PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2015
TENTANG
PEREDARAN, PENYIMPANAN, PEMUSNAHAN, DAN PELAPORAN NARKOTIKA,
PSIKOTROPIKA, DAN PREKURSOR FARMASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
28/Menkes/Per/I/1978 tentang Penyimpanan Narkotika, Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 688/Menkes/Per/VII/1997 tentang Peredaran Psikotropika, dan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 912/Menkes/Per/VIII/1997 tentang Kebutuhan Tahunan dan
Pelaporan Psikotropika perlu disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan
hukum;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (3), Pasal 36 ayat
(2), Pasal 42, dan Pasal 44 Undang–Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, dan Pasal 9 ayat (3), Pasal 14 ayat (6) dan Pasal 15 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Kesehatan tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671);
2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5062);
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
4. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3781);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 124,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang
Prekursor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5126);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5419);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5533);
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1144/Menkes/Per/lll/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 585) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2013 (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 741);
11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 721) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 16 Tahun 2013 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 442);
12. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 370) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2014 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 585);
13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2013
tentang Impor dan Ekspor Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 178);
14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014
tentang Klinik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 232);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PEREDARAN,
PENYIMPANAN, PEMUSNAHAN, DAN PELAPORAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN PREKURSOR
FARMASI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang tentang Narkotika.
2.
Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun sintetis
bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku.
3.
Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi industri
farmasi atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang mengandung
ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine/phenylpropanolamine, ergotamin,
ergometrine, atau Potasium Permanganat.
4.
Penyaluran adalah setiap kegiatan distribusi Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi dalam rangka pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu
pengetahuan.
5.
Penyerahan adalah setiap kegiatan memberikan narkotika, psikotropika dan
prekursor farmasi, baik antar penyerah maupun kepada pasien dalam rangka
pelayanan kesehatan.
6.
Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan
untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat.
7.
Pedagang Besar Farmasi yang selanjutnya disingkat PBF adalah perusahaan
berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan,
penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
8.
Instalasi Farmasi Pemerintah adalah sarana tempat menyimpan dan menyalurkan
sediaan farmasi dan alat kesehatan milik Pemerintah, baik Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Daerah, Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian, Badan Usaha
Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah dalam rangka pelayanan kesehatan,
yang dalam Undang- Undang mengenai Narkotika dan Psikotropika disebut Sarana
Penyimpanan Sediaan Farmasi Pemerintah.
9.
Instalasi Farmasi Rumah Sakit adalah unit pelaksana fungsional yang
menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit.
10.
Instalasi Farmasi Klinik adalah bagian dari klinik, yang dalam Undang-Undang
mengenai Narkotika dan Psikotropika disebut Balai Pengobatan, yang bertugas
menyelenggarakan, mengoordinasikan, mengatur, dan mengawasi seluruh kegiatan
pelayanan farmasi serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian.
11.
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian
oleh Apoteker.
12.
Toko Obat adalah sarana yang memiliki izin untuk menyimpan obat-obat bebas dan
obat-obat bebas terbatas untuk dijual secara eceran.
13.
Lembaga Ilmu Pengetahuan adalah lembaga pendidikan dan pelatihan serta lembaga
penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun swasta
yang dapat menggunakan narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
14.
Importir Terdaftar Psikotropika yang selanjutnya disingkat IT Psikotropika
adalah pedagang besar farmasi yang mendapat izin untuk mengimpor psikotropika
guna didistribusikan kepada industri farmasi dan lembaga ilmu pengetahuan
sebagai pengguna akhir psikotropika.
15.
Importir Terdaftar Prekursor Farmasi yang selanjutnya disingkat IT Prekursor
Farmasi adalah pedagang besar farmasi yang mendapat izin untuk mengimpor
prekursor farmasi guna didistribusikan kepada industri farmasi dan lembaga ilmu
pengetahuan sebagai pengguna akhir prekursor farmasi.
16.
Kepala Balai adalah Kepala Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Badan Pengawas
Obat dan Makanan.
17.
Kepala Badan adalah Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang mempunyai
tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
18.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pada Kementerian Kesehatan yang
tugas dan tanggung jawabnya di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.
19.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.
Pasal 2
Pengaturan
peredaran, penyimpanan, pemusnahan dan pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi dalam Peraturan Menteri ini meliputi Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi untuk kepentingan pelayanan kesehatan atau pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
BAB II
PEREDARAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal
3
Peredaran
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi terdiri dari Penyaluran dan
Penyerahan.
Pasal
4
Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang diedarkan harus memenuhi persyaratan
keamanan, khasiat, dan mutu.
Pasal
5
(1)
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi hanya
dapat diedarkan setelah mendapatkan izin edar dari Menteri.
(2)
Untuk mendapatkan izin edar Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melalui
pendaftaran pada Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(3)
Ketentuan mengenai tata cara untuk mendapat izin edar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
6
(1)
Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika dan PBF atau Instalasi Farmasi
Pemerintah yang menyalurkan Narkotika wajib memiliki izin khusus dari Menteri
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Izin khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
Izin Khusus Produksi Narkotika;
b.
Izin Khusus Impor Narkotika; atau
c.
Izin Khusus Penyaluran Narkotika.
(3)
Lembaga Ilmu Pengetahuan yang memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan
Narkotika dan/atau Psikotropika untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan
teknologi harus memiliki izin dari Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal
7
Peredaran
Narkotika dalam bentuk obat jadi yang digunakan dalam program terapi dan
rehabilitasi medis dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian
Kedua
Penyaluran
Paragraf
1
Umum
Pasal
8
Penyaluran
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib memenuhi Cara Distribusi
Obat yang Baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
9
(1)
Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan
berdasarkan:
a.
surat pesanan; atau
b.
Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) untuk pesanan dari
Puskesmas.
(2)
Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat berlaku
untuk masing-masing Narkotika, Psikotropika, atau Prekursor Farmasi.
(3)
Surat pesanan Narkotika hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis Narkotika.
(4)
Surat pesanan Psikotropika atau Prekursor Farmasi hanya dapat digunakan untuk 1
(satu) atau beberapa jenis Psikotropika atau Prekursor Farmasi.
(5)
Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) harus terpisah
dari pesanan barang lain.
Penyaluran
Narkotika Golongan I
Pasal
10
(1)
Penyaluran Narkotika Golongan I hanya dapat dilakukan oleh perusahaan PBF milik
Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika kepada Lembaga Ilmu
Pengetahuan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
termasuk untuk kebutuhan laboratorium.
(2)
Penyaluran Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
berdasarkan surat pesanan dari Apoteker penanggung jawab dan/atau Kepala
Lembaga Ilmu Pengetahuan dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam
Formulir 1 terlampir.
Paragraf
3
Penyaluran
Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor
Farmasi Dalam Bentuk Bahan Baku
Pasal
11
(1)
Penyaluran Narkotika dalam bentuk bahan baku hanya dapat dilakukan oleh
perusahaan PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika kepada
Industri Farmasi dan/atau Lembaga Ilmu Pengetahuan.
(2)
Penyaluran Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
berdasarkan surat pesanan dari Apoteker penanggung jawab produksi dan/atau
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Formulir 1 terlampir.
Pasal
12
(1)
Penyaluran Psikotropika dalam bentuk bahan baku hanya dapat dilakukan oleh PBF
yang memiliki izin sebagai IT Psikotropika kepada Industri Farmasi dan/atau
Lembaga Ilmu Pengetahuan.
(2)
Penyaluran Psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Apoteker penanggung jawab produksi
dan/atau Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan dengan menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 2 terlampir.
Pasal
13
(1)
Penyaluran Prekursor Farmasi berupa zat/bahan pemula/bahan kimia atau produk
antara/produk ruahan hanya dapat dilakukan oleh PBF yang memiliki izin IT
Prekursor Farmasi kepada Industri Farmasi dan/atau Lembaga Ilmu Pengetahuan.
(2)
Penyaluran Prekursor Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Apoteker penanggung jawab produksi
dan/atau Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan dengan menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 3 terlampir.
Paragraf
4
Penyaluran
Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor
Farmasi Dalam Bentuk Obat Jadi
Pasal
14
(1)
Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat
jadi hanya dapat dilakukan oleh: a. Industri Farmasi kepada PBF dan Instalasi
Farmasi Pemerintah;
b.
PBF kepada PBF lainnya, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi
Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi Pemerintah dan Lembaga Ilmu Pengetahuan;
c.
PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika kepada Industri
Farmasi, untuk penyaluran Narkotika;
d.
Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat kepada Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah,
Instalasi Farmasi Rumah Sakit milik Pemerintah, dan Instalasi Farmasi Tentara
Nasional Indonesia atau Kepolisian; dan
e.
Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah kepada Instalasi Farmasi Rumah Sakit milik
Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi Klinik milik Pemerintah Daerah, dan
Puskesmas.
(2)
Selain kepada PBF lainnya, Apotek, Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Pemerintah
dan Lembaga Ilmu Pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, PBF
dapat menyalurkan Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas kepada Toko
Obat.
Pasal
15
Penyaluran
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi oleh
Industri Farmasi kepada PBF hanya dapat dilakukan oleh Industri Farmasi pemilik
izin edar.
Pasal
16
(1)
Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat
jadi hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Apoteker penanggung
jawab atau Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan untuk kebutuhan penelitian dan
pengembangan, dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 1,
Formulir 2 dan Formulir 4 terlampir.
(2)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk
penyaluran kepada Instalasi Farmasi Pemerintah, surat pesanan dapat
ditandatangani oleh Apoteker yang ditunjuk.
(3)
Dalam hal penyaluran Prekursor Farmasi dari PBF kepada Toko Obat, hanya dapat
dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Tenaga Teknis Kefarmasian dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 4 terlampir.
Pasal
17
(1)
Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang dilakukan oleh
Industri Farmasi, PBF, atau Instalasi Farmasi Pemerintah harus dilengkapi
dengan: a. surat pesanan;
b.
faktur dan/atau surat pengantar barang, paling sedikit memuat:
1.
nama Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi;
2.
bentuk sediaan;
3.
kekuatan;
4.
kemasan;
5.
jumlah;
6.
tanggal kadaluarsa; dan
7.
nomor batch.
(2)
Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang dilakukan melalui jasa pengangkutan hanya dapat membawa
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi sesuai dengan jumlah yang
tecantum dalam surat pesanan, faktur, dan/atau surat pengantar barang yang
dibawa pada saat pengiriman.
Bagian
Ketiga
Penyerahan
Umum
Pasal
18
(1)
Penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan
dalam bentuk obat jadi.
(2)
Dalam hal Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kepada
pasien, harus dilaksanakan oleh Apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian.
(3)
Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara langsung sesuai
dengan standar pelayanan kefarmasian.
(4)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyerahan
Prekursor Farmasi yang termasuk golongan obat bebas terbatas di Toko Obat
dilakukan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian.
Penyerahan
Narkotika dan Psikotropika
Pasal
19
(1)
Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika hanya dapat dilakukan oleh: a.
Apotek;
b.
Puskesmas;
c.
Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d.
Instalasi Farmasi Klinik; dan
e.
dokter.
(2)
Apotek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat menyerahkan
Narkotika dan/atau Psikotropika kepada:
a.
Apotek lainnya;
b.
Puskesmas;
c.
Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d.
Instalasi Farmasi Klinik;
e.
dokter; dan
f.
pasien.
(3)
Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a sampai dengan huruf d hanya dapat dilakukan untuk memenuhi kekurangan
jumlah Narkotika dan/atau Psikotropika berdasarkan resep yang telah diterima.
(4)
Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus berdasarkan surat
permintaan tertulis yang ditandatangani oleh Apoteker penanggung jawab dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 5 terlampir.
(5)
Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi Farmasi Klinik
hanya dapat menyerahkan Narkotika dan/atau Psikotropika kepada pasien
berdasarkan resep dokter.
Pasal
20
(1)
Penyerahan Narkotika dan Psikotropika oleh Apotek kepada Dokter hanya dapat
dilakukan dalam hal: a. dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan
Narkotika dan Psikotropika melalui suntikan; dan/atau
b.
dokter menjalankan tugas atau praktik di daerah terpencil yang tidak ada Apotek
atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berdasarkan surat permintaan
tertulis yang ditandatangani oleh dokter yang menangani pasien dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 6 terlampir.
Pasal
21
(1)
Penyerahan Narkotika dan Psikotropika oleh dokter kepada pasien hanya dapat
dilakukan dalam hal:
a.
dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan Narkotika dan
Psikotropika melalui suntikan;
b.
dokter menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika
melalui suntikan;
c.
dokter menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan
Psikotropika; atau
d.
dokter menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada Apotek berdasarkan
surat penugasan dari pejabat yang berwenang.
(2)
Surat penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d termasuk sebagai
izin penyimpanan Narkotika dan Psikotropika untuk keperluan pengobatan.
Paragraf
3
Penyerahan
Prekursor Farmasi
Pasal
22
(1)
Penyerahan Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan oleh:
a.
Apotek;
b.
Puskesmas;
c.
Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d.
Instalasi Farmasi Klinik;
e.
dokter; dan
f.
Toko Obat.
(2)
Apotek hanya dapat menyerahkan Prekursor Farmasi golongan obat keras kepada:
a.
Apotek lainnya;
b.
Puskesmas;
c.
Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d.
Instalasi Farmasi Klinik;
e.
dokter; dan
f.
pasien.
(3)
Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi Farmasi Klinik
hanya dapat menyerahkan Prekursor Farmasi golongan obat keras kepada pasien
berdasarkan resep dokter.
(4)
Penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat keras sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a sampai dengan huruf d hanya dapat dilakukan untuk memenuhi
kekurangan jumlah Prekursor Farmasi golongan obat keras berdasarkan resep yang
telah diterima.
(5)
Penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas oleh Apotek kepada
Apotek lainnya, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi
Klinik, dan Toko Obat hanya dapat dilakukan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan
harian Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas yang diperlukan untuk
pengobatan.
(6)
Penyerahan Prekursor Farmasi oleh Apotek kepada dokter hanya dapat dilakukan
apabila diperlukan untuk menjalankan tugas/praktik di daerah terpencil yang
tidak ada Apotek atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
23
(1)
Penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)
harus berdasarkan surat permintaan tertulis yang ditandatangani oleh
Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian penanggung jawab atau dokter yang menangani
pasien dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 7,
Formulir 8, dan Formulir 9 terlampir.
(2)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyerahan
Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas oleh Apotek kepada Toko Obat,
hanya dapat dilakukan berdasarkan surat permintaan tertulis yang ditandatangani
oleh Tenaga Teknis Kefarmasian dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Formulir 8 terlampir.
(3)
Penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas kepada pasien harus
memperhatikan kerasionalan jumlah yang diserahkan sesuai kebutuhan terapi
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB III
PENYIMPANAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal
24
Tempat
penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di fasilitas
produksi, fasilitas distribusi, dan fasilitas pelayanan kefarmasian harus mampu
menjaga keamanan, khasiat, dan mutu Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi.
Pasal
25
(1) Tempat
penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dapat berupa gudang,
ruangan, atau lemari khusus.
(2)
Tempat penyimpanan Narkotika dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain
Narkotika.
(3)
Tempat penyimpanan Psikotropika dilarang digunakan untuk menyimpan barang
selain Psikotropika.
(4)
Tempat penyimpanan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku dilarang digunakan
untuk menyimpan barang selain Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku.
Pasal
26
(1)
Gudang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a.
dinding dibuat dari tembok dan hanya mempunyai pintu yang dilengkapi dengan
pintu jeruji besi dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda;
b.
langit-langit dapat terbuat dari tembok beton atau jeruji besi;
c.
jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi;
d.
gudang tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker penanggung
jawab; dan
e.
kunci gudang dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab dan pegawai lain yang
dikuasakan.
(2)
Ruang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harus memenuhi syarat
sebagai berikut: a. dinding dan langit-langit terbuat dari bahan yang kuat;
b.
jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi;
c.
mempunyai satu pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda;
d.
kunci ruang khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab/Apoteker yang
ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan; dan
e.
tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker penanggung
jawab/Apoteker yang ditunjuk.
(3)
Lemari khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a.
terbuat dari bahan yang kuat;
b.
tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci yang berbeda;
c.
harus diletakkan dalam ruang khusus di sudut gudang, untuk Instalasi Farmasi
Pemerintah;
d.
diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum, untuk Apotek,
Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Instalasi Farmasi Klinik, dan Lembaga
Ilmu Pengetahuan ; dan
e.
kunci lemari khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab/Apoteker yang
ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.
Pasal
27
Penyimpanan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib memenuhi Cara Produksi
Obat yang Baik, Cara Distribusi Obat yang Baik, dan/atau standar pelayanan
kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian
Kedua
Penyimpanan
Narkotika atau Psikotropika
Pasal
28
(1)
Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika harus memiliki tempat penyimpanan
Narkotika berupa gudang khusus, yang terdiri atas: a. gudang khusus Narkotika
dalam bentuk bahan baku; dan
b.
gudang khusus Narkotika dalam bentuk obat jadi.
(2)
Gudang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam penguasaan
Apoteker penanggung jawab.
Pasal
29
(1)
Industri Farmasi yang memproduksi Psikotropika harus memiliki tempat
penyimpanan Psikotropika berupa gudang khusus atau ruang khusus, yang terdiri
atas:
a.
gudang khusus atau ruang khusus Psikotropika dalam bentuk bahan baku; dan
b.
gudang khusus atau ruang khusus Psikotropika dalam bentuk obat jadi.
(2)
Gudang khusus atau ruang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam
penguasaan Apoteker penanggung jawab.
Pasal
30
(1)
PBF yang menyalurkan Narkotika harus memiliki tempat penyimpanan Narkotika
berupa gudang khusus.
(2)
Dalam hal PBF menyalurkan Narkotika dalam bentuk bahan baku dan obat jadi,
gudang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terdiri atas: a. gudang
khusus Narkotika dalam bentuk bahan baku; dan
b.
gudang khusus Narkotika dalam bentuk obat jadi.
(3)
Gudang khusus untuk tempat penyimpanan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) berada dalam penguasaan Apoteker penanggung jawab.
Pasal
31
(1)
PBF yang menyalurkan Psikotropika harus memiliki tempat penyimpanan
Psikotropika berupa gudang khusus atau ruang khusus.
(2)
Dalam hal PBF menyalurkan Psikotropika dalam bentuk bahan baku dan obat jadi,
gudang khusus atau ruang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
terdiri atas: a. gudang khusus atau ruang khusus Psikotropika dalam bentuk
bahan baku; dan
b.
gudang khusus atau ruang khusus Psikotropika dalam bentuk obat jadi.
(3)
Gudang khusus atau ruang khusus untuk tempat penyimpanan Psikotropika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berada dalam penguasaan
Apoteker penanggung jawab.
Pasal
32
(1)
Instalasi Farmasi Pemerintah yang menyimpan Narkotika atau Psikotropika harus
memiliki tempat penyimpanan Narkotika atau Psikotropika berupa ruang khusus
atau lemari khusus.
(2)
Ruang khusus atau lemari khusus tempat penyimpanan Narkotika atau Psikotropika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam penguasaan Apoteker penanggung
jawab atau Apoteker yang ditunjuk.
Pasal
33
(1)
Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Instalasi Farmasi Klinik, dan
Lembaga Ilmu Pengetahuan harus memiliki tempat penyimpanan Narkotika atau
Psikotropika berupa lemari khusus.
(2)
Lemari khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam penguasaan
Apoteker penanggung jawab.
Pasal
34
Dokter
praktik perorangan yang menggunakan Narkotika atau Psikotropika untuk tujuan
pengobatan harus menyimpan Narkotika atau Psikotropika di tempat yang aman dan
memiliki kunci yang berada di bawah penguasaan dokter.
Bagian
Ketiga
Penyimpanan
Prekursor Farmasi
Pasal
35
(1)
Industri Farmasi yang menggunakan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku
untuk memproduksi Prekursor Farmasi atau PBF yang menyalurkan Prekursor Farmasi
dalam bentuk bahan baku harus memiliki tempat penyimpanan Prekursor Farmasi
berupa gudang khusus atau ruang khusus.
(2)
Gudang khusus atau ruang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam
penguasaan Apoteker penanggung jawab.
Pasal
36
(1)
Industri Farmasi yang memproduksi Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi, PBF
yang menyalurkan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi, atau Instalasi
Farmasi Pemerintah harus menyimpan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi
dalam gudang penyimpanan obat yang aman berdasarkan analisis risiko.
(2)
Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, dan
Lembaga Ilmu Pengetahuan harus menyimpan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat
jadi di tempat penyimpanan obat yang aman berdasarkan analisis risiko.
BAB IV
PEMUSNAHAN
Pasal
37
Pemusnahan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dilakukan dalam hal:
a.
diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak
dapat diolah kembali;
b.
telah kadaluarsa;
c.
tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk
pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa penggunaan;
d.
dibatalkan izin edarnya; atau
e.
berhubungan dengan tindak pidana.
Pasal
38
(1)
Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a sampai dengan huruf d
dilaksanakan oleh Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek,
Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu
Pengetahuan, Dokter atau Toko Obat.
(2)
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang memenuhi kriteria
pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a sampai dengan huruf d
yang berada di Puskesmas harus dikembalikan kepada Instalasi Farmasi Pemerintah
Daerah setempat.
(3)
Instalasi Farmasi Pemerintah yang melaksanakan pemusnahan harus melakukan
penghapusan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah.
(4)
Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang berhubungan
dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf e dilaksanakan
oleh instansi pemerintah yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal
39
Pemusnahan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus dilakukan dengan:
a.
tidak mencemari lingkungan; dan
a.
tidak membahayakan kesehatan masyarakat.
Pasal
40
Pemusnahan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut:
a.
penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan
kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan menyampaikan surat
pemberitahuan dan permohonan saksi kepada: 1. Kementerian Kesehatan dan Badan
Pengawas Obat dan Makanan, bagi Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat;
2.
Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan
setempat, bagi Importir, Industri Farmasi, PBF, Lembaga Ilmu Pengetahuan, atau
Instalasi Farmasi Pemerintah Provinsi; atau
3.
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan
Makanan setempat, bagi Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi
Klinik, Instalasi Farmasi Pemerintah Kabupaten/Kota, Dokter, atau Toko Obat.
b.
Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Dinas Kesehatan
Provinsi, Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat, dan Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota menetapkan petugas di lingkungannya menjadi saksi
pemusnahan sesuai dengan surat permohonan sebagai saksi.
c.
Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud
pada huruf b.
d.
Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku, produk
antara, dan produk ruahan harus dilakukan sampling untuk kepentingan
pengujian oleh petugas yang berwenang sebelum dilakukan pemusnahan.
e.
Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi harus
dilakukan pemastian kebenaran secara organoleptis oleh saksi sebelum dilakukan
pemusnahan.
Pasal
41
Dalam
hal Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dilakukan oleh
pihak ketiga, wajib disaksikan oleh pemilik Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi dan saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b.
Pasal
42
(1)
Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan
kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan yang melaksanakan
pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus membuat Berita
Acara Pemusnahan.
(2)
Berita Acara Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit
memuat:
a.
hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan;
b.
tempat pemusnahan;
c.
nama penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas
pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan;
d.
nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain badan/sarana tersebut;
e.
nama dan jumlah Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang
dimusnahkan;
f.
cara pemusnahan; dan
g.
tanda tangan penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas
pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/ dokter praktik perorangan dan saksi.
(3)
Berita Acara Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam rangkap
3 (tiga) dan tembusannya disampaikan kepada Direktur Jenderal dan Kepala
Badan/Kepala Balai menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 10
terlampir.
BAB V
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Bagian Kesatu
Pencatatan
Pasal
43
(1)
Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Puskesmas,
Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu
Pengetahuan, atau dokter praktik perorangan yang melakukan produksi,
Penyaluran, atau Penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi.
(2)
Toko Obat yang melakukan penyerahan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi
wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Prekursor
Farmasi dalam bentuk obat jadi.
(3)
Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit
terdiri atas: a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi;
b.
jumlah persediaan;
c.
tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan
d.
jumlah yang diterima;
e.
tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran/penyerahan;
f.
jumlah yang disalurkan/diserahkan;
g.
nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran/penyerahan;
dan
h.
paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.
(4)
Pencatatan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus
dibuat sesuai dengan dokumen penerimaan dan dokumen penyaluran termasuk dokumen
impor, dokumen ekspor dan/atau dokumen penyerahan.
Pasal
44
Seluruh
dokumen pencatatan, dokumen penerimaan, dokumen penyaluran, dan/atau dokumen
penyerahan termasuk surat pesanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi wajib disimpan secara terpisah paling singkat 3 (tiga) tahun.
Bagian
Kedua
Pelaporan
Pasal
45
(1)
Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan produksi dan
penyaluran produk jadi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi setiap
bulan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan Kepala Badan.
(2)
PBF yang melakukan penyaluran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi
dalam bentuk obat jadi wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan
pemasukan dan penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam
bentuk obat jadi setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan
tembusan Kepala Badan/Kepala Balai.
(3)
Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan
laporan pemasukan dan penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
dalam bentuk obat jadi kepada Direktur Jenderal dengan tembusan Kepala Badan.
(4)
Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan
laporan pemasukan dan penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
dalam bentuk obat jadi kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi atau
Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Balai setempat.
(5)
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) paling
sedikit terdiri atas:
a.
nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi;
b.
jumlah persediaan awal dan akhir bulan;
c.
tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan;
d.
jumlah yang diterima;
e.
tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran;
f.
jumlah yang disalurkan; dan
g.
nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran dan
persediaan awal dan akhir.
(6)
Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu
Pengetahuan, dan dokter praktik perorangan wajib membuat, menyimpan, dan
menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan/penggunaan Narkotika dan
Psikotropika, setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan
tembusan Kepala Balai setempat.
(7)
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling sedikit terdiri atas: a.
nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor
Farmasi;
b.
jumlah persediaan awal dan akhir bulan;
c.
jumlah yang diterima; dan
d.
jumlah yang diserahkan.
(8)
Puskesmas wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan
penyerahan/penggunaan Narkotika dan Psikotropika sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(9)
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) dan ayat (6)
dapat menggunakan sistem pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor
Farmasi secara elektronik.
(10)Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) dan ayat (6)
disampaikan paling lambat setiap tanggal 10 bulan berikutnya.
(11)Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan/atau
Prekursor Farmasi diatur oleh Direktur Jenderal.
BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal
46
Menteri,
Kepala Badan, Kepala Balai, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan Peraturan Menteri ini sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan
masing-masing.
Pasal
47
Pelanggaran
terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dikenai sanksi administratif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal
48
Pada
saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, setiap Industri Farmasi, PBF,
Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit,
Instalasi Farmasi Klinik, atau Lembaga Ilmu Pengetahuan dalam melakukan
penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi harus
menyesuaikan dengan ketentuan penyimpanan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri ini paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Menteri ini mulai
berlaku.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal
49
Pada
saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
1.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28/Menkes/Per/I/1978 tentang Penyimpanan
Narkotika;
2.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 688/Menkes/Per/VII/1997 tentang Peredaran Psikotropika;
dan
3.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 912/Menkes/Per/VIII/1997 tentang Kebutuhan
Tahunan dan Pelaporan Psikotropika,
dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal
50
Peraturan
Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Januari 2015
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NILA FARID MOELOEK
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Januari 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 74
Formulir 1
SURAT
PESANAN NARKOTIKA
Nomor
: ............................
Yang
bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: ........
Jabatan
: ........
Mengajukan
pesanan Narkotika kepada :
Nama
Distributor : ........
Alamat
: ........
Telp
: ........
dengan
Narkotika yang dipesan adalah:
(Sebutkan
nama obat, bentuk sediaan, kekuatan/potensi, jumlah dalam bentuk angka dan
huruf)
Narkotika
tersebut akan dipergunakan untuk :
Nama
Sarana : ........
(Industri
Farmasi/PBF/Apotek/Puskesmas/Instalasi Farmasi Rumah Sakit/Instalasi Farmasi
Klinik/Instalasi Farmasi Pemerintah/Lembaga Ilmu Pengetahuan) *
Alamat
Sarana : ........
Nama Kota, Tanggal, Bulan, Tahun
Pemesan
Tanda tangan dan stempel
Nama Apoteker/Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan
No. SIKA /SIPA/NIP
*) coret yang tidak perlu
Catt:
-
Satu surat pesanan hanya berlaku untuk satu jenis Narkotika
-
Surat Pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir 2
SURAT
PESANAN PSIKOTROPIKA
Nomor
: ............................
Yang
bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: ........
Jabatan
: ........
Mengajukan
pesanan Psikotropika kepada :
Nama
Distributor : ........
Alamat
: ........
Telp
: ........
dengan
Psikotropika yang dipesan adalah:
(Sebutkan
nama obat, bentuk sediaan, kekuatan/potensi, jumlah dalam bentuk angka dan huruf)
Psikotropika
tersebut akan dipergunakan untuk :
Nama
Sarana : ........
(Industri
Farmasi/PBF/Apotek/Puskesmas/Instalasi Farmasi Rumah Sakit/Instalasi Farmasi
Klinik/Instalasi Farmasi Pemerintah/Lembaga Ilmu Pengetahuan) *
Alamat
Sarana : ........
Nama Kota, Tanggal, Bulan, Tahun
Pemesan
Tanda tangan dan stempel
Nama Apoteker/Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan
No. SIKA /SIPA/NIP
*)
coret yang tidak perlu
Catt:
Surat
Pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir 3
SURAT
PESANAN BAHAN BAKU PREKURSOR FARMASI
Nomor
: ............................
Yang
bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: ........
Jabatan
: ........
Mengajukan
pesanan Bahan Baku Prekursor Farmasi kepada:
Nama
Distributor : ........
Alamat
: ........
Telp
: ........
dengan
Bahan Baku Prekursor Farmasi yang dipesan adalah:
(Sebutkan
nama bahan baku dan jumlah dalam bentuk angka dan huruf)
Bahan
Baku Prekursor Farmasi tersebut akan dipergunakan untuk:
Nama
Sarana : ........
(Industri
Farmasi/Lembaga Ilmu Pengetahuan) *
Alamat
Sarana : ........
Nama Kota, Tanggal, Bulan, Tahun
Pemesan
Tanda tangan dan stempel
Nama Apoteker Penanggung Jawab/Kepala Lembaga Ilmu
Pengetahuan
No. SIKA /SIPA/NIP
*)
coret yang tidak perlu
Catt:
Surat
Pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir 4
SURAT
PESANAN OBAT JADI PREKURSOR FARMASI
Nomor
: ............................
Yang
bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: ........
Jabatan
: ........
Mengajukan
pesanan Obat Jadi Prekursor Farmasi kepada:
Nama
Distributor : ........
Alamat
: ........
Telp
: ........
dengan
Obat Jadi Prekursor Farmasi yang dipesan adalah:
(Sebutkan
nama obat, bentuk sediaan, kekuatan/potensi, jumlah dalam bentuk angka dan
huruf)
Obat
Jadi Prekursor Farmasi tersebut akan dipergunakan untuk:
Nama
Sarana : ........
(Industri
Farmasi/PBF/Apotek/Puskesmas/Instalasi Farmasi Rumah Sakit/Instalasi Farmasi
Klinik/Toko Obat/Instalasi Farmasi Pemerintah/Lembaga Ilmu Pengetahuan) *
Alamat
Sarana : ........
Nama Kota, Tanggal, Bulan, Tahun
Pemesan
Tanda tangan dan stempel
Nama Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian Penanggung
Jawab /Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan
No. SIKA /SIPA/SIKTTK/NIP
*)
coret yang tidak perlu
Catt:
Surat
Pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir 5
SURAT
PERMINTAAN NARKOTIKA/PSIKOTROPIKA*
Yang
bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: ........
Jabatan
: ........
Nama
Sarana : ........
(Apotek/Puskesmas/Instalasi
Farmasi Rumah Sakit/Instalasi Farmasi Klinik) *
Mengajukan
permintaan Narkotika/Psikotropika* kepada :
Nama
Sarana : Apotek......
Alamat
: ........
Dengan
Narkotika/Psikotropika* yang diminta adalah:
(Sebutkan
nama obat, bentuk sediaan, kekuatan/potensi, jumlah dalam bentuk angka dan
huruf)
Yang
akan digunakan untuk memenuhi kekurangan Narkotika/Psikotropika* dalam melayani
resep:
(Sebutkan
nomor resep, tanggal resep, nama pasien, jumlah dalam resep, nama fasilitas
pelayanan yang menerbitkan resep)
Nama Kota, Tanggal, Bulan, Tahun
Pemesan
Tanda tangan dan stempel
Nama Apoteker
No. SIK /SIPA
*)
coret yang tidak perlu
Catt:
-
Satu Surat Permintaan hanya berlaku untuk satu resep
-
Surat Permintaan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
-
Dilampirkan kopi resep
Formulir 6
SURAT
PERMINTAAN NARKOTIKA/PSIKOTROPIKA*
Yang
bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: ........
Jabatan
: ........
No.
SIP : ........
Mengajukan
permintaan Narkotika/Psikotropika* kepada :
Nama
Sarana : Apotek......
Alamat
: ........
Dengan
Narkotika/Psikotropika* yang diminta adalah:
(Sebutkan
nama obat, bentuk sediaan, kekuatan/potensi, jumlah dalam bentuk angka dan
huruf)
Narkotika/Psikotropika*
tersebut akan dipergunakan untuk praktik dokter :
Nama
Dokter : ........
Alamat
Praktik : ........
Nama Kota, Tanggal, Bulan, Tahun
Pemesan
Tanda tangan dan stempel
Nama Dokter
No. SIP
*)
coret yang tidak perlu
Catt:
-
Satu Surat Permintaan hanya berlaku untuk satu jenis Narkotika/Psikotropika
-
Surat Permintaan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir 7
SURAT
PERMINTAAN PREKURSOR FARMASI GOLONGAN OBAT KERAS
Yang
bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: ........
Jabatan
: ........
Nama
Sarana : ........
(Apotek/Puskesmas/Instalasi
Farmasi Rumah Sakit/Instalasi Farmasi Klinik) *
Mengajukan
permintaan Prekursor Farmasi Golongan Obat Keras kepada:
Nama
Sarana : Apotek......
Alamat
: ........
Dengan
Prekursor Farmasi Golongan Obat Keras yang diminta adalah:
(Sebutkan
nama obat, bentuk sediaan, kekuatan/potensi, jumlah dalam bentuk angka dan
huruf)
Yang
akan digunakan untuk memenuhi kekurangan Prekursor Farmasi Golongan Obat Keras
dalam melayani resep:
(Sebutkan
nomor resep, tanggal resep, nama pasien, jumlah dalam resep, nama fasilitas
pelayanan yang menerbitkan resep)
Nama Kota, Tanggal, Bulan, Tahun
Pemesan
Tanda tangan dan stempel
Nama Apoteker
No. SIK /SIPA
*)
coret yang tidak perlu
Catt:
-
Satu Surat Permintaan hanya berlaku untuk satu resep
-
Surat Permintaan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
- Dilampirkan
kopi resep
Formulir 8
SURAT
PERMINTAAN PREKURSOR FARMASI
GOLONGAN
OBAT BEBAS TERBATAS
Yang
bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: ........
Jabatan
: ........
Nama
Sarana : ........
(Apotek/Puskesmas/Instalasi
Farmasi Rumah Sakit/Instalasi Farmasi Klinik/Toko Obat) *
Mengajukan
permintaan Prekursor Farmasi Golongan Obat Bebas Terbatas kepada:
Nama
Sarana : Apotek......
Alamat
: ........
Dengan
Prekursor Farmasi Golongan Obat Bebas Terbatas yang diminta adalah:
(Sebutkan
nama obat, bentuk sediaan, kekuatan/potensi, jumlah dalam bentuk angka dan
huruf)
Yang
akan digunakan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan harian Prekursor Farmasi
Golongan Obat Bebas Terbatas yang diperlukan untuk pengobatan pada tanggal...
Nama Kota, Tanggal, Bulan, Tahun
Pemesan
Tanda tangan dan stempel
Nama Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian
No. SIK/SIPA/SIKTTK
*)
coret yang tidak perlu
Catt:
-
Satu Surat Permintaan hanya berlaku untuk satu Prekursor Farmasi Golongan Obat
Bebas Terbatas
- Surat
Permintaan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir 9
SURAT
PERMINTAAN PREKURSOR FARMASI
Yang
bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: ........
Jabatan
: ........
No.
SIP : ........
Mengajukan
permintaan Prekursor Farmasi kepada :
Nama
Sarana : Apotek......
Alamat
: ........
Dengan
Prekursor Farmasi yang diminta adalah:
(Sebutkan
nama obat, bentuk sediaan, kekuatan/potensi, jumlah dalam bentuk angka dan
huruf)
Prekursor
Farmasi tersebut akan dipergunakan untuk praktik dokter :
Nama
Dokter : ........
Alamat
Praktik : ........
Nama Kota, Tanggal, Bulan, Tahun
Pemesan
Tanda tangan dan stempel
Nama Dokter
No. SIP
Catt:
-
Satu Surat Permintaan hanya berlaku untuk satu jenis Prekursor Farmasi
-
Surat Permintaan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir 10
BERITA
ACARA PEMUSNAHAN NARKOTIKA
Nomor
:........../ .../20..
Pada
hari ini... tanggal... bulan... tahun... sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor... Tahun… tentang Peredaran, Penyimpanan dan
Pemusnahan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi, kami yang
bertandatangan di bawah ini:
Nama
Apoteker/Pimpinan : ........
SIPA/SIK
: ........
Nama
Sarana : ........
Alamat
Sarana : ........
Dengan
disaksikan oleh : ........
1.
Nama : .................... (tulis nama saksi dari Kemenkes)
Jabatan
: ........
NIP
: ........
2.
Nama : ................. (tulis nama saksi dari Badan POM)
Jabatan
: ........
NIP
: ........
3.
Nama : ... (tulis nama saksi dari sarana bersangkutan)
Jabatan
: ........
SIPA/SIKTTK
: ........
Menyatakan
dengan sesungguhnya bahwa pada pukul....., bertempat di........., kami telah
memusnahkan sejumlah Narkotika sebagaimana tersebut dalam lampiran.
Pemusnahan
ini kami lakukan dengan cara.............
Berita
acara ini dibuat rangkap 4 (empat), dan dikirimkan kepada:
1. Kementerian Kesehatan RI c.q. Ditjen Bina Kefarmasisan
dan Alat Kesehatan
2. Badan POM RI
3. Dinas Kesehatan Provinsi...........
4. Pertinggal
Demikian Berita Acara ini kami buat dengan
sesungguhnya agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Mengetahui: Nama Kota, Tgl, Bln, Tahun
Direktur, Penanggung Jawab/ Pimpinan
Tanda tangan dan stempel Tanda tangan
(Nama Apoteker/Pimpinan)
SIK/SIPA/NIP
Saksi-saksi:
1.
Petugas Kementerian Kesehatan RI,
Tanda
tangan
(.....................)
2.
Petugas Badan POM
Tanda
tangan
(.....................)
3.
Petugas sarana yang bersangkutan
Tanda
tangan
(.....................)
Lampiran Berita Acara Pemusnahan Narkotika:
Nomor :................./............../ 20
Daftar Narkotika yang dimusnahkan: No. Urut
|
Nama
Obat
|
Satuan
|
Jumlah
|
Harga
|
Keterangan
(Rusak/Expire)
|