada pasien yang menerima pengobatan
dengan risiko tinggi. Keterlibatan apoteker dalam tim pelayanan kesehatan perlu
didukung mengingat keberadaannya melalui kegiatan farmasi klinik terbukti
memiliki konstribusi besar dalam menurunkan insiden/kesalahan.
Apoteker
harus berperan di semua tahapan proses yang meliputi :
1. Pemilihan
Pada
tahap pemilihan perbekalan farmasi, risiko insiden/error dapat diturunkan
dengan pengendalian jumlah item obat dan penggunaan obat-obat sesuai
formularium.
2. Pengadaan
Pengadaan
harus menjamin ketersediaan obat yang aman, efektif, dan sesuai peraturan yang
berlaku (legalitas) dan diperoleh dari distributor resmi.
3. Penyimpanan
Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan untuk menurunkan kesalahan
pengambilan obat dan menjamin mutu obat:
Ø Simpan
obat dengan nama, tampilan dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike
medication names) secara terpisah.
Ø Obat-obat
dengan peringatan khusus (high alert drugs) yang dapat menimbulkan
cedera jika terjadi kesalahan pengambilan, simpan di tempat khusus. Misalnya :
- cairan elektrolit pekat seperti KCl injeksi, heparin,
warfarin, insulin, kemoterapi, narkotik opiat, neuromuscular blocking agents,
thrombolitik, dan agonis adrenergik.
- kelompok obat antidiabet jangan disimpan tercampur dengan
obat lain secara alfabetis, tetapi tempatkan secara terpisah
Ø Simpan
obat sesuai dengan persyaratan penyimpanan.
4. Skrining Resep
Apoteker dapat berperan nyata dalam
pencegahan terjadinya medication error melalui kolaborasi dengan dokter
dan pasien.
Ø Identifikasi
pasien minimal dengan dua identitas, misalnya nama dan nomor rekam medik/ nomor
resep,
Ø Apoteker
tidak boleh membuat asumsi pada saat melakukan interpretasi resep dokter. Untuk
mengklarifikasi ketidaktepatan atau ketidakjelasan resep, singkatan, hubungi
dokter penulis resep.
Ø Dapatkan
informasi mengenai pasien sebagai petunjuk penting dalam pengambilan keputusan
pemberian obat, seperti :
- Data demografi (umur, berat badan, jenis kelamin) dan data
klinis (alergi, diagnosis dan hamil/menyusui). Contohnya, Apoteker perlu
mengetahui tinggi dan berat badan pasien yang menerima obat-obat dengan indeks
terapi sempit untuk keperluan perhitungan dosis.
- Hasil pemeriksaan pasien (fungsi organ, hasil laboratorium,
tanda-tanda vital dan parameter lainnya). Contohnya, Apoteker harus mengetahui
data laboratorium yang penting, terutama untuk obat-obat yang memerlukan
penyesuaian dosis dosis (seperti pada penurunan fungsi ginjal).
Ø Apoteker
harus membuat riwayat/catatan pengobatan pasien.
Ø Strategi
lain untuk mencegah kesalahan obat dapat dilakukan dengan penggunaan
otomatisasi (automatic stop order), sistem komputerisasi (eprescribing)
dan pencatatan pengobatan pasien seperti sudah disebutkan diatas.
Ø Permintaan
obat secara lisan hanya dapat dilayani dalam keadaan emergensi dan itupun harus
dilakukan konfirmasi ulang untuk memastikan obat yang diminta benar, dengan
mengeja nama obat serta memastikan dosisnya. Informasi obat yang penting harus
diberikan kepada petugas yang meminta/menerima obat tersebut. Petugas yang
menerima permintaan harus menulis dengan jelas instruksi lisan setelah mendapat
konfirmasi.
5. Dispensing
Ø Peracikan
obat dilakukan dengan tepat sesuai dengan SOP.
Ø Pemberian
etiket yang tepat. Etiket harus dibaca minimum tiga kali : pada saat
pengambilan obat dari rak, pada saat mengambil obat dari wadah, pada saat
mengembalikan obat ke rak.
Ø Dilakukan
pemeriksaan ulang oleh orang berbeda.
Ø Pemeriksaan
meliputi kelengkapan permintaan, ketepatan etiket, aturan pakai, pemeriksaan
kesesuaian resep terhadap obat, kesesuaian resep terhadap isi etiket.
6. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
Edukasi dan konseling kepada pasien
harus diberikan mengenai hal-hal yang penting tentang obat dan pengobatannya.
Hal-hal yang harus diinformasikan dan didiskusikan pada pasien adalah :
Ø Pemahaman
yang jelas mengenai indikasi penggunaan dan bagaimana menggunakan obat dengan
benar, harapan setelah menggunakan obat, lama pengobatan, kapan harus kembali
ke dokter
Ø Peringatan
yang berkaitan dengan proses pengobatan
Ø Kejadian
Tidak Diharapkan (KTD) yang potensial, interaksi obat dengan obat lain dan
makanan harus dijelaskan kepada pasien
Ø Reaksi
obat yang tidak diinginkan (Adverse Drug Reaction – ADR) yang
mengakibatkan cedera pasien, pasien harus mendapat edukasi mengenai bagaimana
cara mengatasi kemungkinan terjadinya ADR tersebut
Ø Penyimpanan
dan penanganan obat di rumah termasuk mengenali obat yang sudah rusak atau
kadaluarsa. Ketika melakukan konseling kepada pasien, apoteker mempunyai
kesempatan untuk menemukan potensi kesalahan yang mungkin terlewatkan pada
proses sebelumnya.
7. Penggunaan Obat
Apoteker harus berperan dalam proses
penggunaan obat oleh pasien rawat inap di rumah sakit dan sarana pelayanaan
kesehatan lainnya, bekerja sama dengan petugas kesehatan lain. Hal yang perlu
diperhatikan adalah :
Ø Tepat
pasien
Ø Tepat
indikasi
Ø Tepat
waktu pemberian
Ø Tepat
obat
Ø Tepat
dosis
Ø Tepat
label obat (aturan pakai)
Ø Tepat
rute pemberian
8. Monitoring dan Evaluasi
Apoteker harus melakukan monitoring
dan evaluasi untuk mengetahui efek terapi, mewaspadai efek samping obat,
memastikan kepatuhan pasien. Hasil monitoring dan evaluasi didokumentasikan dan
ditindaklanjuti dengan melakukan perbaikan dan mencegah pengulangan kesalahan.
Seluruh personal yang ada di tempat
pelayanan kefarmasian harus terlibat didalam program keselamatan pasien
khususnya medication safety dan harus secara terus menerus
mengidentifikasi masalah dan mengimplementasikan strategi untuk meningkatkan
keselamatan pasien.
Faktor-faktor lain yang berkonstribusi pada medication
error antara lain :
1. Komunikasi (mis-komunikasi, kegagalan dalam berkomunikasi )
Komunikasi baik antar apoteker
maupun dengan petugas kesehatan lainnya perlu dilakukan dengan jelas untuk
menghindari penafsiran ganda atau ketidak lengkapan informasi dengan berbicara
perlahan dan jelas. Perlu dibuat daftar singkatan dan penulisan dosis yang
berisiko menimbulkan kesalahan untuk diwaspadai.
2. Kondisi lingkungan
Untuk menghindari kesalahan yang
berkaitan dengan kondisi lingkungan, area dispensing harus didesain dengan
tepat dan sesuai dengan alur kerja, untuk menurunkan kelelahan dengan
pencahayaan yang cukup dan temperatur yang nyaman. Selain itu area kerja harus
bersih dan teratur untuk mencegah terjadinya kesalahan. Obat untuk setiap
pasien perlu disiapkan dalam nampan terpisah.
3. Gangguan/interupsi pada saat bekerja
Gangguan/interupsi harus seminimum
mungkin dengan mengurangi interupsi baik langsung maupun melalui telepon.
4. Beban kerja
Rasio antara beban kerja dan SDM
yang cukup penting untuk mengurangi stres dan beban kerja berlebihan sehingga
dapat menurunkan kesalahan.
5. Meskipun edukasi staf merupakan cara yang tidak cukup kuat
dalam menurunkan insiden/kesalahan, tetapi mereka dapat memainkan peran penting
ketika dilibatkan dalam sistem menurunkan insiden/kesalahan.
Pengelolaan
Kesalahan Obat
Kesalahan obat dapat berkisar dari
resiko minimal sampai ke resiko yang mengancam kehidupan pasien. Kesalahan ini
diakibatkan oleh kesalahan karena melaksanakan suatu tindakan (commission)
atau kesalahan karena tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission).
Penggolongan kesalahan obat
memungkinkan pengelolaan tindak lanjut yang lebih baik terhadap pendeteksian
kesalahan obat. Penetapan penyebab kesalahan obat harus digabung dengan
pengkajian dari keparahan kesalahan. Korelasi antara kesalahan dan metode
distribusi obat harus dikaji (misal, dosis unit, persediaan di ruang, atau obat
ruah; pracampuran dan sediaan oral atau injeksi). Proses ini akan membantu
mengidentifikasi masalah sistem dan merangsang perubahan untuk meminimalkan
terjadinya kesalahan kembali.
Berbagai metode pendekatan
organisasi untuk menurunkan kesalahan pengobatan, antara lain:
Ø Memaksa
fungsi dan batasan (forcing function & constraints)
Ø Otomatisasi
dan computer (automation & computer)
Ø Standar
dan protokol
Ø Sistem
daftar tilik dan cek ulang (check list & double check system)
Ø Aturan
dan kebijakan (rules & policy)
Ø Pendidikan
dan informasi, serta (education & information)
Ø Lebih
cermat dan waspada.
Apoteker berada dalam posisi
srategis untuk meminimalkan medication error, baik dilihat dari
keterkaitan dengan tenaga kesehatan lain maupun dalam proses pengobatan. Untuk
itu, beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meminimalkan terjadinya kesalahan
pengobatan, antara lain:
Ø Menciptakan
budaya safety (aman)
Ø Mengembangkan
program-program untuk keamanan pasien
Ø Membiasakan
mencatat dan mengkomunikasikan setiap kejadian yang berpotensi untuk error.
Tindakan berikut direkomendasikan
untuk pendeteksian kesalahan, antara lain :
a) Setiap terapi perbaikan dan terapi pendukung yang perlu
harus diberikan kepada pasien.
b) Untuk kesalahan yang signifikan secara klinik, pemberitahuan
secara lisan segera disampaikan pada dokter, perawat, dan kepala IFRS. Suatu
laporan kesalahan obat tertulis harus segera menyusul.
c) Untuk kesalahan yang signifikan secara klinik, pengumpulan
fakta dan investigasi harus dimulai dengan segera.
d) Laporan
kesalahan yang signifikan secara klinik dan kegiatan perbaikan beraitan harus
dikaji oleh pengawas, kepala bagian SMF yang terlibat, administrator rumah
sakit yang sesuai, komite keselamatan rumah sakit dan penasehat hukum.
e) Apabila diperlukan, pengawas dan anggota staf yang terlibat
dalam kesalahan, harus membicarakan tentang bagaimana kesalahan terjadi dan
bagaimana terjadinya kembali dapat dicegah.
f) Informasi yang diperoleh dari laporan kesalahan obat dan
sarana lain yang menunjukkan kegagalan berkelanjutan, harus berlaku sebagai
suatu manajemen yang efektif dan alat edukasi dalam pengembangan staf.
g) Pengawas, pimpinan bagian/departemen dan berbagai komite
yang sesuai, harus mengkaji laporan kesalahan dan menetapkan penyebab dari
kesalahan serta mengembangkan tindakan untuk mencegah terjadinya kembali.
h) Kesalahan obat harus dilaporkan kepada program pemantauan
rumah sakit agar pengalaman dari apoteker, perawat, dokter dan pasien, serta
untuk mengembangkan pelayanan edukasi yang bernilai, untuk pencegahan kesalahan
yang akan datang.
Demikian esai saya kali ini
Semoga bermanfaat
(dari berbagai sumber)
bila identitas hanya nama kemungkinan kesalahan akan semakin mungkin, tetapi bila identitas pasien lebih dari satu maka kemungkinan kesalahan akan semakin berkurang dan pasien akan semakin aman dan terlindungi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar