PEDOMAN VISITE
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
izin dan karuniaNya akhirnya Pedoman Visite bagi Apoteker dapat diselesaikan.
Tujuan penyusunan Pedoman ini adalah sebagai acuan bagi apoteker
dalam melaksanakan kegiatan visite sebagai implementasi dari perluasan
paradigma pelayanan kefarmasian yang berfokus pada obat (Drug Oriented)
bertambah fokusnya kepada pasien (Patient Oriented) yang mengharuskan
terciptanya pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical Care) komprehensif
yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pedoman ini disusun atas kerja sama berbagai pihak meliputi
akademisi, praktisi dan Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian sehingga
diharapkan pedoman ini dapat diaplikasikan dalam pelayanan kefarmasian di
fasilitas kesehatan. Dalam kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para Nara sumber atas
kontribusinya, semoga kerja sama yang baik ini dapat terus ditingkatkan di masa
yang akan datang.
Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian
Dra. Engko Sosialine M,
Apt
NIP. 19610119 198803 2001
KEMENTERIAN KESEHATAN R.I
DIREKTORAT JENDERAL
BINA KEFARMASIAN DAN ALAT
KESEHATAN
Jalan H.R. Rasuna Said Blok X5 Kavling 4 - 9 Jakarta 12950
Telepon : (021) 5201590 Pesawat 2029, 8011 Faksimile : (021)
52964838 Kotak Pos : 203
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL
BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
NOMOR : HK.03.05/III/570/11
Tentang
PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN PEDOMAN VISITE
Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan mutu dan memperluas
cakupan pelayanan kefarmasian di fasilitas kesehatan, perlu adanya Pedoman
Visite sebagai acuan bagi apoteker mengenai tata cara pelaksanaan visite;
b. bahwa dalam rangka penyusunan pedoman visite, perlu dibentuk
Tim Penyusun Pedoman Visite;
Mengingat : 1. Undang – undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
2. Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5072);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3781);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
5. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi
dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2007;
6. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas
dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi,Tugas dan Fungsi Eselon
I Kementerian Negara;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999
tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit;
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 tentang
Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit;
9. Peraturan Kesehatan Nomor 1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;
M E M U T U S K A N
MENETAPKAN : Keputusan Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Tentang Pembentukan Tim Penyusun Pedoman Visite
PERTAMA : Membentuk Tim Penyusun Pedoman Visite dengan susunan
sebagai berikut :
Pengarah : Dra. Sri Indrawaty, Apt, M.Kes
Penanggung
Jawab : Dra. Engko Sosialine M, Apt
Ketua : Dra. Fatimah Umar, Apt, MM
Sekretaris : Helsy Pahlemy, S.Si, Apt, M.Farm
Anggota : 1. Retnosari Andrajati, Apt, MS.Ph.D
2. Dra. Siti Farida, Apt, Sp.FRS
3. Dra. Nun Zairina, Apt, Sp.FRS
4. Dra. Yulia Trisna, Apt, M.Pharm
5. Dra. Sri Hartini, M.Si, Apt
6. Sri
Bintang Lestari, S.Si, Apt, M.Si
7. A.A. Ayu Pithadini, S.Si, Apt
8. Dra.
L. Endang Budiarti, Apt, M.Pharm
9. Fauna Herawati, S.Si, Apt, M. Farm-Klin
Sekretariat : 1. Candra Lesmana, S.Farm, Apt
2. Apriandi, S.Farm, Apt
3. Shinta Rizki Mandarini, AMF
KEDUA : Tim bertugas menyusun Pedoman Visite
KETIGA : Dalam melakukan tugasnya Tim bertanggung jawab kepada
Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
KEEMPAT : Dana berasal dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
(DIPA) Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian tahun 2011.
KELIMA : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan
akan ditinjau kembali apabila ada kesalahan atau kekeliruan.
Ditetapkan di : JAKARTA
Pada tanggal : 11 Maret 2011
Direktur Jenderal
Dra. Sri Indrawaty, Apt, M.Kes
NIP. 19530621 198012 2001
SAMBUTAN
DIREKTUR JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
Pelayanan kefarmasian
sebagai bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan diharapkan dapat
memaksimalkan efek terapi, meminimalkan resiko pengobatan, meminimumkan biaya
pengobatan dan menghormati pilihan pasien, yang merupakan bagian dari prinsip
peresepan yang baik. Pelayanan ini meliputi pelayanan farmasi klinik oleh
apoteker di rumah sakit, yang ditujukan untuk memastikan bahwa pasien
mendapatkan pengobatan yang rasional, yaitu: efektif, aman dan dengan biaya
terjangkau.
Apoteker mempunyai
kewajiban memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam menjamin
dan/atau menetapkan sediaan farmasi, memberikan pelayanan kefarmasian yang baik
serta mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan pelayanan
kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan peran tersebut,
apoteker memerlukan peningkatan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang sesuai
secara berkesinambungan sejalan dengan perkembangan terkini.
