Nyeri atau Rasa sakit ( bagian 2)
Teori Sejarah
Sebelum
adanya penemuan apa itu neuron dan peran mereka ( neuron ) dalam memberikan rasa
sakit nyeri, berbagai fungsi dan pengkuran pada tubuh yang berbeda diusulkan
untuk memperhitungkan rasa sakit nyeri. Ada beberapa teori nyeri pada era awal
yang bersaing pengaruh teori di antara orang-orang pada zaman Yunani kuno : Hippocrates
percaya bahwa rasa sakit nyeri ini disebabkan oleh ketidakseimbangan cairan
vital pada individu. kemudian pada abad ke-11, seorang ilmuwan bernama Avicenna
berteori bahwa ada beberapa perasaan yang kemudian mempengaruhi pada indra individu
termasuk sentuhan, benturan, nyeri, dan sensasi.
Kemudian
pada era abad 17an tepatnya pada tahun 1644, Rene Descrates menyempurnakan
teori Avicenna, dia berteori bahwa rasa sakit adalah gangguan yang diturunkan
sepanjang serabut saraf sampai gangguan tersebut sampai ke otak, dan pada saat
itu sudah berkembang teori neuron atau syaraf, sebuah perkembangan yang
mengubah persepsi rasa sakit nyeri dari pengalaman spiritual, magic dan mistik
ke sensasi mekanis dan fisik. Karya Descartes, bersama dengan Avicenna's, mendasari
dan menandai perkembangan teori spesifisitas abad ke-19. Teori kekhususan
melihat rasa sakit nyeri sebagai "sensasi khusus, dengan alat sensoriknya
sendiri yang tidak bergantung pada sentuhan dan panca indra lainnya".
Teori lain yang menjadi terkenal pada abad ke 18 dan 19 adalah teori intensif,
yang mengandung rasa sakit nyeri bukan hanya sebagai hasil dari syaraf sensoris
yang unik saja, namun juga keadaan emosional yang dihasilkan oleh rangsangan
yang lebih kuat daripada saat normal seperti cahaya, tekanan atau suhu yang
kuat.
Pada
pertengahan tahun 1890an, teori
spesifisitas sebagian besar didukung oleh ahli fisiologi dokter-dokter
medis, dokter umum saat itu, dan teori
intensif sebagian besar didukung oleh psikolog. Namun, setelah
serangkaian pengamatan klinis oleh seorang ilmuwan bernama Henry Head dan
eksperimen oleh seorang ilmuwan Max Von Frey, para psikolog bermigrasi dan
mendukung ke teori spesifisitas hampir secara massal, dan pada akhir abad ini,
sebagian besar buku teks tentang fisiologi dan psikologi menunjukkan
spesifisitas nyeri sebagai fakta, dan bukan lagi sekedar perasaan atau hasil
dari suatu perasaan.
Pada
tahun 1955, DC Sinclair dan G Weddell mengembangkan teori pola perifer ( syaraf
), berdasarkan teori atau saran oleh John Paul Nafe pada tahun 1934. Mereka
mengusulkan agar semua ujung serat kulit (kecuali sel-sel rambut sekalipun masuk
ke otak) yang identik, maka menimbulkan rasa sakit, nyeri itu dihasilkan oleh
stimulasi yang terus menerus oleh serat-serat tersebut. Teori abad ke-20
lainnya adalah teori ‘Door Control”, yang diperkenalkan oleh Ronald Melzack dan
Patrick Wall dalam artikel Science tahun 1965 dengan Tajuk "Mekanisme Rasa
Sakit atau Nyeri : Sebuah Teori Baru". Penulis mengusulkan agar serabut
saraf tipis (nyeri) dan diameter besar (sentuhan, tekanan, getaran) membawa
informasi dari lokasi cedera atau luka pada dua tujuan di ujung “dorsal” sumsum
tulang belakang, dan bahwa aktivitas serat saraf relatif sangat besar terhadap
aktivitas serat tipis pada sel penghambat, sehingga semakin sedikit rasa sakit
yang dirasakan.
Tiga Manifestasi Rasa Sakit atau Nyeri
Pada
tahun 1968 Ronald Melzack dan Kenneth Casey menggambarkan rasa sakit dalam tiga
dimensi gambaran yaitu :
1. "sensorik-diskriminatif"
(rasa intensitas, lokasi, kualitas dan durasi rasa sakit),
2. "afektif-motivasi"
(tidak menyenangkan dan mendesak untuk melepaskan diri dari ketidaknyamanan ),
3. "kognitif-evaluatif"
(kognisi seperti penilaian, nilai budaya, gangguan dan saran hipnosis).
Mereka
berteori bahwa intensitas nyeri (dimensi diskriminatif sensorik) dan
ketidaknyamanan (dimensi afektif-motivasi) tidak hanya ditentukan oleh besarnya
stimulus yang menyakitkan saja, namun aktivitas kognitif yang "lebih
tinggi" dapat mempengaruhi intensitas dan ketidaknyamanan yang dirasakan
indovidu. “Aktivitas kognitif "dapat mempengaruhi pengalaman sensorik dan
afektif atau mereka mungkin memodifikasi dimensi afektif-motivasi. Oleh karena
itu, perasaan kegembiraan dalam permainan atau perasaan tekanan pada saat
terjadi perang tampaknya menghalangi kedua dimensi rasa sakit ( senang dan
perasaan tertekan menghalangi rasa sakit muncul), sementara saran pemberian
plasebo dapat memodulasi dimensi motivasi afektif dan meninggalkan dimensi
sensorik-diskriminatif relatif tidak terganggu.
"Nyeri
dapat diobati tidak hanya dengan mencoba mengurangi masukan pada sensorik
dengan cara memblok dengan anestesi, obat-obatan, intervensi bedah dan atau sejenisnya,
tetapi juga dengan mempengaruhi faktor-faktor afektif dan kognitif
motivasional.
Teori Yang Berkembang Masa Kini
Teori
"intensif" oleh Wilhelm Erb (1874), bahwa sinyal rasa sakit dapat
dihasilkan dengan stimulasi reseptor sensorik yang cukup kuat, telah dibantah.
Beberapa serat sensorik tidak membedakan antara rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya,
sementara yang lainnya nociceptors, hanya merespons rangsangan intensitas
tinggi yang berbahaya. Pada ujung perifer nociceptor rangsangan berbahaya
menghasilkan arus yang, di atas ambang batas yang diberikan, mengirim sinyal
sepanjang serat saraf ke sumsum tulang belakang. "Spesifisitas"
(apakah itu merespons fitur termal, kimia atau mekanis dari lingkungannya) dari
nociceptor ditentukan oleh saluran ion, yang mana diekspresikan pada ujung
perifernya. Puluhan jenis saluran ion nociceptor yang berbeda sejauh ini telah
diidentifikasi dan fungsi pastinya masih terus ditentukan.
Sinyal
nyeri bergerak dari pinggiran ke sumsum tulang belakang sepanjang serat yang
disebut deret serat A-delta atau C.
Karena serat A-delta lebih tebal dari serat C, dan dilapisi tipis dengan bahan
isolasi elektrik (Myelin), ia membawa sinyalnya lebih cepat (5-30 meter/detik)
daripada serat C yang tidak berisolasi elektrik (0,5-2 meter / detik). Rasa
sakit yang ditimbulkan oleh serat A-delta digambarkan sebagai tajam dan
dirasakan lebih dulu. Sakit diikuti oleh nyeri yang kuat, sering digambarkan
sebagai rasa terbakar, dibawa oleh serat C. Neuron "orde pertama" ini
memasuki sumsum tulang belakang melalui saluran lissauer.
Serat
A-delta dan C ini terhubung dengan serat saraf yang disebut "urutan
kedua" di susunan mirip gelatin dari sumsung tulang belakang (laminae II
dan III di ujung dorsal). Serabut orde kedua kemudian melewati tali pusat
melalui komisura putih anterior dan naik di spinothalmic canal. Sebelum
mencapai otak, saluran spinothalamic terbagi menjadi saluran lateral,
neospinothalmic, neospinothalmic medial dan paleospinothalamic tract.
Neuron-neuron
saluran neospinothalamic orde kedua membawa informasi dari serat A-delta dan
berhenti di inti posterolateral ventral thalamus, di mana mereka terhubung
dengan neuron orde ketiga dari korteks somatosensori. Neuron paleospinothalamic
membawa informasi dari serat C dan mengakhiri seluruhnya di batang otak,
sepersepuluh dari mereka di thalamus dan sisanya di medulla, pons dan dan periaqueductal
brown.
Urutan
kedua, serat sumsum tulang belakang yang didedikasikan untuk membawa sinyal
nyeri serat A-delta, dan yang lainnya membawa kedua sinyal nyeri serat baik
serat A-delta maupun serat C ke talamus telah diidentifikasi. Serabut sumsum
tulang belakang lainnya, yang dikenal sebagai neuron rentang dinamis yang lebar,
merespons serat A-delta dan C, tetapi juga pada serat A-beta besar yang membawa
sinyal sentuh, tekanan dan getaran. Aktivitas yang berhubungan dengan rasa
sakit di thalamus menyebar ke kortreks insular (diduga mencakup, antara lain,
perasaan yang membedakan rasa sakit dari emosi homeostatik lainnya seperti
gatal dan mual) dan korteks anterior cingulate (diduga mencakup, antara lain
Hal, unsur afektif / motivasional, ketidaknyamanan rasa sakit). Rasa sakit yang
terletak jelas juga mengaktifkan korteks somatosensori primer dan sekunder.
Peran Evolusioner dan Perilaku
Rasa
sakit atau rasa nyeri “PAIN” adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh,
menghasilkan daya tolak “retraksi” seketika, refleksif dari stimulus yang menimbulkan
rasa sakit atau menyakitkan, dan kecenderungan individu “tubuh” untuk
melindungi bagian individu “tubuh” yang terkena dampak saat terjadi proses
penyembuhan, serta membuat memory untuk menghindari situasi berbahaya di masa
depan. Ini adalah bagian penting dari kehidupan individu manusia termasuk hewan,
penting untuk kelangsungan hidup sehat secara mandiri. Seseorang tanpa
mempunyai rasa sakit atau nyeri atau mungkin dengan ketidakpekaan bawaan
terhadap rasa sakit atau nyeri “PAIN” telah mengurangi harapan hidup dirinya
sendiri.
Seorang
ilmuwan Richard Dawkins, dalam bukunya The
Greats Show on Earth : Sebuah Bukti Evoluasi, bergumam dengan pertanyaan
mengapa rasa sakit harus sangat menyakitkan. Dia menggambarkan sakit nyeri sebagai
pembangunan mental yang sederhana, disini dia gambarkan dengan "bendera
merah", untuk membantah mengapa bendera merah itu tidak mencukupi sebagai
gambaran rasa sakit nyeri, Dawkins menjelaskan bahwa dorongan harus bersaing
satu sama lain dalam makhluk hidup ( manusia atau hewan ) maka makhluk paling sehat
dan bugar akan menjadi orang yang mempunyai kepekaan rasa sakit atau nyeri yang
seimbang. Sedangkan rasa sakit atau nyeri yang hebat atau berarti “kematian” akan
sangat diabaikan oleh individu yang paling kuat menahan rasa sakit atau nyeri.
Intensitas nyeri yang relatif mungkin sama dengan risiko yang terjadi pada jaman
dulu atau nenek moyang kita, dimana rasa sakit atau nyeri seperti kekurangan
makanan, terlalu banyak demam, atau cedera serius dirasakan sebagai
penderitaan, sementara luka ringan goresan ringan yang dirasakan sebagai
ketidaknyamanan yang tidak berarti dan diabaikan). Gambaran kemiripan ini mungkin
tidak sempurna, bagaimanapun juga ini terjadi karena seleksi alam yang bisa
menjadi perancang yang baik ataupun sebaliknya. Hasilnya pada hewan penelitian sering
terjadi gangguan pada hewan penelitian tersebut, termasuk rangsangan diluar
batas normal. Hal semacam itu membantu menjelaskan rasa sakit yang tidak
(setidaknya tidak) lagi langsung adaptif menerpa individu yang langsung berubah
tahan terhadap rasa sakit nyeri.
Nyeri
idiopatik atau rasa sakit atau rasa nyeri yang menetap setelah trauma atau
patologi telah sembuh, atau yang timbul tanpa penyebab yang jelas, mungkin
merupakan pengecualian terhadap pendapat yang mengatakan bahwa rasa sakit
sangat membantu mahluk hidup untuk bertahan hidup, walaupun beberapa psikolog
berpendapat bahwa rasa sakit tersebut bersifat psikogenik.
Nilai Ambang Batas
Dalam
ilmu rasa sakit nyeri, ambang batas dinilai atau diukur dengan secara bertahap,
dengan semakin meningkatnya intensitas stimulus seperti arus listrik atau panas
yang diterapkan ke tubuh. Ambang persepsi rasa nyeri adalah suatu titik di mana
rangsangan simulus mulai terasa menyebabkan rasa sakit
atau nyeri, dan ambang batas toleransi rasa nyeri tercapai saat subjek atau
individu bertindak untuk menghentikan rasa sakit nyeri tersebut.
Perbedaan
persepsi rasa nyeri dan ambang toleransi dikaitkan antara lain dengan faktor,
etnisitas, genetika, dan jenis kelamin. Orang-orang dari Mediterania melaporkan
bahwa rasa nyeri sebagai rasa yang menyakitkan, sedangkan beberapa intensitas
panas, sakit atau nyeri untuk orang-orang Eropa utara digambarkan atau menggambarkannya
sebagai “tidak peduli”, dan wanita Italia sedikit lebih tahan denan sengatan
listrik yang kurang kuat dibandingkan wanita Yahudi atau Amerika.
Beberapa
individu di latar belakangi suatu budaya dan dipengaruhi lingkungan, secara
signifikan menunjukkan kepekaan lebih tinggi daripada persepsi nyeri normal dan
ambang batas toleransi. Misalnya, pasien yang mengalami serangan jantung tanpa
rasa sakit nyeri, ternyata memiliki ambang nyeri yang lebih tinggi untuk
kejutan listrik, kram otot dan panas.
Penilaian Rasa Sakit atau Nyeri
Penilaian
nyeri pada diri seseorang adalah ukuran rasa sakit nyeri yang paling dapat
diandalkan. Beberapa profesional perawatan kesehatan dan tenaga medis lain
dahulu, mungkin meremehkan tingkat keparahan nyeri, berbeda dengan sekarang
yang sangat memperdulikan rasa nyeri yang dialalmi oleh pasien. Definisi rasa
sakit yang banyak digunakan dalam dunia kesehatan dan keperawatan, menekankan
sifat subjektif dan pentingnya laporan penilaian diri pasien yang saat ini
sangat dipercaya, penilaian nyeri ini diperkenalkan oleh Margo McCaffery pada
tahun 1968 : "Rasa sakit nyeri adalah apa pun yang dialami dan dirasakan orang
tersebut, dan kapan pun dia mengatakannya". untuk menilai intensitas rasa
nyeri tersebut, pasien mungkin diminta untuk menemukan dan menilai diri rasa
sakit yang mereka alami pada skala 0 sampai 10, dengan 0 sama sekali tidak
sakit, dan 10 adalah rasa sakit yang terburuk yang pernah mereka atau pasien rasakan.
Kualitas rasa nyeri dapat ditetapkan dengan menyuruh pasien melengkapi kuesioner
nyeri McGill yang menunjukkan kata-kata yang paling menggambarkan rasa sakit
mereka.
Perasaan Rasa Sakit Multidimensi
Multidimensional
Pain Inventory (MPI) adalah kuesioner yang dirancang untuk menilai keadaan psikososial
seseorang dengan rasa nyeri kronis. Analisis hasil dari MPI oleh Turk dan Rudy tahun 1988 merumuskan tiga kelas pasien nyeri
kronis yaitu :
(a)
disfungsional : orang-orang yang merasakan tingkat keparahan rasa sakit mereka sangat
tinggi, dilaporkan bahwa rasa sakit yang dia rasakan sangat mengganggu sebagian
besar hidup mereka, dilaporkan juga bahwa, yang lebih tinggi tingkat tekanan
psikologis yang disebabkan oleh rasa sakit nyeri tingkat aktivitas rendah;
(b)
terganggu secara interpersonal : orang dengan persepsi umum bahwa orang lain
yang berada disekitar atau yang mengenalnya tidak begitu mendukung atau peduli
dengan masalah rasa sakit nyeri mereka
(c)
mesin adaptif : pasien yang melaporkan diri yang tingkat dukungan socialnya
tinggi, tingkat rasa sakit nyeri yang dapat ditahan relatif rendah, gangguan
yang dirasakan mengganggu tingkat aktivitas yang relatif tinggi.
Orang Dengan Gangguan Verbal
Bila
seseorang tidak dapat secara lisan menyampaikan rasa sakit nyerinya dan tidak
dapat melaporkan sendiri rasa sakit nyerinya, maka pengamatan untuk pasien atau
orang tersebut menjadi sangat kritis, dan hanya perilaku yang spesifik saja
yang dapat dipantau sebagai indikator rasa sakit nyeri. Perilaku yang
digambarkan seperti meringis, memejamkan mata dan raut wajah menunjukkan rasa
sakit, serta adanya peningkatan atau penurunan vokalisasi ( menjerit, menangis,
atau berteriak), perubahan pola perilaku rutin dan perubahan status mental.
Pasien
yang mengalami rasa nyeri mungkin menunjukkan perilaku social yang diluar
kepribadiannya atau diluar kebiasaannya dan mungkin juga ada yang mengalami penurunan
nafsu makan dan tidur hingga terjadi penurunan asupan gizi. Perubahan kondisi
yang menyimpang dari awal seperti mengerang dengan gerakan atau saat
memanipulasi bagian tubuh dengan rentang gerak yang terbatas juga merupakan
indikator rasa sakit yang potensial.
Pada
pasien yang memiliki bahasa namun tidak dapat mengekspresikan dirinya secara
efektif, seperti pada penderita demensia, peningkatan kebingungan pada pasien atau
tampilan sifat perilaku agresif atau sebaliknya yaitu agitasi mungkin
mengindikasikan adanya ketidaknyamanan yang ada pada penderita, dan penilaian tidak
sekedar scoring 0 sampai 10, akan tetapi butuh pemeriksaan lebih lanjut.
Pada
bayi atau balita, pada saat mereka merasakan sakit nyeri mereka tidak memiliki
bahasa yang dapat disampaikan kepada seseorang, ini diperlukan orang lain untuk
melaporkannya (orang tua, baby sister, dsb) jadi orang-orang terdeklatlah yang
mengkomunikasikan kesusahan sibayi, atau bila tidak ada maka perlu ketrampilan
dengan mendengar dari cara bayi menangis. Penilaian nyeri non-verbal seperti
ini harus dilakukan dengan melibatkan orang tua dari si bayi, yang akan
memperhatikan perubahan pada bayi setiap saat yang mungkin tidak diketahui oleh
penyedia layanan kesehatan ataupun tenaga kesehatan lain. Bayi pasca lahir lebih
sensitif terhadap rangsangan yang menyakitkan daripada bayi dengan usia yang
lebih dari cukup.
Hambatan Lain Untuk Melaporkan
Pengalaman
nyeri memiliki banyak dimensi budaya. Misalnya, cara seseorang mengalami dan
merespons rasa sakit terkait dengan karakteristik sosiokultural, seperti
gender, etnisitas, dan usia. Orang dewasa yang semakin menua mungkin tidak
menanggapi rasa sakit nyeri seperti orang yang lebih muda atau usia kanak-kanak.
Kemampuan orang-orang yang sudah dewasa, tua atau lanjut usia untuk mengenali
rasa sakit mungkin mengalami ketumpulan atau tidak lagi dihiraukan lagi akibat
dari banyaknya penyakit atau justru banyaknya penggunaan beberapa obat atau
beberapa resep obat.
Depresi
juga bisa membuat orang dewasa atau tua melaporkan diri bahwa mereka kesakitan.
Orang tua atau lanjut usia mungkin juga memilih berhenti melakukan aktivitas
yang sangat mereka cintai atau sudah menjadi hobby, karena sangat menyakitkan.
Penurunan aktivitas maupun perawatan diri yang muali berkurang (dressing,
grooming, walking, etc.) juga bisa menjadi indikator bahwa orang yang semakin tua
mengalami rasa sakit atau nyeri. Orang dewasa yang semakin tua mungkin lebih menahan
diri untuk tidak melaporkan rasa sakit karena mereka takut harus menjalani serangkaian
operasi atau pemeriksanaan atau harus memakai obat yang mungkin akan
menyebabkan mereka menjadi kecanduan. Mereka mungkin juga tidak ingin orang
lain melihat mereka sebagai orang yang lemah, atau mungkin merasa ada sesuatu
yang tidak sopan atau justru memalukan andaikata mereka mengeluhkan rasa sakit
atau nyeri mereka atau justru ada pikiran bahwa rasa sakit itu pantas diberikan
kepada mereka sebagai hukuman karena pelanggaran masa lalu mereka.
Hambatan
budaya juga bisa mencegah seseorang yang mengalami rasa sakit nyeri untuk
mengatakan kepada orang lainnya bahwa mereka sedang dalam kesakitan. Sebaliknya
ada keyakinan suatu agama dapat mencegah individu untuk mencari pertolongan
karena mereka mungkin merasa perlakuan sakit tertentu bertentangan dengan agama
mereka. Sehingga mereka mungkin tidak melaporkan rasa sakit karena mereka
merasa itu adalah tanda bahwa hukuman atau justru “kematian” sudah semakin dekat.
Banyak orang takut akan stigma kecanduan obat-obatan dan menghindari perawatan
nyeri agar tidak diresepkan obat-obatan yang justru berpotensi semakin menusuk
pada saat tidak ada obat-obatan tersebut. Banyak orang Asia tidak ingin
kehilangan rasa hormat di masyarakat dengan mengakui bahwa mereka kesakitan dan
membutuhkan pertolongan sehingga mereka lebih merasa terhormat dengan memendam
rasa sakit itu, mereka percaya bahwa rasa sakit nyeri itu harus ditanggung sendiri
dalam diam, sementara budaya dibelahan lain merasa mereka harus segera
melaporkan rasa sakit nyeri tersebut sehingga segera merasa lega dan nyaman.
Jenis kelamin juga bisa menjadi faktor dalam hal melaporkan rasa sakit nyeri
ini. Perbedaan seksual ini bisa jadi akibat dari harapan sosial dan budaya,
dengan wanita atau pasangan yang diharapkan emosional dengan menunjukkan rasa
sakit nyeri dan pria bertubuh tegap, dan pria itu juga merasa menjaga rasa
sakit itu hanya untuk diri mereka sendiri dan bukan untuk dipamerkan kepada
wanita.
Bantuan Untuk Diagnosis
Rasa
nyeri adalah salah satu gejala yang umum dari banyak kondisi medis yang terjadi
pada pasien. Dengan mengetahui waktu mulai atau kapan dirasakan nyeri, lokasi
nyeri, intensitas atau kuatnya rasa nyeri, pola kejadian nyeri (berulang yang
sering, kadang-kadang, dsb.), ternyata dapat untuk memperkirakan akan semakin memperburuk
ataukah tidak suatu penyakit pada pasien. Rasa sakit atau nyeri ini akan banyak
membantu dokter atau tenaga kesehatan dalam pemeriksaan, dokter butuh rangsang
atau pengakuan rasa sakit untuk mendiagnosis masalah penyakit dengan akurat.
Sebagai contoh misalnya nyeri pada dada yang digambarkan sebagai sakit yang
sangat hebat, yang sangat ekstrem dirasakan pasien, dari sini dokter dapat mengindikasikan
adanya kemungkinan infark miokard, sementara nyeri dada yang digambarkan
sebagai sakit seperti tertekan, kemungkinan dapat mengindikasikan adanya
penyumbatan atau penyempitan aorta.
Pemindaian otak dengan MRI telah digunakan untuk mencari sumber rasa sakit
nyeri serta dimungkinkan untuk mengukur rasa sakit nyeri dikepala, dengan hasil
gambaran MRI dimungkinkan dapat memberikan korelasi yang baik dengan rasa sakit
nyeri yang dilaporkan sendiri oleh pasien.
Adaptasi Hedonic
Adaptasi
hedonic adalah keadaan dimana seseorang atau pasien yang sudah mengalami
penderitaan rasa sakit nyeri dalam waktu yang sangat panjang, yang sebenarnya
karena penyakit fisik seringkali menjadi jauh lebih rendah dari perkiraan yang
sebenarnya kemungkinan sangat hebat, contoh misalnya pasien dengan patah tulang
yang kadang timbul rasa nyeri, akan tetapi karena sang pasien sering merasa
seperti itu maka lama kelamaan dianggap biasa dan tidak dirasa, secara tidak
langsung pasien sudah beradaptasi dengan rasa nyerinya.