Pelaksanaan pelayanan
kefarmasian pada pasien salah satunya berupa praktik apoteker ruang rawat
melalui kegiatan visite. Pedoman ini disusun untuk digunakan oleh Apoteker
dalam melaksanakan pelayanan visite di Rumah Sakit. Dengan adanya pedoman ini,
diharapkan dapat menjadi acuan bagi apoteker dalam melaksanakan kegiatan visite
sehingga dapat meningkatkan kualitas hasil terapi dan keselamatan pasien. Saya
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut berkontribusi dalam
penyusunan pedoman visite ini. Saya berharap, dengan diterbitkannya pedoman ini
dapat memberi manfaat bagi pelaksanaan pelayanan visite oleh Apoteker di
Indonesia.
Jakarta, April 2011
Direktur Jenderal
Bina Kefarmasian Dan Alat
Kesehatan
Dra. Sri Indrawaty, Apt, M.Kes
NIP 19530621 1980122001
DAFTAR SINGKATAN
BB : Berat Badan
TB : Tinggi Badan
USG : Ultra sonografi
CT Scan : Computed axial tomography scan
DOA : Daftar Obat Askes
DPHO : Daftar Plafon Harga Obat
BNF : British National Formulary
DIH : Drug Information Handbook
AHFS : American Hospital Formulary Service
SOAP : Subject-Object Assesment Plan
RBC : Red blood cell
WBC : White blood cell
ESO : Efek samping obat
ADR : Adverse drug reaction
DM : Diabetes Mellitus
ROTD : Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan
obat sebagai komoditi telah berkembang orientasinya pada pelayanan kepada
pasien (pharmaceutical care). Apoteker di rumah sakit diharapkan
memberikan pelayanan kefarmasian kepada pasien, yang memastikan bahwa
pengobatan yang diberikan pada setiap individu pasien adalah pengobatan yang
rasional. Selain mampu menjamin keamanan, khasiat dan mutu obat agar mampu
memberikan manfaat bagi kesehatan dan berbasis bukti (evidence based
medicines), pelayanan kefarmasian juga diharapkan mampu mengidentifikasi,
menyelesaikan dan mencegah masalah terkait pengunaan obat yang aktual dan
potensial.
Kegiatan pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien
adalah praktik apoteker ruang rawat (ward pharmacist) dengan visite
sebagai salah satu aktivitasnya. Visite apoteker adalah kunjungan rutin yang
dilakukan apoteker kepada pasien di ruang rawat dalam rangka mencapai hasil
terapi (clinical outcome) yang lebih baik. Aktivitas visite dapat
dilakukan secara mandiri atau kolaborasi secara aktif dengan tim dokter dan
profesi kesehatan lainnya dalam proses penetapan keputusan terkait terapi obat
pasien.
Beberapa penelitian menunjukkan dampak positif dari pelaksanaan
kegiatan visite pada aspek humanistik (contoh: peningkatan kualitas hidup
pasien, kepuasan pasien), aspek klinik (contoh: perbaikan tanda-tanda klinik,
penurunan kejadian reaksi obat yang tidak diinginkan, penurunan morbiditas dan
mortalitas, penurunan lama hari rawat), serta aspek ekonomi (contoh: berkurangnya
biaya obat dan biaya pengobatan secara keseluruhan).
Dalam penelitian Klopotowska 2010 yang dilakukan di Belanda,
partisipasi apoteker dalam visite pada intensive care unit telah melakukan
659 rekomendasi dari 1173 peresepan dengan tingkat penerimaan dokter sebesar
74%. Peran Apoteker dalam ruang ICU mampu menurunkan kesalahan peresepan yang
bermakna (p<0,001), yaitu: 190,5 per 1000 hari-pasien menjadi 62,5 per 1000
hari-pasien. Dari sisi penghematan biaya pengobatan, pencegahan reaksi obat yang
tidak diinginkan menunjukkan penghematan biaya sebesar 26-40 Euro.
Sebagai konsekuensi perubahan orientasi pelayanan kefarmasian,
apoteker dituntut untuk terus meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan
perilaku agar dapat melaksanakan visite dengan baik. Saat ini, masih belum
tersusun secara sistematis tata cara pelaksanaan visite sebagai panduan bagi
apoteker yang akan melakukan visite. Oleh karena itu diperlukan pedoman bagi
apoteker dalam menjalankan praktik visite untuk meningkatkan hasil terapi (clinical
outcome) dan keselamatan pasien.
Pelaksanaan visite merupakan bagian dari implementasi standar
pelayanan farmasi di rumah sakit.
1.2 Tujuan
Pedoman visite apoteker di ruang rawat disusun sebagai panduan
bagi apoteker dalam melakukan visite.
1.3 Sasaran
Pedoman ini ditujukan bagi apoteker di fasilitas pelayanan
kesehatan.
1.4 Landasan Hukum
1. Undang-undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
2. Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
3. Peraturan Pemerintah
Republik No 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5044);
4. Kepmenkes No.
1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit;
5. Peraturan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No.Per/07/M.PAN/4/2008 Tentang Jabatan
Fungsional Apoteker dan Angka Kreditnya;
6. Peraturan Bersama
Menkes dan Ka.BAKN No. 1113/Menkes/PB/XII/2008 dan No.26/2008 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Jabatan Fungsional Apoteker dan Angka Kreditnya;
7. Keputusan Menteri
Kesehatan No.1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit;
8. Keputusan Menteri
Kesehatan No.377/Menkes/PER/V/2009 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional
Apoteker dan Angka Kreditnya;
9. Keputusan Menteri
Kesehatan No.1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kesehatan;
1.5 Ruang Lingkup
Visite yang dilakukan oleh apoteker berupa kunjungan apoteker ke
pasien di ruang rawat, meliputi: (i) identifikasi masalah terkait penggunaan
obat, (ii) rekomendasi penyelesaian/pencegahan masalah terkait penggunaan obat
dan/atau pemberian informasi obat, (iii) pemantauan implementasi rekomendasi
dan hasil terapi pasien.
Apoteker dalam praktik visite harus berkomunikasi secara efektif
dengan pasien/keluarga, dokter dan profesi kesehatan lain, serta terlibat aktif
dalam keputusan terapi obat untuk mencapai hasil terapi (clinical outcome)
yang optimal. Apoteker melakukan dokumentasi semua tindakan yang dilakukan
dalam praktik visite sebagai pertanggungjawaban profesi, sebagai bahan
pendidikan dan penelitian, serta perbaikan mutu praktik profesi.
BAB 2
PRAKTIK APOTEKER RUANG RAWAT
2.1 Pengertian, Peran dan
Fungsi
Praktik apoteker ruang rawat merupakan praktik apoteker langsung
kepada pasien di ruang rawat dalam rangka pencapaian hasil terapi obat yang
lebih baik dan meminimalkan kesalahan obat (medication errors). Apoteker
melakukan praktik di ruang rawat sesuai dengan kompetensi dan kemampuan farmasi
klinik yang dikuasai. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keberadaan apoteker
di ruang rawat mampu mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah terkait obat,
serta menurunkan medication errors.
Penelitian Kjeldby 2009 menunjukkan kontribusi positif apoteker
terhadap jaminan kualitas terapi obat di ruang rawat (7 dari 8 dokter dan
seluruh perawat mengakui hal tersebut). Apoteker mengidentifikasi 137 masalah
terkait obat dari 384 lembar pemberian obat; 73 (53%) masalah terkait obat
diantaranya memerlukan penanganan segera, yaitu: (i) 48 (41%) masalah terkait dosis,
(ii) 35 (30,4%) masalah terkait pemilihan obat, (iii) 32 (27,8%) masalah
terkait kebutuhan monitoring penggunaan obat.
Penelitian MartĆnez-LĆ³pez de Castro 2009 menunjukkan bahwa
penyiapan unit dose dispensing (UDD) untuk pasien rawat inap oleh apoteker
ruang rawat dan implementasi prosedur checking medication menurunkan
kejadian medication error di bangsal gynaecology-urology (3.24%
vs. 0.52%), orthopaedic (2% vs. 1.69%) and neurology-pneumology (2.81%
vs. 2.02%).
Peran dan fungsi apoteker ruang rawat secara umum adalah:
1. Mendorong efektifitas
dan keamanan pengobatan pasien
2. Melaksanakan dispensing
berdasarkan legalitas dan standar profesi
3. Membangun tim kerja
yang baik dengan menghormati kode etik masing-masing profesi dan asas confidential
4. Melaksanakan pendidikan
dan pelatihan dalam rangka pemenuhan kompetensi standar profesi
5. Terlibat secara aktif
dalam penelitian obat
2.2 Tujuan apoteker ruang
rawat
Pelaksanaan praktik apoteker ruang rawat bertujuan:
1. Pasien mendapatkan obat
sesuai rejimen (indikasi, bentuk sediaan, dosis, rute, frekuensi, waktu,
durasi)
2. Pasien mendapatkan
terapi obat secara efektif dengan risiko minimal (efek samping, medication
errors, biaya)
2.3 Tanggung Jawab dan
Tugas pokok
Tanggung jawab apoteker ruang rawat terutama terkait dengan:
1. Ketersediaan obat yang
berkualitas dan legal
2. Penyelesaian masalah
terkait obat
3. Dokumentasi terapi obat
(rekomendasi dan perubahan rejimen)
4. Pemeliharaan dan
peningkatan kompetensi tentang sediaan farmasi dan alat kesehatan (minimal
sesuai kebutuhan di ruang rawat tersebut)
5. Pelaksanaan pendidikan,
pelatihan dan penelitian
Tugas Pokok Apoteker ruang rawat meliputi beberapa berikut:
1. Penyelesaian masalah
terkait penggunaan obat pasien
a. Memastikan kebenaran
dan kelengkapan informasi terkait terapi obat dalam resep, rekam medis maupun
dalam dokumen/kertas kerja lain
b. Memastikan tidak ada
kesalahan peresepan melalui pengkajian resep (administratif, farmasetik,
klinis) bagi setiap pasien
c. Memberikan informasi,
penjelasan, konseling, saran tentang pemilihan bentuk sediaan (dosage form)
yang paling sesuai bagi setiap pasien
d. Memastikan ketepatan
indikasi penggunaan obat, yaitu: masalah terkait penggunaan obat dapat
diidentifikasi, diselesaikan, dan efektivitas maupun kondisi yang tidak
diinginkan dapat dipantau
e. Melakukan visite (ward
rounds) mandiri maupun kolaborasi dengan dokter atau profesi kesehatan
lain, melakukan penelusuran riwayat pengobatan dan terlibat dalam proses keputusan
terapi obat pasien
f. Melakukan diskusi
dengan dokter, perawat dan profesi kesehatan lain tentang terapi obat dalam
rangka pencapaian hasil terapi yang telah ditetapkan (definite clinical
outcome)
g. Melakukan komunikasi
dengan pasien/keluarga pasien (care giver) terkait obat yang digunakan
h. Memberikan informasi
obat yang diperlukan dokter, perawat, pasien/keluarga pasien (care giver)
atau profesi kesehatan lain
i. Melakukan monitoring
secara aktif, dokumentasi dan pelaporan efek samping obat dan sediaan farmasi,
termasuk alat kesehatan, kosmetik dan herbal.
j. Melakukan pengkajian
penggunaan obat secara aktif
2. Memastikan ketepatan
dispensing:
a. Memastikan
keberlangsungan rejimen obat terpenuhi bagi pasien di ruang rawat maupun pasien
pulang
b. Memastikan kebenaran
dalam penyiapan dan pemberian obat, yang meliputi: tepat pasien, tepat dosis,
tepat bentuk sediaan, tepat rute, tepat waktu pemberian obat, disertai dengan
kecukupan informasi (lisan dan tertulis)
c. Memastikan ketepatan
penyiapan obat yang potensial menyebabkan kondisi fatal (high alert
medication)
d. Memastikan ketepatan
rekonstitusi sediaan steril sesuai kaidah teknik aseptik dengan memperhatikan
kompatibilitas dan kelarutan untuk menjaga kestabilan
e. Memastikan ketepatan
teknik penggunaan, misalnya: penggunaan inhaler, semprot hidung, injeksi
insulin, injeksi enoxaparin
f. Memastikan ketersediaan
obat dan alat kesehatan emergensi agar selalu sesuai dengan stok yang
ditetapkan di ruang rawat bersama perawat dan dokter jaga (jika ada)
g. Memastikan ketepatan
penyimpanan obat sesuai dengan persyaratan farmasetik dan aspek legal
h. Memastikan proses
dispensing sediaan non steril di ruang rawat menggunakan peralatan sesuai
standar, meminimalkan kontaminan
i. Memastikan proses
dispensing sediaan steril memenuhi teknik aseptik dan keselamatan kerja sesuai
dengan persyaratan dan prosedur yang berlaku.
3. Pendidikan :
a. Partisipasi dalam
proses pendidikan mahasiswa farmasi, tenaga teknis kefarmasian maupun profesi
kesehatan lain
b. Partisipasi dalam
proses pelatihan apoteker, mahasiswa farmasi, tenaga teknis kefarmasian maupun
profesi kesehatan lain
c. Melakukan pendampingan
profesi kesehatan yang belum mampu dan belum berpengalaman dalam penyiapan obat
d. Partisipasi dalam
Pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional Development)
4. Penelitian :
a. Partisipasi dalam
penelitian terkait obat (drug use study) di rumah sakit
b. Partisipasi dalam uji
klinik (penyimpanan, penyiapan, pendistribusian, pengendalian, dan pemusnahan)
5. Partisipasi aktif dalam
tim:
a. Pada saat praktik di
ruang rawat berkolaborasi dengan dokter, perawat dan profesi kesehatan lain
untuk memastikan keamanan, efektifitas dan kemanfaatan, serta keterjangkauan
biaya penggunaan obat.
b. Bekerja sama dengan tim
lain (misalnya: tim paliatif, tim pengendalian infeksi, tim patient safety,
Subkomite Farmasi dan Terapi, dll) di rumah sakit/fasilitas pelayanan kesehatan10 11
BAB 3
PERSIAPAN PRAKTIK VISITE
Praktik visite yang
dilakukan oleh apoteker bertujuan untuk: (1) meningkatkan pemahaman mengenai
riwayat pengobatan pasien, perkembangan kondisi klinik, dan rencana terapi
secara komprehensif; (2) memberikan informasi mengenai farmakologi,
farmakokinetika, bentuk sediaan obat, rejimen dosis, dan aspek lain terkait terapi
obat pada pasien, (3) memberikan rekomendasi sebelum keputusan klinik
ditetapkan dalam hal pemilihan terapi, implementasi dan monitoring terapi; (4)
memberikan rekomendasi penyelesaian masalah terkait penggunaan obat akibat
keputusan klinik yang sudah ditetapkan sebelumnya
Sebelum memulai praktik visite di ruang rawat, seorang apoteker
perlu membekali diri dengan berbagai pengetahuan, minimal: patofisiologi,
terminologi medis, farmakokinetika, farmakologi, farmakoterapi, farmakoekonomi,
farmakoepidemiologi, pengobatan berbasis bukti. Selain itu diperlukan kemampuan
interpretasi data laboratorium dan data penunjang diagnostik lain;
berkomunikasi secara efektif dengan pasien, dan tenaga kesehatan lain. Praktik
visite membutuhkan persiapan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
3.1 Seleksi pasien
Seharusnya layanan visite diberikan kepada semua pasien yang masuk
rumah sakit. Namun mengingat keterbatasan jumlah apoteker maka layanan visite
diprioritaskan untuk pasien dengan kriteria sebagai berikut:
a. Pasien baru (dalam 24 jam pertama);
b. Pasien dalam perawatan
intensif;
c. Pasien yang menerima
lebih dari 5 macam obat
d. Pasien yang mengalami
penurunan fungsi organ terutama hati dan ginjal;
e. Pasien yang hasil
pemeriksaan laboratoriumnya mencapai nilai kritis (critical value),
misalnya: ketidakseimbangan elektrolit, penurunan kadar albumin;
f. Pasien yang mendapatkan
obat yang mempunyai indeks terapetik sempit, berpotensi menimbulkan reaksi obat
yang tidak diinginkan (ROTD) yang fatal. Contoh: pasien yang mendapatkan terapi
obat digoksin, karbamazepin, teofilin, sitostatika;
3.2 Pengumpulan informasi
penggunaan obat
Informasi penggunaan obat dapat diperoleh dari rekam medik,
wawancara dengan pasien/keluarga, catatan pemberian obat. Informasi tersebut
meliputi:
- Data pasien : nama,
nomor rekam medis, umur, jenis kelamin, berat badan (BB), tinggi badan (TB),
ruang rawat, nomor tempat tidur, sumber pembiayaan
- Keluhan utama:
keluhan/kondisi pasien yang menjadi alasan untuk dirawat
- Riwayat penyakit saat
ini (history of present illness) merupakan riwayat keluhan / keadaan
pasien berkenaan dengan penyakit yang dideritanya saat ini
- Riwayat sosial: kondisi
sosial (gaya hidup) dan ekonomi pasien yang berhubungan dengan penyakitnya.
Contoh: pola makan, merokok, minuman keras, perilaku seks bebas, pengguna
narkoba, tingkat pendidikan, penghasilan
- Riwayat penyakit
terdahulu: riwayat singkat penyakit yang pernah diderita pasien, tindakan dan
perawatan yang pernah diterimanya yang berhubungan dengan penyakit pasien saat
ini
- Riwayat penyakit
keluarga: adanya keluarga yang menderita penyakit yang sama atau berhubungan
dengan penyakit yang sedang dialami pasien. Contoh: hipertensi, diabetes,
jantung, kelainan darah, kanker
- Riwayat penggunaan obat:
daftar obat yang pernah digunakan pasien sebelum dirawat (termasuk obat bebas,
obat tradisional/herbal medicine) dan lama penggunaan obat
- Riwayat alergi/ ROTD
daftar obat yang pernah menimbulkan reaksi alergi atau ROTD.
- Pemeriksaan fisik:
tanda-tanda vital (temperatur, tekanan darah, nadi, kecepatan pernapasan),
kajian sistem organ (kardiovaskuler, ginjal, hati)
- Pemeriksaan
laboratorium: Data hasil pemeriksaan laboratorium diperlukan dengan tujuan: (i)
menilai apakah diperlukan terapi obat, (ii) penyesuaian dosis, (iii) menilai
efek terapeutik obat, (iv) menilai adanya ROTD, (v) mencegah terjadinya
kesalahan dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan laboratorium, misalnya:
akibat sampel sudah rusak, kuantitas sampel tidak cukup, sampel diambil pada
waktu yang tidak tepat, prosedur tidak benar, reagensia yang digunakan tidak
tepat, kesalahan teknis oleh petugas, interaksi dengan makanan/obat. Apoteker
harus dapat menilai hasil pemeriksaan pasien dan membandingkannya dengan nilai
normal. (lihat contoh kasus)
- Pemeriksaan diagnostik:
foto roentgen, USG, CT Scan. Data hasil pemeriksaan diagnostik diperlukan
dengan tujuan: (i) menunjang penegakan diagnosis, (ii) menilai hasil terapeutik
pengobatan, (iii) menilai adanya risiko pengobatan.
- Masalah medis meliputi
gejala dan tanda klinis, diagnosis utama dan penyerta.
- Catatan penggunaan obat
saat ini adalah daftar obat yang sedang digunakan oleh pasien.
- Catatan perkembangan
pasien adalah kondisi klinis pasien yang diamati dari hari ke hari.
3.3 Pengkajian masalah
terkait obat
Pasien yang mendapatkan obat memiliki risiko mengalami masalah
terkait penggunaan obat baik yang bersifat aktual (yang nyata terjadi) maupun
potensial (yang mungkin terjadi). Masalah terkait penggunaan obat antara lain:
efektivitas terapi, efek samping obat, biaya. Penjelasan rinci tentang
klasifikasi masalah terkait obat lihat lampiran 2.
3.4 Fasilitas
Fasilitas praktik visite antara lain:
a. Formulir Pemantauan
Terapi Obat
b. Referensi dapat berupa
cetakan atau elektronik, misalnya: Formularium Rumah Sakit, Pedoman Penggunaan
Antibiotika, Pedoman Diagnosis dan Terapi, Daftar Obat Askes (DOA), Daftar
Plafon Harga Obat (DPHO), British National Formulary (BNF), Drug
Information Handbook (DIH), American Hospital Formulary Services (AHFS):
Drug Information, Pedoman Terapi, dll.
c. Kalkulator
BAB 4
PELAKSANAAN VISITE
Kegiatan visite dapat
dilakukan oleh apoteker secara mandiri atau kolaborasi dengan tenaga kesehatan
lain sesuai dengan situasi dan kondisi. Keduanya memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing (lihat tabel) yang perlu diperhatikan dalam melakukan
kegiatan visite dan menetapkan rekomendasi.
Kegiatan visite mandiri
Kegiatan visite tim:
4.1 Visite Mandiri
4.1.1 Memperkenalkan diri kepada pasien
Pada kegiatan visite mandiri, apoteker harus memperkenalkan diri
kepada pasien dan keluarganya agar timbul kepercayaan mereka terhadap profesi
apoteker sehingga mereka dapat bersikap terbuka dan kooperatif. Contoh cara
memperkenalkan diri, “Selamat pagi Bu Siti, saya Retno, apoteker di ruang rawat
ini. Bagaimana keadaan Ibu hari ini? Membaik? Atau ada keluhan lain?”. Pada
tahap ini, apoteker dapat menilai adanya hambatan pasien dalam berkomunikasi
dan status klinis pasien (misalnya: kesadaran, kesulitan berbicara, dll).
4.1.2 Mendengarkan respon
yang disampaikan oleh pasien dan identifikasi masalah
Setelah memberikan salam, apoteker berkomunikasi efektif secara
aktif untuk menggali permasalahan pasien terkait penggunaan obat (lihat
informasi penggunaan obat di atas). Respon dapat berupa keluhan yang
disampaikan oleh pasien, misalnya: rasa nyeri menetap/bertambah, sulit buang
air besar; atau adanya keluhan baru, misalnya: gatal-gatal, mual, pusing.
Apoteker harus melakukan kajian untuk memastikan apakah keluhan tersebut
terkait dengan penggunaan obat yang telah diberitahukan sebelumnya, misalnya
urin berwarna merah karena penggunaan rifampisin; mual karena penggunaan
siprofloksasin atau metformin.
Setelah bertemu dengan pasien berdasarkan informasi penggunaan
yang diperoleh, apoteker dapat (i) menetapkan status masalah (aktual atau
potensial), dan (ii) mengidentifikasi adanya masalah baru.
4.1.3 Memberikan
rekomendasi berbasis bukti berkaitan dengan masalah terkait penggunaan obat
Pada visite mandiri, rekomendasi lebih ditujukan kepada pasien
dengan tujuan untuk meningkatkan kepatuhan penggunaan obat dalam hal aturan
pakai, cara pakai, dan hal-hal yang harus diperhatikan selama menggunakan obat.
Rekomendasi kepada pasien yang dilakukan oleh apoteker dapat berupa konseling,
edukasi, dan pendampingan cara penggunaan obat.
Setelah pelaksanaan visite mandiri, apoteker dapat menyampaikan
rekomendasi kepada perawat tentang jadwal dan cara pemberian obat, misalnya:
obat diberikan pada waktu yang telah ditentukan (interval waktu pemberian yang
sama), pemberian obat sebelum/sesudah makan, selang waktu pemberian obat untuk
mencegah terjadinya interaksi, kecepatan infus, jenis pelarut yang digunakan,
stabilitas dan ketercampuran obat suntik. Rekomendasi kepada perawat yang
dilakukan oleh apoteker dapat berupa konseling, edukasi, dan pendampingan cara
penyiapan obat.
Rekomendasi yang diberikan harus berdasarkan pada bukti terbaik,
terpercaya dan terkini agar diperoleh hasil terapi yang optimal.
Rekomendasi kepada apoteker lain dapat dilakukan dalam proses
penyiapan obat, misalnya: kalkulasi dan penyesuaian dosis, pengaturan jalur dan
laju infus. Rekomendasi kepada dokter yang merawat yang dilakukan oleh apoteker
dapat berupa diskusi pembahasan masalah dan kesepakatan keputusan terapi.
4.1.4 Melakukan pemantauan
implementasi rekomendasi
Apoteker harus memantau pelaksanaan rekomendasi kepada pasien,
perawat, atau dokter. Jika rekomendasi belum dilaksanakan maka apoteker harus
menelusuri penyebab tidak dilaksanakannya rekomendasi dan mengupayakan
penyelesaian masalah. Contoh: pasien minum siprofloksasin bersama dengan
antasida karena sudah terbiasa minum semua obat setelah makan atau minum
siprofloksasin bersama dengan susu. Seharusnya siprofloksasin diminum dengan
selang waktu 2 jam sebelum minum antasida/susu. Hal tersebut dapat diatasi
dengan memberi edukasi kepada perawat/pasien tentang adanya interaksi antara
siprofloksasin dan antasida/susu membentuk kompleks yang menyebabkan penyerapan
siprofloksasin terganggu dan efektivitas siprofloksasin berkurang.
4.1.5 Melakukan pemantauan
efektivitas dan keamanan terkait penggunaan obat
Pemantauan efektivitas dan keamanan efek samping dapat dilakukan
dengan menggunakan metode Subject-Object Assessment Plan (SOAP).
Subjektif adalah semua keluhan yang dirasakan pasien. Objektif adalah hasil
pemeriksaan yang dapat diukur, misalnya temperatur, tekanan darah, kadar
glukosa darah, kreatinin serum, bersihan kreatinin, jumlah leukosit dalam
darah, dll. Assessment adalah penilaian penggunaan obat pasien (identifikasi
masalah terkait obat). Plan adalah rekomendasi yang diberikan berdasarkan assessment
yang dilakukan. Apoteker juga harus memantau hasil rekomendasi dengan
mengamati kondisi klinis pasien baik yang terkait dengan efektivitas terapi
maupun efek samping obat. Contoh: efektivitas antibiotika dapat dinilai dari
perbaikan tanda-tanda infeksi setelah 48-72 jam, misalnya: demam menurun
(36,5-37oC),
jumlah leukosit mendekati nilai normal (5000-10.000x109/L); sedangkan efek
samping antibiotika, misalnya: diare, mual.
4.2 Visite tim
4.2.1 Memperkenalkan diri kepada pasien
dan/atau tim
Pada kegiatan visite bersama dengan tenaga kesehatan lain,
perkenalan anggota tim kepada pasien dan keluarganya dilakukan oleh ketua tim
visite.
4.2.2 Mengikuti dengan
seksama presentasi kasus yang disampaikan
Pada saat mengunjungi pasien, dokter yang merawat akan memaparkan
perkembangan kondisi klinis pasien berdasarkan pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang, dan wawancara dengan pasien; hal ini dapat dimanfaatkan apoteker
untuk memperbarui data pasien yang telah diperoleh sebelumnya atau mengkaji
ulang permasalahan baru yang timbul karena perubahan terapi. Apoteker harus
berpartisipasi aktif dalam menggali latar belakang permasalahan terkait
penggunaan obat. Contoh: keluhan pasien berupa sulit buang air besar dapat
disebabkan oleh imobilitas atau efek samping obat, misalnya codein.
4.2.3 Memberikan rekomendasi
berbasis bukti berkaitan dengan masalah terkait penggunaan obat
Sebelum memberikan rekomendasi, apoteker berdiskusi dengan anggota
tim secara aktif untuk saling mengklarifikasi, mengkonfirmasi, dan melengkapi
informasi penggunaan obat, Pada visite tim, rekomendasi lebih ditujukan kepada
dokter yang merawat dengan tujuan untuk meningkatkan hasil terapi, khususnya
dalam pemilihan terapi obat, misalnya pemilihan jenis dan rejimen antibiotika
untuk terapi demam tifoid, waktu penggantian antibiotika injeksi menjadi
antibiotika oral, lama penggunaan antibiotika sesuai pedoman terapi yang
berlaku.
Rekomendasi yang diberikan harus berdasarkan informasi dari
pasien, pengalaman klinis (kepakaran) dokter dan bukti terbaik yang dapat
diperoleh. Rekomendasi tersebut merupakan kesepakatan penggunaan obat yang
terbaik agar diperoleh hasil terapi yang optimal. Pemberian rekomendasi kepada
dokter yang merawat dikomunikasikan secara efektif, misalnya: saran tertentu
yang bersifat sensitif (dapat menimbulkan kesalahpahaman) diberikan secara
pribadi (tidak di depan pasien/perawat).
4.2.4 Melakukan pemantauan
implementasi rekomendasi
Setelah rekomendasi disetujui dokter yang merawat untuk
diimplementasikan, apoteker harus memantau pelaksanaan rekomendasi perubahan
terapi pada rekam medik dan catatan pemberian obat. Jika rekomendasi belum
dilaksanakan maka apoteker harus menelusuri penyebabnya dan mengupayakan
penyelesaian masalah. Contoh: jika saran untuk mengganti antibiotika injeksi menjadi
antibiotika oral setelah 2 hari suhu tubuh pasien normal tidak dilaksanakan
(dapat diketahui dari rekam medik/catatan pemberian obat) maka apoteker harus
menelusuri penyebabnya. Contoh penyebabnya: dokter belum memberikan instruksi,
obat tidak tersedia, perawat belum memberikan. Apoteker dapat mengingatkan
dokter tentang penggantian bentuk sediaan antibiotika.
4.2.5 Melakukan pemantauan
efektivitas dan keamanan terkait penggunaan obat
Pemantauan efektivitas dan keamanan penggunaan obat berupa keluhan
pasien, manifestasi klinis, dan hasil pemeriksaan penunjang; dapat dilakukan
dengan menggunakan metode SOAP. Contoh: pemberian insulin harus dipantau secara
ketat untuk penyesuaian dosis (target kadar glukosa darah tercapai) dan
menghindari terjadinya hipoglikemia; pada penggunaan Kaptopril, apoteker
memperhatikan penurunan tekanan darah pasien sebagai indikator efektivitas
terapi dan menanyakan keluhan batuk kering sebagai indikator ROTD.
4.3 Dokumentasi praktik
visite
Pendokumentasian merupakan hal yang harus dilakukan dalam setiap
kegiatan pelayanan farmasi. Pendokumentasian adalah kegiatan merekam praktik
visite yang meliputi: informasi penggunaan obat, perubahan terapi, catatan
kajian penggunaan obat (masalah terkait penggunaan obat, rekomendasi, hasil
diskusi dengan dokter yang merawat, implementasi, hasil terapi).
Tujuan pendokumentasian kegiatan visite pasien adalah:
a. Menjamin akuntabilitas dan kredibilitas
b. Bahan evaluasi dan perbaikan mutu kegiatan
c. Bahan pendidikan dan penelitian kegiatan
Pendokumentasian dilakukan pada lembar kerja praktik visite dan
lembar kajian penggunaan obat (lihat contoh pada lampiran). Penyimpanan
dokumentasi kegiatan visite dapat disusun berdasarkan nama pasien dan tanggal
lahir, serta nomor rekam medik agar mudah ditelusuri kembali. Hal yang harus
diperhatikan oleh apoteker adalah bahwa dokumen bersifat rahasia, oleh karena
itu harus dikelola dengan baik sehingga terjaga kerahasiaannya.
BAB 5
EVALUASI PRAKTIK VISITE
Evaluasi merupakan proses penjaminan kualitas pelayanan dalam hal
ini praktik visite apoteker ruang rawat berdasarkan indikator yang ditetapkan.
Indikator dapat dikembangkan sesuai dengan program mutu rumah sakit
masing-masing.
Secara garis besar evaluasi dapat dilakukan pada tahap input,
proses maupun output. Lingkup materi evaluasi terhadap kinerja apoteker antara
lain dalam hal:
1. Pengkajian rencana
pengobatan pasien
2. Pengkajian dokumentasi
pemberian obat
3. Frekuensi diskusi
masalah klinis terkait pasien termasuk rencana apoteker untuk mengatasi masalah
tersebut
4. Rekomendasi apoteker
dalam perubahan rejimen obat (clinical pharmacy intervention)
Materi lingkup di atas
dapat dibuat dalam bentuk indikator kinerja Indikator Kunci Kinerja visite
apoteker (key performance indicator)
BAB 6
PENUTUP
Pelayanan kefarmasian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan yang berorientasi pada pelayanan pasien. Visite
adalah salah satu fungsi klinik apoteker dalam pelayanan kefarmasian untuk
memantau efek terapi dan efek samping obat, menilai kemajuan kondisi pasien
bekerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya.
Adanya pedoman visite bagi apoteker di fasilitas pelayanan
kesehatan diharapkan dapat menjadi acuan dan referensi bagi apoteker dalam
melaksanakan pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) secara
menyeluruh. Kegiatan visite yang dilakukan secara benar akan meningkatkan peran
dan citra tenaga farmasi di masyarakat luas dan dapat meningkatkan derajat
kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. (2007). Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. (2007). Pedoman Konseling Pelayanan Kefarmasian Di
Fasilitas Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Hansen, K.N. &
Parthasaranthi, G. (2004). Text Book of Clinical Pharmacy Practice:
Essential Concept and Skills. India: Orient Longman Private Limited.
LYH Lai, MSM Hu, NCW Leow,
PN Voon, Jl Wong, LL Tiong.”Pharmacist Participation in Clinician Rounds and
Cost Saving Implications”. Departement of Pharmacy, Serawak: General
Hospital.
Poh, E.P., Nigro, O.,
Avent, M.L., Doecke, C.J. (2009). Pharmaceutical Reforms: Clinical Pharmacy
Ward Service Versus a Medical Team Model. J Pharm Pract Res. 3, 39:
176-80.
Siregar, J.P.C., &
Kumolosasi, E. (2005). Farmasi Klinik : Teori dan Penerapan. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran.
Stephens, M (Ed). (2000). Hospital
Pharmacy. London: Pharmaceutical Press.
Suthakaran, C., &
Adithan, C. (Ed). Therapeutic drug monitoring – concepts, methodology, clinical
applications and limitations. Health Administrator. 19, 1, 22-26
PK.Lakshmi, Clinical
Pharmacy Services, 2006
Hinton, James, May San Kyi,
Stella Barnass, Do antibiotic ward rounds improve antibiotic prescribing? West
Middlesex University Hospital, UK.
WHO, Developing pharmacy
practice: A focus ob patient care, Handbook, 2006
Manuel Alos Alminana,
et.al, The Need for Clinical Pharmacy , WSCP European Society of Clinical
Pharmacy
SHPA Standards of Practice
for Clinical Pharmacy, J Pharm Pract Res 2005;35(2):122-46
Aslam
Mohamed, Chik Kaw Tan dan Adji Prayitno, Farmasi Klinik, Jakarta: PT. Elex
Komputindo,
2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar